EventJam'iyyah

Kajian Islam dan Kebangsaan: Dialog Lintas Agama Upaya Saling Memahami dan Menghormati

Kajian Islam dan Kebangsaan: Dialog Lintas Agama Upaya Saling Memahami dan Menghormati
Kajian Islam dan Kebangsaan: Dialog Lintas Agama Upaya Saling Memahami dan Menghormati

 

Perbincangan mengenai agama selalu menjadi tema serius dalam sejarah panjang umat manusia. Bahkan, konflik-konflik besar yang pernah terjadi di dunia seringkali dikaitkan dengan masalah agama. Demikian pula di Indonesia, isu agama selalu sensitif dan bahkan mendapatkan momentumnya ketika dikaitkan dengan perhelatan politik. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat pluralis, namun ada beberapa konflik di Indonesia seperti konflik di Ambon, Poso, Ketapang, Kupang, dan Tolikara yang kita harapkan tidak terjadi lagi dimasa yang akan datang.

 

Begitu salah satu kutipan dari kegiatan serial kajian Islam dan Kebangsaan yang dihelat oleh PC Lakpesdam NU bekerja sama dengan PC LTN NU Kota Malang, (12/05) yang dilaksanakan secara online melalui aplikasi Zoom.

 

 

Dalam diskusi daring tersbut, Lakpesdam NU memberikan perhatian khusus untuk penguatan literasi toleran serta penyadaran tentang keberagaman di Indonesia. Salah satu kegiatan yang dilaksanakan antara lain membuka ruang diskusi lintas komunitas dan agama.

 

Serial kajian yang sudah berjalan ke-13 dilakukan secara online dengan mengangkat tema “Terampil dalam Dialog Lintas Agama: Metode dan Pendekatan Integritas Terbuka”. Serial kajian ini menghadirkan dua narasumber yang memiliki perhatian khusus dalam dialog lintas agama, yaitu Sr. Gerardette Philips, RSCJ., Ph.D yang merupakan Dosen Filsafat Universitas Katolik Parahyangan Bandung dan Dr. Mohammad Anas, M.Phil, seorang aktivis Nahdlatul Ulama dan Dosen Pancasila Univeritas Brawijaya Malang.

 

Menurut Gera, panggilan akrabnya, terdapat beberapa pendekatan yang digunakan untuk melihat keragaman agama. “Yaitu ekslusivisme, inklusivisme, dan pluralisme. Eksklusivisme menegaskan bahwa kebenaran yang lengkap hanya ditemukan di satu agama, biasanya dalam agama sendiri. Sedangkan inklusivisme menerima adanya pewahyuan dalam agama-agama lain, sebagai tanda dan sarana untuk menuju keselamatan, dan pluralisme melihat agama sebagai jalan yang sama-sama sah untuk tujuan yang sama. Semua agama ‘dianggap’ benar secara resmi dan pada dasarnya setara. Sehingga ada istilah: ‘Semua Agama Sama’.”

 

Ia menambahkan, “Pendekatan pluralisme dalam dialog lintas agama memiliki beberapa catatan, antara lain: pertama, tidak cukup serius menghargai kekhasan agama walaupun pendekatan ini tempak terbuka. Kedua, bisa menyangkal klaim kebenaran agama sendiri, dan tidak sepenuhnya memahami orang lain dengan lebih baik karena kita semua mengalami perjalanan yang sama menuju ‘Yang Nyata’.”

Pentingnya Upaya Saling Memahami dan Menghormati
Pentingnya Upaya Saling Memahami dan Menghormati

 

Lebih lanjut, Gera menawarkan pendekatan baru yang disebut dengan ‘Integritas Terbuka’. “Pendekatan ini memungkinkan terjadinya percakapan, dialog, dan pemahaman yang positif antariman. Integritas Terbuka menawarkan sebuah jalan yang melampaui pluralisme dalam proses dialog antariman. Yang menarik dari pendekatan ini karena prinsip-prinsip yang dimiliki yaitu keterbukaan terhadap klaim kebenaran, respons terhadap relativisme, dan mempertahankan keunikan setiap agama. Sehingga ‘Semua Agama Tidak Sama’,” tutur peraih gelar Doktor dari Sekolah Tinggi Filfasat Driyarkara.

 

Selain itu, integritas terbuka membuka ruang pertemuan dan pembelajaran antariman. “Keterbukaan yang dimaksud ialah proses pembelajaran untuk saling mentransformasi pemahaman satu sama lain. Keterbukaan untuk melintasi batas pembelajaran melalui realisasi dalam tindakan-tindakan. Keterbukaan yang dimaksudkan juga untuk menerima dan memperjuangkan ide-ide baru dalam menciptakan hubungan kemanusiaan yang lebih baik,” pungkas penulis buku Beyond Pluralism: Open Integrity as a Suitable Approach to Muslim-Christian Dialogue ini.

 

 

Sementara narasumber berikutnya, Mohammad Anas mendukung gagasan tentang integritas terbuka terutama dalam mempertahankan keunikan dari setiap agama. Tetapi upaya untuk merumuskan etika global tersebut dikhawatirkan akan memberangus atau mengabaikan keunikan-keunikan masing-masing agama.

 

“Dalam integritas terbuka mengandaikan prasyarat-prasyarat berupa nilai-nilai utama, semisal keterbukaan, keikhlasan, dan lainnya yang harus dipenuhi agar proses dialog menghasilan projek kemanusiaan produktif. Integritas terbuka merupakan tawaran dialog lintas iman yang pada satu sisi mengejar dimensi universalitas kemanusiaan, tetapi pada sisi lain harus mempertahakan keunikan masing-masing agama,” tutur pengurus PC Lakpesdam NU Kota Malang ini.

 

Doktor Filsafat lulusan UGM ini melanjutkan, “Bukan hanya mempertahankan keunikan, tetapi juga berupaya agar setiap klaim kebenaran yang lahir dari agama tertentu dari dipahami satu sama lain. Namun kemudian, mengapa klaim kebenaran harus sama-sama dipahami? Mungkin karena merasa cukup lelah debat teologis, atau sekedar mengejar kepentingan pragmatis dan bahkan efektif. Jika kondisi ideal itu dapat tercapai maka projek-projek kemanusiaan bisa dilaksanakan secara bersama.”

 

Acara yang di pandu Kang Idung, pengurus PW LTN NU Jawa Timur ini, berlangsung menarik. Turut hadir secara onlie Ketua PCNU Kota Malang Isroqunnajah, Ketua PC Lakpesdam NU Kota Malang M Faisol Fatawi, dan pengurus NU lainnya. Beberapa dosen dari berbagai kampus dan para aktivis mahasiswa juga tampak hadir. Diskusi daring ini diikuti sejumlah warganet dari berbagai wilayah di Indonesia.

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Back to top button