Kebahagian Santri Yang Selalu Terkenang

Pepatah yang sudah sangat populer mengatakan, pengalaman adalah guru terbaik. Itulah yang saya rasakan ketika menjadi santri. Pengalaman menjadi santri adalah salah satu bagian yang paling istimewa dalam kehidupan saya. Meski bisa diulang tapi rasanya tidak akan pernah sama. Keseruan dan pendidikan yang saya mendapatkan didalam kehidupan santri terbukti selalu membantu dalam menghadapi hari esok yang lebih baik. Pengalaman seru itu saya abadikan dengan tagline“nyantri”. Yaps, benar sekali. Setelah lulus SD, saya memilih melanjutkan sekolah ke sebuah pondok pesantren yang sama dengan kakak perempuan, Ma’had Tahfidz Al-Qur’an Al-Amien Prenduan Sumenep yang hanya memakan waktu kurang lebih 45 menit dari rumah saya di kecamatan Batuan. And here are my stories began….
Hari pertama nyantri melahirkan kesan yang memorable. Lucunya jika kebanyakan orang akan menangis saat hari pertama mereka nyantri, saya merasakan hal yang berbeda. Tidak ada kata menangis dalam kamus saya saat itu. Saya melewati hari hari pertama dengan penuh semangat yang menggebu karena terlalu senang mempunyai banyak teman baru. Bahkan ada beberapa kota asal mereka yang belum pernah saya dengar. Mungkin juga salah satu alasannya karena saya memiliki kakak perempuan dan beberapa kerabat lainnya yang juga nyantri di sana sehingga saya merasa aman-aman saja hehe. Tidak hanya aman dari kesepian tapi aman dari rasa lapar. Tapi jangan lupa, selalu perluas lingkaran pertemanan, sehingga hasrat merasa kesepian itu menjadi sirna.
Perasaan senang bercampur bahagia terasa saat teman-teman saya mendapatkan kiriman paket dari orang tua mereka. Karena apa? Hal itu menandakan perut kami akan segera kekenyangan. Tidak ada namanya orang pelit di pondok, kalau kamu ingin nyantri siap-siap kehabisan jajan ya (^^). Tapi tenang kok, karena sedekah kepada orang yang membutuhkan itu bernilai ibadah, termasuk kepada teman. Itulah ritualnya dan disitulah keseruannya.
24 jam kegiatan yang dilakukan di pondok adalah ibadah. Saat itu,seakan-akan rasanya nanti saat lulus dari pondok bisa berubah menjadi manusia suci. Kenapa demikian? Sebab saya merincikan kehidupan santri tidak pernah lepas dari berbagai bentuk ibadah,mulai dari sholat, membaca al-Qur’an, dzikir, hingga berpuasa. Para santri (termasuk saya) memulai aktifitas dari jam 3 pagi dan wajib berada di masjid untuk shalat tahajjud. Sehabis itu kita mengaji dan rutin melakukan setoran hafalan baik itu al-Qur’an maupun kitab-kitab kuning lainnya. Terasa seru dan khidmat manakala mendengarkan lantunan ayat suci Al-qur’an dalam shalat shubuh dari salah satu kyai. Suara bacaan al-Qur’an yang beliau lantunkan serasa suasana bacaan Imam Sudais tatakala memimpin shalat di Masjidil Haram Makkah.
Kehidupan santri dalam melaksanakan setoran hafalan juga menjadi pengalaman yang berkesan. Bagi santri yang belum siap dengan setoran, biasanya mudah capek dan gampang tertidur. Bahkan tidurnya pun tidakmengenalwaktu dan bisa di mana saja. Cara yang terbaikadalah dengan mengaji dan berlatih menghafal sambil. Begitulah hukumnya dan tak ada harga tawar menawarnya. Kemudian kegiatan santri dilanjutkan shalat dluha berjamaah.
Jangan kaget setelah itu, akan setelah terlihat yang saya sebut “fenomena supranatural”. Kain-kain putih beterbangan diikuti suara sandal yang saling bersisian. Oh, ternyata itu adalah para santri bermukenah putih lari menuju asrama masing-masing dengan waktu yang tersisa demi ritual mengantri kamar mandi, selanjutnya makan lalu dilanjutkan berangkat menuju sekolah.
Pernah suatu hari, saya membawa nasi dari dapur ke kelas (ini sesungguhnya hal terlarang di pondok pesantren). Apalah daya, karena saat itu waktu yang tersisa sangat sempit dan jika menyempatkan diri untuk makan, maka nama saya akan dikumandangkan di area pondok alias dihukum. Tapi saya tetap memberanikan diri membawa sebuah piring dalam tangan. Kusembunyikan di bawah kursi. Maka saat pemeriksaan kelas, saat itu, kami sedang menyanyikan lagu angkatan di depan kelas. Jantung seakan ingin berlari menjauhi tubuh ini karena takut ketahuan. Untunglah tiba-tiba dunia terasa damai demi melihat kakak-kakak pengurus menyelesaikan pemeriksaan tanpa ada masalah, tanpa membawa piring nasi saya yang berharga.
Sepulang dari sekolah kami berlari lagi untuk makan dan persiapan shalat dzuhur di masjid. Beruntung saya dulu tinggal di asrama depan yang tentunya dekat dengan masjid. Saya tidak bisa membayangkan teman-teman santri yang tinggal di asrama belakang, Saya rasa mereka otomatis bisa kurus. Tapi anehnya tidak ada teman santri saya yang berubah jadi seketika menjadi kurus hahaha.
Nah momen paling berharga saat menjadi santri mungkin adalah tidur. Yap, kegiatan rutin saat siang adalah tidur. Sesuai dengan salah satu hadits. Dari Anas radhiyallahu ‘anhu beliau berkata bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidur sejenaklah kamu sekalian di siang hari, karena sesungguhnya setan tidak tidur siang sejenak”. (HR. Abu Nu’aim)
Setelah terlelap tidur siang,beranjak memasuki waktu ‘ashar. Inilah waktu untuk bangun dan kembali menjalani kehidupan santri seperti di pagi hari. Tenang saja, setelah ini adalah kegiatan malam yang tentunya lebih santai. Meski malam hari dikhususkan menjadi waktu belajar ataupun mengerjakan tugas sekolah, kebanyakan santri akan memilih tidur ataupun bersantai seperti menyanyi bersama, menggambar, bercerita dan segala sesuatu yang tidak membebani pikiran mereka.
Akhirnya malam pun tiba. Waktu menunjukkan pukul 22.00 WIB yang berarti saat yang tepat untuk beristirahat. Sebelum tidur kami diwajibkan mengaji setengah jam dan boleh naik ke tempat tidur saat jarum jam menunjukkan pukul 22.00. Begitulah hari-hari kami sebagai santri di tenagah suka-duka dan keseruang yang dijalani setiap hari.
Setiap pondok memiliki cerita horornya sendiri. Mulai dari jin, tuyul, kuntilanak, pocong, gendoruwo, hantu bercadar dan seluruh kerabat hantu yang mohon maaf tidak bisa disebutkan satu persatu. Saya sebagai salah satu anak yang penakut dengan sombongnya masih berani ikut mendengarkan cerita-cerita teman ataupun kakak-kakak di sana.
Pernah ada teman saya bercerita, suatu hari di tengah malam yang dingin. Di sebuah ruangan yang sunyi diiringi suara jangkrik dan hembusan angin yang membuat suasana menjadi lebih mencekam. Salah satu ustadzah sedang lembur seorang diri di kantor. Ia merasa ada sesuatu yang aneh di jendela. Saat ia melihat lebih dekat ternyata ada hantu yang melakukan antraksi penampakan wajahnya yang menyeramkan. Entahlah apa yang terjadi setelah itu. Belum selesai dia bercerita saya sudah lari terbirit-birit karena tak sanggup membayangkan dan mendengarkan sepatah lagi kata yang terucap dari mulutnya.
Cerita yang sering populer pada santri, bahwa sekolah umum atau pondok pesantren sudah menjadi hal yang biasa bahwa salah satu teman santri pasti pernah mengalami kesurupan. Bukannya saya berniat jahat, tapi biasanya apabila ditemui adanya santri yang seperti itu, saya akan secara perlahan-lahan menghindarinya karena rasa ketakutan yang mencekam.Maklumlah, santri berusia remaja itu masih belum memiliki keberanian yang cukup layaknya santri senior.
Setiap santri pasti mengalami Kritis versi pondok. Saya pernah mengalaminya. Kritis itu biasa dikenal dengan sebutan “tongkring atau kantong kering” yang bukan hanya tidak bisa beli jajan kesukaan, beli permen saja saya tidak sanggup. Alhamdulillah, Allah telah mengajarkan kepada umat manusia bahwa dalam islam ada ibadah yang namanya puasa. Saya pernah berpuasa dua hari dengan menu buka di dapur yang seadanya dengan nafsu yang dipaksakan. Itu terjadi karena ibu saya yang merupakan seorang single parent biasa sedang mempersiapkan banyak hal untuk berangkat haji. Bagi saya yang baru menginjak usia 14 tahun itu adalah hal yang sangat sulit. Beruntung saya dapat melewati situasi itu karena saya menemukan harta karun di saku baju. Kebahagiaan yang tak pernah bisa dilukiskan.
Sebenarnya masih ada banyak sekali cerita seru di pondok, namun sayang saya hanya bisa bertahan 3 tahun (umumnya 6 tahun + 1 tahun pengabdian) dan memilih melanjutkan sekolah menengah atas di sekolah umum. Saya cukup menyesali keputusan tersebut. Setiap saat,saya tetap menanamkan nilai-nilai yang telah didapatkan selama “nyantri”. Hal itu dilakukan untuk mengobati rasa penyesalan saya. Namun di sisi lain, hal itu menjadi karakter dan pedoman hidupku.
Pelajaran berharga yang saya pahami saat ini adalah dengan menjadi santri yang baik maka dirimu seakan ikut membangun generasi bangsa yang didambakan sejak lama. Berkepribadian baik, bisa menempatkan diri dalam berbagai situasi, menguasai ilmu agama dan tentunya ilmu umum. Tak hanya itu, menjadi santri dilatih untuk memecahkan masalah dengan baik, mudah bersosialisasi, menguasai banyak bahasa dan yang terpenting, tumbuhnya sikap mandiri yang mengakar.
Oleh : Kauna Bismie Abargiel (Mahasiswa UIN Maliki Malang, Alumni Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan Madura)