Kehidupan Santri: Kesederhanaan Yang Membawa Berkah

Setiap insan memang bukanlah sempurna. Karena kesempurnaan hanya milik Allah semata, Dalam ayat (QS.Araf:180)’’Hanya milik Allah Asmaul Husna itu dan tinggalkan orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan (QS.Al-A’raf:180). Inilah yang menjadikan takdir saya sebagai santri di pondok pesantren dan menjadi bagian dari umat Islam tetap berusaha menjadi pribadi yang lebih baik. Caranya dengan mempelajari dan mendalami ilmu agama secara terus menerus. Harapannya, kehidupan menjadi santri yang dijalani, dapat membentuk manusia yang berakhlak dan berguna bagi agama, sesama dan bangsa kita pada umumnya.
Salah satu hal keinginan orang tua adalah mengharapkan saya mendapat ilmu agama yang lebih luas dan dalam. Namun, keinginan itu, awalnya sulit terwujud disebabkan kemalasan saya serta saya pun terlalu asyik bergaul dengan anak-anak tetangga. Akhirnya orang tua mengambil keputusan. Kedua orangtua memutuskan mengajarkan membaca al-Qur’an sendiri
Saat itu, sifat anak-anak yang bandel masih melekat dalam diri saya. Terkadang saya tidak mau membaca al-Qur’an. Orang tua tidak mau larut dalam keputusasaan. Kemudian memasukkan saya belajar agama ke Madrasah Tsanaiwiyah dan Madrasah Aliyah. Selanjutnya saya pun dimasukkan ke Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Malang sekarang berganti nama Universitas Islam Negeri Malang. Semenjak kuliah itulah, ketertarikan saya untuk mendalami ilmu agama semakin kuat. Ketika memasuki semester ke tiga, saya memutuskan untuk mondok di Pondok Pesantren Sabillulrosyad selama tiga tahun. Saya di timpa belajar ilmu agama Islam oleh Abah atau Ustadz Marzuki.
Suasana hati saat pertama kali menginjakkan kaki di pondok pesantren terasa bergemetaran dan kikuk. Perasaan inilah yang saya rasakan. Lebih-lebih ini sebuah pengalaman baru bagi saya sebagai santri baru yang sebelumnya belum pernah merasakan tinggal jauh dari orang tua. Melihat suasana pondok yang sederhana. Berderet kamar seperti sebuah rumah sakit. Satu ruangan terdiri dari beberapa kamar,dan jauh dari tempat kuliah membuat hati saya menjadi bimbang. Melihat fakta itu, saya serasa berada dipersimpangan jalan dan seakan-akan keinginan untuk mondok, saya batalkan. Namun, Ibu menyakinkan saya untuk tetap bertahan di pondok. Tujuannya, untuk melatih kesederhanaan dan hidup mandiri.
Ketika di pondok, perubahan gaya hidup saya rasakan. Salah satunya harus berani melepas banyak hal yang terasa enak dan nyaman ketika di rumah. Hal itu berbeda jauh dengan suasana di pondok yang semua serba kekurangan. Saya juga harus mempersiapkan sikap mental kuat dan menata niat agar selalu berada di jalan yang benar. Saat itulah saya harus beradaptasi dengan dunia pesantren. namun saya menyadari jika tidak bisa melepas sikap manja dan ketergantungan pada orang tua, maka saya akan merasa tidak nyaman dan tidak merasa betah di pondok lagi. Ini mungkin menjadi sesuatu yang dikhawatirkan oleh sebagian santri baru. Proses transisi inilah yang dialami santri baru ketika menemui lingkungan yang berbeda dengan tempat tinggal lama menuju tempat baru yaitu pondok pesantren.
Santri baru pasti akan bertemu dengan santri baru lainnya. Bertemu dengan santri baru yang berbeda karakter menjadi rasa yang sulit dilupakan. Ada santri yang pemarah, pendiam, pendedam, egois dan masih banyak lagi. Terkadang di antara para santri menimbulkan perbedaan pendapat dan pertengkaran. Ini menjadi pelajaran bagi santri agar bisa menahan diri. Tak terasa, setiap waktu yang dijalani bersama santri, menjadi kesempatan emas untuk saling mengenal dan memahami sifat masing-masing dan melatih untuk beradaptasi dengan lingkungan
Teman-teman di pondok bukan hanya berasal dari Malang. Santri pun datang dari berbagai daerah Indonesia. Mulai dari Madura, Aceh, Kalimantan, Sumatra dan bahkan berasal dari Luar Negeri. Para santri akan saling berkenalan dengan satu sama lainnya. Setelah berkenalan santri baru akan belajar berbagai bahasa, mengenal karakteristik santri lain, dan kebiasaan-kebiasaan dari berbagai santri dari berbagai daerah tersebut.
Sebagai santri, kita dituntut untuk mempersiapkan diri dan mental yang kuat dan tahan banting. Pondok pesantren mirip sekali dengan tatanan masyarakay dalam skala yang lebih kecil. Oleh karena itu, ketika berada di pondok, santri akan bertemu dengan berbagai macam karakter santri lainnya yang terkadang bisa menjadi sakit hati. Entah berasal dari omongannya atau perilakunya. Namun, sebagian besar santri yang saya temui seakan menjadi saudara dan sangat baik hati.
Di lingkungan pondok pesantren semua kegiatan dilaksanakan dengan berjamaah dan antri. Sudah umum jika kamar dihuni dengan santri yang overload. Ada tipe kamar yang dipetak-petakkan, ada juga satu kamarnya langsung dipetak besar. Jangan pernah membayangkan kalau kehidupan di pesantren mendapatkan tempat tidur di kasur yang empuk layaknya di rumah. Hal ini dikarenakan di pondok pesantren diajarkan kesederhanan hidup. Semuanya serba sederhana. Setiap santri tidur di karpet beralaskan tangan atau tumpukan kain. Dan untuk menuju pondok pesantren jangan membayangkan kalau mudah mendapatkan angkutan umum karena kita harus berjalan beberapa kilo untuk mencapai kampus.
Kehidupan pondok pesantren menyuguhkan berbagai macam warna kehidupan. Setiap momen akan dihadapi santri, kadang makan hanya berlauk krupuk saja. Tidak jarang berlauk sambel saja. Tidak seperti di rumah, semuanya serba ada. Tidak ada cara lain agar bisa menjalani kenikmatan hidup di pesantren kecuali bersabar dan bertahan dengan semangat perjuangan dan jihad fi sabilillah. Niatkan hidup di pondok pesantren untuk menuntut ilmu agama sebagai bekal kita nanti hidup di akhirat kelak. Kenangan di pondok pesantren akan tetap terpatri akan tertanam dalam kehidupan saat kita berumah tangga dengan menanamkan kehidupan sederhana. Inilah yang menjadikan hidup akan lebih berkah.
Ketika kita berinteraksi dengan santri-santri yang lain selama beberapa bulan atau bahkan tahun, membuat kita tak mudah melupakan berbagai rasa toleransi yang ada. Seperti saat kita saat antri mandi, saat kita antri beli makan, kita akan ingat saat kita berbagi makanan dengan santri lainnya, ketika di pesantren kita harus seakan menjadi saudara sendiri, iya kan? Apalagi santri juga menjalani studi sekolah formal ataupun kuliah. Maka, seyogyanya santri harus benar-benar bisa bagi waktu untuk menyeimbangkan keduanya. Santri yang benar-benar baru dan belum pernah mondok di pendidikan pesantren pasti bakal kaget dengan aktivitas di pondok pesantren. Mulai dari kebiasaan sehari-hari hingga kegiatan pengkajian kitabkuningnya tidak sama seperti saat berada di rumah orang tua.
Kehidupan di pondok pesantren, santri putra dan putri mempunyai jarak. Aturan ini sangat ditekankan di pesantren. Santri putra dan putri memiliki kamar dan ruang belajar yang terpisah. Tapi namanya anak muda pasti ada yang bandelnya juga. Dengan seribu akal yang dimilikinya. santri tetap mencari celah agar bisa berinteraksi dengan santri putri. Meskipun labelnya anak pesantren, tapi soal cinta mereka juga sama remaja pada umumnya. Santri pondok pesantren biasanya juga jatuh hati kepada santriwati. Tapi meskipun begitu, sehubungan aturan dfi lingkungan pondok sudah jelas ada larangan khalwat alias campur baur, maka persoalan cinta pun ada alat untuk mengendalikannya agar tidak kebablasan. Hal ini bisa dierapkan dalam kehidupan setalah kita bermasyarakat, bahwa pergaulan lawan jenis mempunyai batas-batas sehingga tidak ada perzinaan.
Di pondok pesantren, santri juga tidak diperbolehkan memegang handphone. Mereka menggunakan handphone secara sembunyi-sembunyi. Akhirnya, para santri berinteraksi menggunakan surat. Di samping itu, juga ada aturan larangan pergi ke luar lingkungan pesantren pada jam-jam tertentu. Tapi namanya santri yang masih belia dan berusia anak muda yang masih labil, kadang masih nekat juga pergi keluar, walaupun sebenarnya alasannya sepele. Entah nontoh film, atau sekedar ke warung. Meski berbenturan dengan peraturan, maka santri yang melanggar, pasrah untuk mendapat hukuman karena bagian dari konsekuensi.
Bagi saya yang saat ini sudah menjadi alumni pondok pesantren, masa-masa menuntut ilmu di pondok pesantren sangatlah berharga. Sebab, kita bisa mengingat masa-masa yang sangat menyenangkan itu. Apalagi kita berkumpul bersama para santri lainnya, belajar, mengaji, menghafal, makan satu nampan buat rame-rame, mandi, mengantri dan melakukan aktifitas-aktifitas yang lain berjamaah. Saya juga masih ingat saat saya setoran membaca Al-qur’an tiap hari di Neng Isma, beliau begitu sabar membenarkan bacaan dan tajwid yang harus saya ulang-ulang. Ketalenan yang luar biasa dari Neng Isma itu memang sudah teruji. Saya yang dari awal belum lancar membaca al-Qur’an saat berada di Ma’had Sunan Ampel al-Ali UIN Maliki Malang selama beberapa tahun, masih sabar dan setiap mengiringi saya membaca al-Qur’an sampai bacaannya bagus sesuai tajwid.
Mendengar kata pondok pesantren, mungkin sebagian orang akan merasa tidak nyaman. Bahkan ada juga yang merasa tidak betah karena tidak terjaga kebersihannya. Menurut saya, hal itu sangat tergantung dari sikap santri disiplin menjaga kebersihan lingkungan. Pengalaman menjadi santri memiliki cerita dan kesan tersendiri yang tidak akan pernah terlupakan. Hiruk-pikuk perjalanan hidup menjadi santri memberikan warna yang berbeda. Berbagai ragam pengalaman dan cerita menarik dan penuh berkah menjadi santri, tak akan pernah mudah dilupakan. Khususnya bagi saya sendiri. Apalagi hal itu tidak akan saya dapatkan ketika mengenyam pendidikan di luar pondok pesantren.
Oleh: Elok Rahmawati (Santri, Penikmat Puisi dan Karya Sastra)