ArtikelOpiniParamudaSerba-serbi

Tiga Karakter Unggul Santri Millenial

Karakter Unggul Santri Millenial

Santri bukan lagi kata asing bagi masyarakat, Indonesia terutamanya. Tidak terhitung kontribusi yang telah diberikan santri untuk negeri. Tidak hanya kepada masyarakat namun juga untuk peradaban dunia. Fungsi santri tidak sekedar menjadi penghubung ilmu keagamaan namun juga penerus ilmu para kyai. Ia belajar ilmu agama secara serius dan berkesinambungan untuk menjadikan ilmu agama tersebut sebagai pedoman dalam menjalankan nilai-nilai agama bagi umat muslim. Meski, ada anggapan yang menyatakan santri dianggap kurang paham akan kemajuan globalisasi. Hal ini dikarenakan adanya doktrin pikiran masyarakat yang menyatakan santri sebagai sosok yang tertinggal zaman. Corak kehidupan santri memang unik. Setiap hari, kehidupan pribadi yang dijalni tidak lepas dari hal-hal berbau agama tanpa sedikitpun memperhatikan euforia dunia luar dan perkembangannya.

Lalu bagaimanakah masa depan seorang santri? Apakah hidupnya harus terus disibukkan dengan mengaji lalu mengabdi pada kyai? Tentu tidak, faham kemasyarakatan tentang kekolotan santri kini sedikit demi sedikit mulai terkikis. Mengapa demikian? Secara garis besar santri dikelompokkan menjadi berbagai macam jenis yang tidak bisa diremehkan lagi. Santri salaf contohnya, mereka begitu ahli dalam membaca, menjelaskan, menafsiri, bahkan mentadaburkan berbagai macam kitab kuning karangan ulama timur tengah terdahulu, di sisi lain ada juga santri dari pondok modern atas kemampuannya dalam bidang bahasa asing Inggris maupun Arab yang tak bisa lagi diragukan kemampuannya. Bagi saya santri adalah jati diri pemuda islam Indonesia seutuhnya.

Santri mencintai negara, santri juga mencintai Allah. Santri ber-hablun minallah-nya bagus apalagi ber-hublun minan nass-nya. santri kini semakin digandrungi, hidup lurus berdasarkan amar ma’ruf nahi mungkar dengan prinsip di dunia adalah sebaik-baik ladang untuk akhirat kelak. Selalu menghormati pada guru, sopan santun juga delamanya dijaga. Tentang masa depan jangan lagi ditanya. Keikhlasan dan kesederhanaan merekalah yang benar-benar membuat Allah jatuh hati kepada sosok santri.

Mungkin dari khalayak masyarakat yang tidak pernah mengetahui kehidupan santri akan berkata, apaan itu santri? Semuanya serba antri, memang benar demikian tapi dari sinilah kehidupan seorang santri dimulai. Santri bagi kami adalah sabar mengantri untuk mandiri. Kami seorang santri yang dididik sabar untuk toleransi kepada hal-hal yang tidak semuanya bisa dihasilkan secara instan. Kami berkeyakinan karena semua hal di dunia ini mebutuhkan proses.

Mengantri, disini berarti mandiri, selamanya seorang manusia tidak bisa selalu bergantung kepada orang tua ataupun belas kasihan orang lain. Maka dari sinilah seorang santri punya bekal khusus untuk masa depannya. Terdapat dual halpenting memahami jati diri santri. Pertama, kami didik untuk bersabar. Kedua,kami dididik untuk mandiri. Di sisi lain ada lagi point khusus yang tidak dipunyai oleh para pemuda yang tidak mondok seperti kami. Yakni nikmatnya berbagi, berbagi makanan hasil sambang sebulan sekali dari orang tua, berbagi lemari, alat mandi, bahkan berbagi penyakit anak pondok yang memang lumrah adanya.

Menjadi santri adalah nikmat terbesar seorang pemuda yang pernah merasakannya. Hidup santri untuk mengabdi kepada guru dan mengharapkan ridho Allah. Pada saat pemuda lain di luar sana bisa menghamburkan uang dari orang tuanya, santri hidup serba sederhana walau terkadang merasa kekurangan. Apapun itu, hidup sebagai santri kami jalani dengan bahagia lahir batin.

Kami para santri, hidup berdasarkan pedoman Al-Qur’an. Mengabdi kepada para guru dan kyai. Hidup jauh dari orang tua. Walau kehidupan dunia dikatakan serba modern, kami sebagai santri menjalani kehidupan serba tirakat tanpa teknologi yang melulu ada tiap hari. Bangun, mandi, makan, semua antri. Zaman memang telah berubah tapi kami tetap pada jati diri kami sebenarnya, dengan sedikit perubahan tahun. Kini kami berubah perlahan untuk menjadi benar-benar luar biasa.

Bagi saya santri di masa kini begitu lumrah dipanggil santri millennial, dengan 3 alasan utama yakni pertama, santri zaman sekarang itu confidence, Kedua, santri zaman sekarang itu creative, Ketiga, santri zaman sekarang itu connective, berikut penjabarannya:

Pertama, santri millenial itu confidence (percaya diri). zaman berubah seiring berjalannya waktu dengan berbagai macam perubahan yang tak terpikirkan sebelumnya. Mengapa di zaman saat ini santri harus confidence? Santri zaman sekarang lahir pada era millennium yakni tahun 2000-an dimana segala sesuatu dapat mudah dicari dengan klik dan instan. Lalu hubungannya dengan confidence apa?

Penjelasannya adalah generasi pada zaman ini telah lama diprediksikan mempunyai berbagai macam keahlian yang mumpuni dibandingkan dengan era pemuda tahun 90-an. Mereka mempunyai dasar sifat kepercayaan diri di atas rata-rata.

Adanya teknologi 4.0, menjadikan dunia santri kini semakin gencar untuk melakukan berbagai dakwah mendasar untuk masyarakat luas. Meski realitas saat ini pada umumnya masyarakat masih saja belum memahami Islam dalam arti sebenarnya. Tidak hanya hal tersebut, santri dalam darahnya selalu tertanam kuat bahwasannya sampai mati pun dirinya tetap santri. Rasa kepercayaan diri santri millenial ini semakin kuat dengan adanya media sosial. Peran media sosial tersebut menjadikan santri selalu eksis untuk berdakwah, dan ta’awun kepada sesama. Tak lupa semangat amar ma’ruf nahi mungkar selalu disuarakannya. Santri juga semakin berani tampil percaya diri di depan selama dirinya yakin bahwa dia ada dalam jalan kebenaran dan dengan niatan lillahi ta’ala. Inilah sedikit wujud dari santri confidence.

Kedua, santri millenial itu creative. Kata siapa santri kolot? Selain ilmu agama, berbagai macam ilmu kenegaraan sampai ilmu umum pun bisa dipahami santri. Berkomunikasi dengan orang asing pun dapat dilakukan dengan baik oleh santri. Ini yang menjadikan kemampuan santri tidak bisa diragukan lagi. Bagi saya, santri adalah pelangi. Dari berbagai macam asal daerah, juga warna yang berbeda-beda sampai hingga akhirnya menjadi satu kesatuan gradiasi warna yang indah.

Adakah santri yang jago masak? Ada. Jago nari? bahasa? ceramah? menggambar? yang lain? kami semua ada didalamnya. Seorang santri bisa meng-aransement lagu cinta menjadi lebih romantis dengan kata-kata Arab yang dimiliku. Sandal melly, swallow, hingga lily adalah koleksi sandal khas para santri. Di dunia santri, api bisa dijadikan debus, air bisa dijadikan wahana bermain. Makanan satu bisa terbagi sampai semua anggota penuh terisi.

Salah satu bentuk kekreatifan kami (para santri) yang tak wajar adalah mungkin dalam hal ghosob menghosob sandal orang lain apabila sandal kita hilang pada setiap pulang dari masjid atau selesai mengaji. Khususnya bagi santri putri, bedak tabor pun bisa kami rubah seakan akan debu dan salju berterbangan seketika, dalam jepretan kamera yang kami dapat pinjam dari ustadzah.

Ketiga, saya anggap hal telah mendarah daging pada santri zaman now atau santri millennial adalah connective (jaringan). Faktor konektif berarti mudah untuk menjalin relasi antar satu pihak dengan pihak yang lain. Kami para santri millennial punya point khusus akan hal tersebut. Dengan ustadz/ah kami bersikap tawadhu’ (rendah hati), patuh dalam mendengarkan berbagai majelis ilmu. Di saat lain, pada saat kami terjun ke dunia luar pun kami dipercaya sebagai orang yang bisa dipercaya. Ketika berperan sebagai santri sekaligus mahasiswa, dosen pada umumnya mempercayai kami.

Mengapa harus santri? Iya, memang harus, karena kami telah benar-benar paham berbagai macam watak dan karakter orang yang tak pernah ditemui sebelumnya. Kami terbiasa hidup tinggal seatap dan dituntut untuk hidup rukun dan saling mengayomi. Mau tidak mau dari sinilah kami belajar pentingnya konektifitas antar sesama. Pada mulanya, memang terasa sangat pahit, tapi sampai saat ini saya percaya bahwa karena dunia santri saya bisa mudah dalam menjalin relasi dan mudah menghargai. Bahkan kami terbiasa menghormati orang lain yang ada di sekeliling kita tanpa memperhatikan atau merendahkan harkat dan martabat orang tersebut..

Beginilah kami para santri, kami percaya dunia ini fana’belaka. Masa depan kami pertaruhkan kepada-Nya. Tuhan yang Maha atas segala sesuatu. Kami hidup sesuai perintah Allah, yakni menjalankan perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Pada intinya hubungan santri dengan segala seseuatu dibumi ini dicintai oleh Allah SWT.

Tentang masa depan? Jawaban kami adalah tholabul ilmi minal mahdi ilal lahdi. Kami percayakan masa depan kami di tangan yang Maha segalanya. Mentaati segala perintah dan menjauhi larangan-Nya. Karena sejatinya hidup kita adalah menjadi khalifah. Khalifah berarti mengabdi, mengabdi kepada siapa? Allah, yang Maha atas segala sesuatu.

 

Oleh: Ihda Filzafatin Habibah (Santri, Mahasiswi, Aktivis)

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Back to top button