Jangan Benturkan Islam dan Keindonesiaan
Pesan Kebangsaan dari Pesantren Tebuireng Jombang mengerucut, Keislamaan dan Keindonesiaan adalah buah pikir pendiri Nahdlatul Ulama (NU) KH.Hasyim Asyari, yang mulai dilupakan banyak pihak.
Kondisi terkini persatuan bangsa yang mulai memprihatinkan, memaksa keluarga besar Pesantren Tebuireng dan civitas akademika Universitas Hasyim Asy'ari (Unhasy) menyampaikan rumusan Pesan Kebangsaan Pesantren Tebuireng.
Pesan keprihatinan dibacakan langsung oleh KH Salahuddin Wahid saat menutup acara peresmian Pusat Kajian Pemikiran KHM Hasyim Asy'ari, Minggu (5/2/2017).
“Bangsa Indonesia adalah adikarya para pendiri bangsa yang amat ideal. Perjalanan 71 tahun memang belum cukup memadai untuk bisa mewujudkan cita-cita kemerdekaan secara nyata. Kita masih menghadapi banyak masalah mendasar yang harus diselesaikan," tutur cucu pendiri NU itu.
Gus Sholah melanjutkan, bagi kalangan pesantren, pembukaan UUD 1945 adalah mitsaqon gholidhon (kesepakatan kokoh) para pendiri bangsa yang menjadi dasar bangunan negara sebagai pengejawantahan dari cita-cita bangsa Indonesia.
Di dalamnya tercantum tujuan didirikannya negara dan dasar Negara Pancasila. "Karena itu, pembukaan UUD 1945 adalah sebuah keniscayaan yang tidak bisa diubah," tegasnya.
Menurut adik kandung Presiden ke-4 RI KH Abdurrahman Wahid ini, keindonesiaan dan keislaman yang semula dipertentangkan, telah berhasil dipadukan oleh para pendiri bangsa.
"Perpaduan yang merupakan faktor utama persatuan Indonesia dan berpotensi menjadi model bagi dunia ini, harus kita kawal dan rawat bersama. Jangan sampai dilemahkan," terang Rektor Unhasy itu.
Selama hampir 40 tahun setelah kemerdekaan, pertentangan itu masih ada. Proses perpaduan itu mencapai puncak kematangannya pada 1984, saat NU secara menerima Pancasila.
"Ironisnya, saat ini kita melihat ada gejala yang mempertentangkan lagi," ujarnya.
Diakui oleh Gus Sholah, salah satu hal yang mendasari lahirnya pesan kebangsaan ini adalah timbulnya gonjang-ganjing politik, terutama karena pilkada DKI.
"Ada kesan, yang mendukung Ahok bukan Islam. Sedangkan yang tidak mendukung Ahok bukan Indonesia. Itu dua-duanya keliru," tegasnya.
Selain merespons situasi politik terkini, pesan kebangsaan juga menyoroti fenomena ketidakadilan sosial dan ekonomi yang ada di tengah masyarakat. Termasuk jaminan hak dasar yang harus terus dipenuhi oleh negara secara bertahap.
"Jaminan kebebasan beragama, perlu diterapkan secara utuh di dalam masyarakat," tandas mantan wakil Ketua Komnas HAM ini.
Keluarga besar Pesantren Tebuireng berharap, peran aktif Indonesia yang berdaulat dalam perdamaian dunia sebagai tujuan bernegara perlu ditingkatkan.
Untuk mewujudkan semua itu, ada sejumlah prasyarat yang harus dipenuhi. Antara lain, diredamnya (potensi) konflik dan tumbuhnya rasa saling percaya antar kelompok masyarakat dan penegakan hukum yang menjamin keadilan. Juga, perbaikan akhlak bangsa, khususnya generasi muda dan mencegah merebaknya penyakit sosial.
Perbaikan birokrasi penyelenggara negara supaya efisien, efektif dan tidak korup juga tidak kalah penting. "Prasyarat terakhir, hadirnya partai politik yang punya idealisme dan dipimpin oleh tokoh negarawan," pungkas Gus Sholah. (*)