Bahtsul MasailOpini

Seputar Hukum Mengubah Musholla Menjadi Masjid

Malang -pcnumalangkota.or.id

Oleh : Ustadz Anas Bashori, Lc.

Mensikapi masalah Mushollah sebagaimana yg dikatakan KH. Syaifuddin Zuhri via Telpone kemaren ….

*Bolehkah mengubah Status Wakaf “Musholla” menjadi “Masjid”?*

Permasalahan mengubah bentuk dan fungsi barang waqaf dalam mazhab syafi’i sangatlah ketat, dalam arti mazhab syafi’i sangat hati-hati dalam memberikan keabsahan perubahan bentuk dan fungsi barang wakaf. Beberapa pendapat di antaranya Imam al-Nawawi dalam kitab raudlah Kitab al-waqf bab al-tsani fasal masail mantsurah : “Tidak boleh mengubah fungsi (barang) waqaf. Maka tidak diperbolehkan (waqaf) rumah menjadi (waqaf) kebun ataupun tempat pemandian, dan sebaliknya. Kecuali jika orang yang waqaf memasrahkan apa yang dipandang maslahah bagi kepentingan wakaf.”

Dalam fatwa imam al-Qaffal menyatakan: boleh menjadikan (waqaf) tempat cukur (salon rambut) sebagai toko roti. Barangkali pengertiannya adalah merubah bentuk bukan fungsi.

لا يجوز تغيير الوقف عن هيئته ، فلا تجعل الدار بستانا ، ولا حماما ، ولا بالعكس ، إلا إذا جعل الواقف إلى الناظر ما يرى فيه مصلحة للوقف ، وفي فتاوى القفال : أنه يجوز أن يجعل حانوت القصارين للخبازين ، فكأنه احتمل تغيير النوع دون الجنس

Imam Muhammad bin Syihabuddin al-Ramly dalam Nihayatul muhtaj Kitab al-waqf fasal fi ahkam al-waqf al-ma’nawiyyah mengatakan :

Pengelola waqaf boleh merubah (menyelaraskan) bentuk, tetapi tidak boleh membagi-bagi meskipun sekat-sekat, dan tidak boleh merubah fungsi seperti menjadikan kebun sebagai rumah atau sebaliknya selama waqif tidak mensyaratkan satu tindakan untuk kemaslahatan, (jika waqif mensyaratkan satu tindakan tertentu) maka boleh merubah fungsi dengan mempertimbangkan maslahah.

Imam al-subky berkata: permasalahan yang saya lihat adalah syarat kebolehan mengubah benda waqaf menjadi yang lain, ada tiga, yaitu :

perubahan itu sedikit yang tidak merubah musamma (esensi dari nama suatu benda),
tidak menghilangkan sekecil apapun dari bendanya, dan
Boleh memindahkan ke arah yang lain, namun dengan syarat benda wakaf menjadi lebih maslahah fungsinya.
ولأهل الوقف المهايأة لا قسمته ولو إفرازا ولا تغييره كجعل البستان دارا وعكسه ما لم يشرط الواقف العمل بالمصلحة فيجوز تغييره بحسبها ، قال السبكي : والذي أراه تغييره في غيره ولكن بثلاثة شروط : أن يكون يسيرا لا يغير مسماه ، وأن لا يزيل شيئا من عينه بل ينقله من جانب إلى آخر ، وأن يكون مصلحة وقف .

Dari dua redaksi di atas (raudlah dan nihayah) tampak bahwa diawali dengan tidak bolehnya merubah (fungsi) benda wakaf, melainkan dengan syarat kemaslahatan yang diberikan waqif. Hanya saja, kemudian diikuti dengan pendapat bahwa yang dimaksudkan itu bukan fungsinya melainkan bentuknya.

Dititik ini, kesimpulannya mengubah fungsi itu tidak boleh seperti mengubah rumah (fungsi tempat tinggal) menjadi kebun (fungsi tempat bercocok-tanam), akan tetapi jika merubah bentuk tanpa merubah fungsi itu boleh dengan adanya persyaratan dari waqif, seperti merubah bentuk tempat potong rambut menjadi toko roti dimana fungsinya sama-sama sebagai tempat usaha.

Selanjutnya, apakah mushalla dan masjid itu satu fungsi dan satu makna yang sama ?

Definisi mushalla (musala) dalam bahasa Indonesia adalah : tempat salat; langgar; surau; (2) tikar salat; sajadah. Silahkan rujuk KBBI. Definisi musala sebagai langgar atau surau adalah definisi yang sesuai dengan urf (kebiasaan) masyarakat indonesia, dimana arti langgar (silahkan rujuk KBBI) adalah : masjid kecil tempat mengaji atau bersalat, tetapi tidak digunakan untuk salat Jumat; surau; musala.

Demikian arti musala yang bisa digunakan untuk merujuk sebagai masjid yang bukan jami’, surau, ruang khusus tempat shalat di suatu gedung , kantor atau bahkan pasar (mal) ataupun tempat shalat di rumah.

Kata mushalla salah satunya terdapat dalam al-Baqarah 125:

وإذ جعلنا البيت مثابة للناس وأمنا واتخذوا من مقام إبراهيم مصلى

Yang perlu dicermati dalam ayat ini adalah kata ‘maqam’ dan ‘mushalla’. Banyak tafsiran mengenai kata ini dalam ayat tersebut, ada yang mengartikan batu, dan ada yang mengartikan al-haram secara keseluruhan. Sedangkan mushalla ada yang mengartikan sebagai tempat yang secara khusus diperuntukkan untuk shalat.

Sedangkan arti dari masjid sebagaimana dikatakan oleh al-zujaj yang dinukil dalam kamus lisan al-arab (lihat entry kata sa-ja-da) : setiap tempat yang dipergunakan untuk ibadah adalah masjid, bukankan Rasul bersabda , “telah dijadikan bagiku bumi sebagai masjid yang suci”.

وقال الزجاج: كل موضع يتعبد فيه فهو مسجَِد، أَلا ترى أَن النبي، صلى الله عليه وسلم، قال: جعلت لي الأَرض مسجداً وطهوراً.

Dengan demikian, baik masjid dan mushalla mempunya arti dan fungsi yang sama secara kebahasaan. Namun, penggunaan kata masjid dalam hukum (fikih) mempunyai kekhususan yang tidak terdapat dalam mushalla sebagai tempat shalat secara umum.

Apakah makna masjid itu meliputi essensinya sebagai tempat melaksanakan jama’ah jum’at, tempat yang diperbolehkan i’tikaf di dalamnya, tempat yang mana orang junub tidak diperbolehkan berdiam di dalamnya ? Atau hanya sekadar konsekuensi dari nama (asma’) yang disandang, sedangkan essensi (musammiyat)nya tetaplah sebagai tempat shalat ?

Jika mushalla dan masjid mempunyai essensi yang sama, maka bukan soal merubah mushala menjadi masjid, bukankah “al-ibrah bi al-musammiyat, la bi al-asma” – Ibrah yang dipegang adalah essensi , bukan nama. Konsekuensi dari suatu nama bukan termasuk kedalam essensi dari nama itu. Seperti tidak boleh jualan roti ditempat potong rambut, sebaliknya tidak boleh potong rambut di toko roti, meskipun essensi keduanya adalah sama yaitu tempat usaha.

Kesimpulan saya, mengubah mushala menjadi masjid, dengan syarat waqif mempersyaratkan satu kemashlahatan yang dipercayakan kepada nadhir , dan nadhir melihat satu kemaslahatan yang benar-benar mendesak, maka itu hukumnya BOLEH. Sebaliknya, mengubah masjid menjadi mushala tanpa adanya mashlahat yang jelas dan mendesak dengan pertimbangan yang ketat itu tidak boleh.

WALLAHU A’LAM

Kembali saya ambilkan jawaban Imam Ghazali :

ونقل الزركشي : عن الغزالي انه سىٔل عن المصلى الذي بني لصلاة العيد خارج البلد فقال : لا يثبت له حكم المسجد فى الاعتكاف ومكث الجنب وغيره من الاحكام، لأن المسجد هو الذي أعد لرواتب الصلاة وعين لها حتى لا ينتفع به فى غيرها، وموضع الصلاة العيد معد للاجتماعات ولنزول القوافل ولركوب الدواب ولعب الصبيان، ولم تجر عادة السلف بمنع شيء من ذالك فيه، ولو اعتقدوه مسجدا لصانوه عن هذه الاسباب ولقصد لاقامة ساىٔر الصلوات، وصلاة العيد تطوع وهو لا يكثر تكرره بل يبنى لقصد الاجتماع، والصلاة تقع فيه بالتبع

Dan Imam Zarkasyi menukilkan dari Imam Ghazali bahwasanya beliau ditanya tentang musholla yang dibangun untuk shalat Ied di luar perkampungan. Maka beliau menjawab tidak ditetapkan padanya hukum masjid dalam hal i’tikaf dan berdiamnya orang junub dan hukum2 lainnya.

KARENA MASJID ADALAH TEMPAT YANG DISIAPKAN UNTUK SHALAT SECARA RUTIN DAN DITENTUKAN UNTUK SHALAT HINGGA TIDAK DIPAKAI UNTUK KEPENTINGAN LAINNYA. SEDANG TEMPAT SHALAT IED DIPERUNTUKKAN UNTUK PERTEMUAN2 DAN MENURUNKAN ORANG DARI PERJALANAN DAN TEMPAT NAIK KENDARAAN DAN TEMPAT MAIN ANAK2.

Dan tidak berlaku kebiasaan salaf melarang hal tersebut di musholla ied. JIKALAU MEREKA MENGANGGAPNYA MASJID MAKA AKAN DIJAGA DARI SEBAB2 TERSEBUT DAN ADA NIAT UNTUK MELAKUKAN SEMUA SHALAT DISANA.

Dan shalat ied adalah sunnah yang tidak banyak berulangnya dan pembangunan musholla tersebut hanya untuk bisa mengumpulkan orang2 sedangkan shalat dilakukan disitu sekedar sebagai fungsi ikutan.

Dari jawaban Imam Ghazali bisa ditarik kesimpulan : JIKA MUSHOLLA DIBANGUN UNTUK SHALAT SECARA RUTIN, PERUNTUKAN UTAMANYA UNTUK SHALAT DAN TIDAK DIPAKAI UNTUK HAL LAIN YANG TAK SEJALAN, DIJAGA DARI HAL-HAL YANG TIDAK SESUAI DENGAN FUNGSI MASJID. MAKA….PADA TEMPAT TERSEBUT BERLAKU HUKUM2 MASJID, alias bisa dipakai tahiyyat masjid, dilarang orang junub berdiam, dsb. Artinya tempat tersebut adalah masjid meski sebutannya musholla.

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Back to top button