ArtikelJam'iyyahOpiniSerba-serbi

Memetik Sejuta Kebijaksanaan dari Kehidupan Santri

Para Santri Bahagia Dengan Aktivitasnya
Para Santri Bahagia Dengan Aktivitasnya

Pengalaman menjadi sosok yang dikenal sebagai santri itu sebenarnya sangat menarik. Sebab, berapapapun usia santri, entah dia masih, kecil, dewasa, maupun tua, akan selalu dicintai dan dikenal sebagai seorang pembelajar yang patuh dan berbakti kepada orangtuanya dan kiai. Baktinya tidak hanya terbatas kepada sosok individu, namun kepada agama, bangsa dan negara pun semangat itu akan terus menyala dan berpijar selamanya. Hal inilah yang  saya rasakan bahwa menjadi santri baik sebagai identitas maupun peran yang harus dipikul dalam kehidupan sosial adalah sangat menyenangkan.

Kehidupan santri yang sangat sederhana dan jauh dari kehidupan glamour menjadikan dirinya dianggap sebagai sosok yang dekat dengan kehidupan sufisme. Seringkali banyak orang mengkritik bahwa kehidupan sufisme adalah kehidupan yang kolot dan terbelakang.  Bahkan sufisme dianggap sebagai penghambat kemajuan zaman sehingga tidak mengherankan apabila Imam Ghazali melakukan respon balik dan membuat karya monumental, kitab Ihya Ulumuddin yang melegenda dan menjadi sebuah lautan ilmu hikmah yang sangat menarik untuk dikaji. Dibalik kehidupan sufisme santri, diajarkan untuk hidup sederhana namun penuh manfaat bagi semua orang.

Menjadi santri tentu saja berbeda dengan pelajar. santri identik dengan sistem mahad (pondok), kyai (encik, ajengan atau tuan guru yang dianggap dan diteladani sebagao tokoh panutan), maupun surau, masjid atau mushalla sebagai tempat paling asyik untuk belajar dan mendalami berbagai kitab-kitab kuning. Maka tidaklah mengherankan apabila pondok pesantren beserta para santri secara umum dikenal sebagai “Indegeanous cultural” (produk pendidikan Islam khas Indonesia). Hal ini selamanya menjadi pengalaman yang sulit dilupakan dan sangat bermakna.

Pengalaman yang lebih luas menjadi santri mengantarkan saya kepada pemahaman ilmu kehidupan yang lebih unik namun memiliki berbagai kebijkasanaan. Banyak hal dari sisi kehdupan dapat dipahami selama proses menjadi santri. Dengan menjadi santri, pengetahuan dan wawasan tentang agama dapat diperdalam dan dapat dipertanggungjawabkan hasilnya. Dengan menjadi santri pula, kita mengetahu keindahan dan keagungan mempelajari berbagai kitab kuning dan makna makna di dalam al-Qur’an.

Tak hanya itu, kita pun bisa mempelajari bahasa asing seperti berbahasa inggris  dan bahasa Arab yang sekarang lagi tren di kalangan pondok –pondok pesantren di seluruh indonesia. Kini, berbagai pondok pesantren pun semakin luas membuka pembelajaran bahasa asing lainnya seperti bahasa Mandarin,  Prancis maupun bahasa Spanyol.  Hal ini merupakan sebuah terobosan penting dalam belajar yang bisa dipelajari oleh santri. Ini menjadi momentum untuk meningkatkan kualitas diri para santri drhingga menjadi nilai pembeda dengan pelajar disebabkan belum tentu banyak lembaga pendidikan umum menerapkan pembelajaran umum dan Islam secara harmonis dan elegan layaknya belajarnya para santri di pondok pesantren. Hal ini merupakan sedikit contoh dari berbagai hal-hal yang menarik dari kehidupan menjadi santri di pondok pesantren.

Bila dikalkulasi, tidak terhitung banyaknya pengalaman berharga selama menjadi santri.  Sejuta pengalaman mondok atau mungkin lebih tidak bisa tergantikan. Selalu kita mendapatkan pengalaman-pengalaman menarik yang datang dengan tidak sengaja. Entah itu yang dilakukan bersama para santri dari penjuru tanah air maupun dengan para kyai. Misalnya saja, saat makan bersama dalam satu loyang besar. Hal itu merupakan saat aktivitas makan yang paling dirindukan, dan saya tidak pernah selalu kesepian dan pastinya akan ditemani makan bersama santri yang memang doyan makan. Bahkan ketika ada hal-hal yang patut dihindari di pondok yang tidak kami patuhi, kami selalu merasakan kebersamaaan yang luar biasa. Seakan-akan kami siap untuk hukuman yang telah dicantumkan oleh pihak pondok.

Budaya antri selalu lekat dengan kehidupan santri. Bahkan dapat dikatakan santri selalu bertemu dan sudah biasa dengan budaya antri. Berbagai aktivitas di pondok pesantren selalu identik dengan antri.  Sebagai contoh, antri mandi seakan menjadi makanan sehari-hari para santri. Bagi santri baru, mengantri tentu sesuatu yang menjemukan dan menjengkelkan. Bahkan kalau tidak sabar bisa saling serobot.  Satu hal berharga dari budaya antri yang paling krusial adalah belajar bersabar. Kesabaran yang paling utama saat antri mandi adalah saat giliran kita mau memasuki kamar mandi, tiba-tiba seketika itu juga ustadz pondok memanggil, mau tidak mau panggilan itu yang lebih diutamakan daripada persoalan mandi. Akhirnya dengan keterpaksaan luar biasa, “harus mengalah” dan “rezeki mandi”  harus diserahkan kepada santri yang mau mandi dengan posisi pas dibelakang saya. Antri mandi bukan satu-satunya pelajaran pendidikan karakter tntang kesabaran di pondok pesantren. Pelajaran lainnya tentang mengantri adalah antri makan. Sehari-hari, santri memang dibiasakan untuk mengantri makan.

Insya’allah, semenjak saya mondok, tidak banyak santri menggeluh mengenai jadwal antri makan. Padatnya jadwal di pondok dalam proses belajar, tidak mengurangi semangat santri untuk antri makan. Biasanya, dari kami bangun tidur, sekitar jam 02.30 pagi, para santri bergegas untuk menjalankan sholat sunnah yaitu sholat tahajud. Setelah sholat malam (sholat tahajud) kami biasanya memanfaatkan waktu menunggu datangnya sholat subuh dengan melakukan hafalan yang ditugaskan dari ustad/ustadzah. Materi hafalan meliputi nadomman imriti,hadis-hadis dan kitab kitab lainnya.  Perjuangan untuk menghafal itu terasa berat, karena para santri juga bertanding melawan rasa ngantuk yang sanggat menggelegar.

Bagi santri, perjuangan melawan rasa kantuk itu terasa spesial, dikarenakan padatnya jadwal kegiatan di pondok. Jangan terheran-heran kalau santri dikenal sebagai pendekar kelelawar. Hal ini dikarenakan santri terbiasa begadang hingga larut malam. Padahal jam maksimal untuk melekan dibatasi hingga jam 11 malam. Yang namanya santri terkadang kebabalasan  kalau begadang. Sejumlah santri terbiasa tidak tidur sama sekali. Paginya pun mereka tetap mengikuti kegiatan yang ada di pondok. Walaupun  ada saja para santri yang tidak mengikuti kegiatan pondok. Ini menjadi penghambat masa depan bagi santri itu dan tidak baik untuk dicontoh. Sebab hal tersebut, bisa membuat kita terlambat untuk maju. Oleh karenanya, jadilah santri itu yang bisa membanggakan orangtua dengan cara mengikuti secara disiplin semua kegiatan dan peraturan di pondok pesantren.

Santri pun tidak asing mengalami “krisis moneter” ataupun “resesi ekonomi berkepanjangan.” Dalam bahasa yang mudah dipahami hal itu biasa disebut dengan santri kere. Biasanya, krisis moneter melanda di waktu pertengahan bulan. Santri sangat lumrah kehabisan uang saku atau uang jajan. Di saat itu pun pikiran bingung dan tidak fokus bercamnpur jadi satu. Harapan besar yang dinati, tentu saja dijenguk oleh orangtua. Saat dijenguk orangtua itulah, seakan-akan kenikmatan surga dunia itu kita rasakan. Betapa senangnya para santri sewaktu dijenguk orangtua. Kedatangan para orangtua tidak hanya membawa uang saja. Bahkan tidak jarang para orangtua santri membawa bekal dari rumah untuk makan bersama anaknya dan para santri lainnya. Di sela-sela makan, disisipi dengan bercerita ke orang tuanya, berbagai kegiatan di pondok pesantren. Mendengar seksama anaknya yang aktif di pondok pesantren, biasanya orang tua para santri sudah bangga. Bahkan senangnya berlipat-lipat manakala anaknya senang dan hommy berada di pondok pesantren. Demikianlah, secuil pengalaman berharga selama menjadi santri pondok pesantren. Disadari memang ada enak dan tidak enaknya menjadi santri . Namun ada satu mutiara hikmah luar biasa menjadi santri yaitu mondok menjadi bekal buat untuk mengarungi masa depan dan menjadikan hidup penuh manfaat dan hikmah.

Maka, marilah untuk berfikir dan mengambil keputusan untuk memondokkan anak anda ke pondok pesantren. Hal ini  dikarenakan sudah banyak pondok pesantren berbasis modern dengan layanan pendidikan yang mendedepankan keuggulan santri di bidang integrasi nilai-nilai agama dengan nilai-nilai kehidupan sosial.

 

Oleh: Ahmad Rasyid Hisyamzaky (Santri Pondok Pesantren al-Ikhlas Pasuruan)

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Back to top button