ArtikelOpiniParamudaSerba-serbi

Aktualisasi Prinsip Panca Jiwa Santri di Era Millenial

Jiwa Santri

 

Berbicara tentang santri, merupakan hal yang tidak asing lagi bagi kita. Santri dikenal sebagai sosok dan kebiasaan melakukan kegiatab bersama dan mengantri. Kegiatan santri diddominasi oleh kolektivitas dan solidaritas dalam banyak hal, misalnya makan bersama, tidur bersama, mencuci bersama, belajar bersama, dan sebagainya. Tidak lupa seorang santri adalah sosok yang teguh sabar dalam mengantri. Mereka harus sabar dan rela untuk mengantri dalam berbagai kegiatan dan aktivitas. Namun dengan semua itu, tumbuhlah rasa kebersamaan dan kekeluargaan antar sesama santri.

Menurut KBBI, santri adalah seorang yang mendalami agama Islam. Mendalami agama Islam dengan bekal sami’na wa atho’na. Dalam sebuah pengajian dijelaskan, bahwa seorang santri bagaikan seorang mayat. Hal ini bermakna bahwa dia adalah seorang yang tak bisa apa-apa. Oleh karenanya, mendengar dan patuh atau sami’na wa atho’na pada sang kyai atau pengasuh adalah bekal utama menjadi seorang santri.

Dalam kehidupan santri dikenal istilah panca jiwa santri atau bisa dimaknai lima jiwa santri. Diantaranya adalah; niat; niat adalah pokok dari segala hal, dikatakan انما الأعمال بالنية “setiap pekerjaan tergantung pada niatnya”. Oleh karenanya, niat menjadi seorang santri hendaknya ditata dan dimantapkan sebelum seseorang memutuskan untuk nyantri atau menjadi seorang santri. Sebab, tidak jarang seorang anak sudah dipondokkan, pada akhirnya terpaksa memutuskan untuk boyong atau pindah pondok sebelum ilmu agama yang didalaminnya selesai dipelajari.

Jiwa santri selanjutnya yakni tentang; kesederhanaan. Ini mengandung pengertian manakala kita sedang berproses nyantri, kita dihadapkan dengan banyak hal contoh kecil. Misalkan dalam aspek makanan, santri ditanamkan hidup sederhana dengan tidak menuruti apa kemauannya. Santri juga tidak bisa serta merta memilih rumah makan yang sesuai dengan selerasanya. Sikap itu berbeda dengan ketika santri berada di pondok pesantren. Makanan yang sudah disiapkan, diterima dan dinikmati meskipun ala kadarnya. Biasanya makanan yang ada di pondok pesantren uga jarang ditemui di rumah. Hal itulah yang membuat sebagian alumni menjadi kangen jadi seorang santri ketika sudah berada di tengah masyarakat.

Panca jiwa santri yang ketiga adalah mandiri. Sebagai seorang santri, kita diajarkan untuk mandiri. Sebab setiap kebutuhan yang diperlukan, santri harus mampu mengelola secara mandiri tanpa bantuan dari orang lain ataupun orang tua. Dari mulai bangun tidur hingga tidur kembali, semua kegiatan santri sudah diatur dan dijadwalkan oleh pengurus pondok pesantren. Oleh karenanya, setiap santri harus menerima konsekuensi tersebut dan menjadi momentum untuk belajar mandiri dan disiplin.

Panca jiwa santri yang keempat adalah ukhuwah santriyah (kebersamaan). Seperti perkataan yang telah lalu, kebersamaan bagi santri adalah hal yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupannya., Dalam kebanyakan aktivitas, santri diajarkan untuk selalu bersama. Sebab dalam kebersamaan itu ada keberkahan yang tersimpan. Panca jiwa santri yang kelima adalah diberikan kebebasan. Ini mengandung pengertian bahwa santri diberikan kebebasan untuk berpikir, memberikan pendapat. Dengan demikian, pastinya kesemuanya memberikan dampak positif pada pribadi santri tersebut.

Dalam sebuah pengajian yang diasuh ustadz Masyhudi dan Ustadz Halim di PPTQ Al-Falah dijelaskan bahwa santri ketika dipilah ke dalam bahasa Arab memiliki istilah: :سنتري , (س: سالك في طلب العلم ) yang artinya berjalan untuk mencari ilmu. Istilah tersebut bermakna seorang santri adalah mereka yang berjuang untuk memperdalam ilmu, tidak hanya ilmu dunia tapi juga ilmu akhirat.

(ن: نائب عن العلماء), diharapkan sebagai seorang santri bisa menjadi naib atau pengganti dari seorang ulama. Santri dididik dengan tujuan bisa memberikan pemahaman dan pengertian kepada masyarakat luas tentang hal-hal yang telah mereka pelajari saat nyantri. Terkhusus pada bidang keagamaan. Namun di era sekarang tidak dapat dipungkiri bahwa seorang santri juga ahli dalam sains dan teknologi.

(ت: تارك عن المعاصي), di pesantren seorang santri diajarkan untuk meninggalkan maksiat. Hal ini bermakna bahwa seorang santri dilatih untuk bisa sedikit demi sedikit meninggalkan perkara-perkara yang menimbulkan maksiat. Dalam hal ini, kyai mengajarkan santri untuk setidaknya berpuasa. Dengan berpuasa, nafsu akan dengan sendirinya mengecil, ketika nafsu mengecil maka perbuatan maksiat pun akan semakin berkurang. (ر: راض ), Ridho, dalam artian seorang santri diajarkan dan dilatih untuk ridho dengan ketetapan dan takdir Allah. (ي: يرجوا السلامة في الدنيا والأخرة ), maksudnya santri mengharap keselamatan dunia dan akhirat. Hal ini bermakna bahwa seorang tujuan akhir santri adalah hanya mengharap ridho dan keselamatan di dunia maupun di akhirat.

Begitu banyak ungkapan positif tentang seorang santri. Padahal di masa dulu santri hanya terkenal yang terbelakang. Santri identik tidak menguasai dunia luar, kolot, tidak menguasai teknologi. Kini kedudukan seorang santri mulai mendapat perhatian. Santri semakin diberikan ruang aktualisasi yang lebih luas untuk dilatih dan diajarkan kesiapan dan kesigapan untuk terjun dalam masyarakat luas. Tidak berhenti di situ, dilansir dari liputan islam.com, pengasuh pondok pesantren mamba’ul ma’arif Denanyar Jombang KH. Abdus Salam Shohib mendorong pemerintah melalui Kementrian Agama (Kemenag) agar segera membentuk Direktorat Jenderal (Dirjen) yang khusus menangani pesantren di Indonesia. Hal itu ia sampaikan di Jombang, beberapa waktu lau. Hal tersebut merupakan salah satu bentuk perhatian ulama’ pada pondok pesantren di Indonesia.

Tempat utama seorang santri mencari ilmu tak lain adalah pondok pesantren. Di Indonesia banyak sekali pondok pesantren misalkan kota Jombang saja, mempunyai kurang lebih 4 pondok besar. Kesemuanya itu terletak di semua sudut atau pojok kota jombang. Pertama, pondok Tebuireng terletak di pojok barat kota Jombang. Pondok ini didirikan oleh KH. Hasyim Asy’ari, salah satu pahlawan Indonesia dan salah satu pendiri Nahdlatul Ulama; Dari pondok tebuireng ini banyak ulama-ulama besar yang terlahir dan berkiprah untuk memajukan Indonesia salah satunya adalah KH. Ma’ruf Amin, rois Am PBNU. Kini adalah wakil presiden RI periode 2019-2024.

Selanjutnya pondok pesantren Denanyar. Pondok ini terletak di pojok utara kota Jombang, dibawah asuhan KH. Bisri Syamsuri. Pondok yang ketiga adalah pondok pesantren Darul Ulum di bawah asuhan KH.Romli Tamim yang terletak di pojok selatan kota Jombang. Sementara pondok besar keempat yaitu pondok Tambak Beras yang terlatak di pojok barat, di dirikan oleh ulama besar KH. Wahab Chasbullah. Beliau merupakan salah satu pendiri Nahdhotul Ulama’. Dari berbagai pondok tersebut, kesemuanya memiliki ikatan persaudaraan.

Di sisi lain, ketika santri dihubungkan dengan masa sekarang yang populer dikenal sebagai zaman millenial, maka ia tidak hanya diberi kewajiban untuk mempelajari agama saja, namun juga berkewajiban mempelajari lingkungan yang ada di sekitarnya. Pada akhirnya, menjadi seorang santri juga merupakan jihad, jihad melawan kebodohan. Sebab, Allah menjelaskan dalam firmanNya bahwa: “Tidaklah sama orang yang mengetahui dan tidak mengetahui”. Ayat tersebut bermakna bahwa seseorang yang mengetahui atau mengerti tentang suatu pengetahuan akan berbeda dengan seseorang yang tidak mengetahui atau mengerti suatu pengetahuan. Di maqolah lain imam Syafi’i mengatakan “siapa yang menginginkan dunia maka dengan ilmu, barang siapa yang menginginkan akhirat juga dengan ilmu, dan barang siapa menginginkan keduanya juga dengan ilmu”. Oleh karenanya, penting sekali bagi setiap santri untuk mencari menomorsatukan ilmu di atas kepentingan lainnya.

 

Oleh: Nur Sofiatun (Santri dapat ditemui di nursofiatun@gmail.com)

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Back to top button