ArtikelOpiniSerba-serbi

Peran Santri Millenial dalam Mendakwahkan Islam Nusantara di Media Sosial

Rujukan NU dan Santri Millenial
Rujukan NU dan Santri Millenial

 

Gerakan Islam Nusantara memasuki babak baru dengan penuh tantangan di zaman millenial. Kecanggihan teknologi tidak serta merta menjadikan Islam Nusantara mudah dipahami dan diberi apresiasi di kalangan masyarakat luas. Disinilah santri millenial perlu menyikapi dan melihat bagaimana seharusnya gerakan Islam Nusantara mampu diimplementasikan dan diterima semua segmentasi masyarakat.

Salah satu hal dari cara penyikapan yang sesuai terhadap gerakan Islam Nusantara ketika berhadapan dengan vis a vis kecanggihan teknologi adalah peningkatan sumber daya manusia kaum sarungan di media online, media social, maupun yang sejenis dengan hal itu. Hal ini sangat mendesak untuk dilakukan dengan alasan bahwa banyak sekali ustadz-ustadz bahkan habaib yang masih belum paham sekali tentang Islam Nusantara. Indikasi itu terlihat dari dari postingan yang di-upload dan berbagai komentar yang menyudutkan tentang istilah Islam Nusantara.

Bila melihat jauh ke belakang, istilah Islam Nusantara pertama kali dimunculkan oleh Prof. Said Aqil Sirodj. Islam Nusantara bermakna menggali kembali nilai-nilai dakwah yang pernah diajarkan oleh Walisongo lewat pendekatan budaya yang santun tanpa kekerasan dan pemaksaan. Inilah indahnya ajaran Islam Nusantara yang dibawa ke Indonesia dengan penuh kesantunan dan kedamaian.

Padahal, sebelum Walisongo masuk ke Indonesia, selama lebih kurang 800 tahun Islam tidak bisa masuk ke indonesia. Hal itu tidak lepas dari tantangan budaya, norma dan kepercayaan masyarakat Indonesia yang belum mengenal Islam secara penuh. Dengan masuknya Walisongo, cukup hanya dengan waktu 50 tahun Islam bisa diterima di Nusantara dan penyebarannya sangat signifikan. Nah metode dakwah seperti Walisongo inilah yang perlu digali kembali secara maksimal, Kenapa? karena metode pendekatannya sangat santun, moderat, dan membumi, lebih kepada pendekatan tasawuf (bukan sekedar pendekatan syariat apalagi khilafah).

Di era milenial ini, banyak sekali dakwah-dakwah yang seolah-olah mengajak untuk beramal ma’ruf. Ironisnya hal itu dilakukan dengan cara cara yang mungkar dan memaksa. Hal ini jauh dari nilai-nilai yang pernah diajarkan Walisongo. Dengan pemahaman Islam Nusantara ini mengajarkan kepada kita bahwa nilai dakwah yg pernah diajar Walisongo perlu digali dan dikembangkan lagi.

Tantangan dakwah di era informasi yang deras ini sangat berat sekali. Oleh karena itu, para santri kalau tidak meng-upgrade ilmu atau yang didakwahkannya atau hanya itu-itu saja, maka akan ditinggalkan oleh jammahnya. Prof. Nadirsyah Hosen pernah bilang: “Saya nge-vlog selama tiga menit itu saya membutuhkan waktu selama tiga jam !!! Agar bisa diserap oleh anak-anak milenial, karena anak-anak milenial membutuhkan kecepatan, ringkasan, dan kesimpulan yang tidak bertele-tele, serta yang paling penting adalah menarik.”

Mengapa dakwah kelompok-kelompok Islam radikal lebih mudah diterima oleh anak-anak jaman now? Satu catatan pentingnya adalah karena mereka menggunakan narasi-narasi yang sederhana, menarik, dan tidak bertele-tele. Menarik untuk mencermati, metode dakwah yang dilakukan Gus Ulil Absar Abdala. Beliau kembali menghidupkan ngaji tentang kitab Ihya Ulumuddin yang disampikan dengan bahasa anak-anak jaman now secara online. Rata-rata pengunjung sampai 300 orang yang online setiap malam Jumat pukul 21.00 WIB di FB beliau (ini seperti waktu Imam Ghozali menngaji juga dihadiri oleh sekitar 300-an orang). Hal ini menjadi metode dakwah yang perlu diaperesiasi dan dikembangkan.

Khofifiah Indar Parawansa selaku Ketua Umum Muslimat NU dan Gubernur Jawa Timur pada saat harlah muslimat NU di Kampus Hijau, UNISMA beberapa waktu lalu pernah mengatakan, “Di zaman informasi yg sangat mudah ini, warga NU harus aktif berdakwah di media sosial, jangan takut dibully,” katanya. Sementara narasi-narasi tentang Islam Nusantara banyak sekali dirudung oleh kelompok-kelompok tertentu yang belum faham dan mengerti. Maka, seyogyanya warga NU wabil khusus santri milenial harus bisa menjelaskan dan meng-counter pemahaman-pemahaman yang miris tentang Islam Nusantara dengan argumen yang menyejukkan dan mendamaikan.

 

Oleh: Sahabat Didik, Santri dan Pengurus Ansor Gading Kasri Malang

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Back to top button