ArtikelOpiniParamudaSerba-serbi

KHIDMAT SANTRI UNTUK ORANGTUA, AGAMA, DAN NEGERI

Khidmat Santri Untuk Negeri

Santri sebagai pribadi dengan jiwa santun, mulia, serta tingkat ketaatan yang tinggi merupakan gambaran ideal dengan sosok pembelajar yang mencurahkan hidupnya untuk memperlajari ilmu agama di satu sisi. Sedangkan di sisi lain, dedikasi hidupnya diniatkan dan diperjuangkan untuk membela tanah air, nusa dan bangsanya. Ini yang menjadikan perilaku patuh mendarah daging dalam didi dsantri. Tidaklah mengherankan apabila ketulusan santri merupakan jiwa yang dibentuk terlebih dahulu ketika mondok. Kehidupan santri dengan sikap halus, lembut, menundukkan kepala dan wajah diterapkan sejak awal kali di pondok pesantren menjadi ciri khas yang tidk tergantikan. Hal tersebut dikumandangkan bagi santri baru untuk taat dan patuh kepada kiai dan pengelola pondok pesantren. Mental dan jiwa santri yang peduli terhadap kehidupan agama dan sosial terbentuk secara berjenjang mulai belajar menjadi keamanan pondok, memainkan peran diri sebagai ustadz, mengayomi saat menjadi ketua kamar. Hal itu pun berlanjut pasca lulus dari program pembelajaran di pondok pesantren. Jiwa kepemimpinan santri semakin kjokoh ketika diberi amanah menjadi ketua daerah atau wilayah. Bahkan tidak jarang para santri banyak yang dipercaya menjadi pengurus pondok, hingga kiai.

Karakter santri dibangun dengan jiwa yang melekat dengan nilai-nilai pondok pesantren. Sebuah tatanan nilai yang dioerintasikan untuk pembangunan mental santri yang sesuai dengan ajaran islam yaitu al-Qur’an, Hadits serta Ijma’ dan Qiyas. Kehidupan Santri di pondok pesantren pada awalnya terasa asing dan seakan sebagai kehidupan baru maupun lingkungan baru yang berbeda dan tidak dijumpai di lingkungan masyarakat. Disinilah kehidupan pondok pesantren bagi santri bertujuan untuk dapat diterapkan di lingkungan masing masing rumah atau kampung tempat tinggal masing masing santri di kemudian hari.

Ciri khas santri yang lain dengan mudah dapat dilihat dari cara bersikapnya. Santri dididik untuk selalu  berucap dengan bahasa yang sopan, berkata jujur, berperilaku mandiri, dan  bersikap sederhana. Hidupanya yang humanis dijauhkan dari sifat kasar dan keras. Sikap dan ucapan yang mulia adalah kebiasan sehari hari yang harus dilakukan oleh santri. Hal ini sudah turun temurun dilakukan oleh santri yang paling tua hingga santri yang paling kecil, walaupun anak anak sekalipun. Santri pun betah berdzikir, mengaji, berjamaah. Hal itu merupakan kegiatan wajib yang tidak boleh ditinggalkan. Setiap aktivitas keagamaan dilakukan dari bangun tidur hingga tidur lagi.. Itu semua dibungkus rapi dengan berpakaian santun berkopyah, berkerudung, dan menyandang kitab kuning.

Suasana di pondok pesantren dengan jumlah santri yang ratusan hingga ribuan menjadikan seperti suasana di kota santri. Inilah sebuah keadaan yang dirindungkan dan membuat hati selalu bahagia. Para santri yang mendalami ilmu agama, tidak hanya memikirkan ilmu untuk kehidupan sehari hari di dunia saja melainkan untuk kehidupan yang lebih abadi yakni di akherat nanti. Suasana pondok pesantren menjadikan semua pendidikan yang diberikan kepada para santri menyatu dalam jiwa sanubarinya, Oleh karenanya, santri dikatakan sebagai penerus agama serta bisa bisa berbakti kepada orang tuanya dengan cara menjalani kehidupan yang baik serta berakhak mulia.

Santri dibimbing untuk tidak mempunyai jiwa duniawi. Santri adalah sosok penerus martabat orang tua, saudara, serta masyarakat lingkungan yang turun temurun. Tidak heran jika santri yang mengaji di pondok pesantren dengan puluhan tahun akan menghasilkan ilmu dan akhlak yang mulia. Jiwa santri adalah jiwa yang terpatri taat. Belajar untuk meneladani sikap baik dari kiainya masing masing. Ilmu yang didapat di pondok pesantren sudah melekat dalam tubuh santri. Nilai-nilai mulia dalam kitab-kitab kuning yang terkaji, seakan sudah menjadi sandaran jiwa dan olah fikir para santri. Maka dikatakan santri manakala semua yang dipelajari di dalam pondok pesantren, merasuk dan mengekal dalam dalam pikiran dan hati nurani.

 

Oleh: Badrus Salam, Santri Asal Pasuruann

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Back to top button