ArtikelOpiniParamudaSerba-serbi

Sikap Santri Millenial Menyikapi Kontroversi Perda Syariah di Indonesia

Para Santri Mengkaji Kitab
Para Santri Mengkaji Kitab

“Negara Indonesia bukan negara untuk satu orang, bukan suatu negara untuk satu golongan. Tetapi kita mendirikan negara semua buat semua, semua buat satu”

-Ir. Soekarno-

 

Pada dasarnya, Indonesia adalah negara yang beragam, baik suku, agama, ras, maupun budaya. Oleh karena itu seorang santri millenial yang nasionalis-religius, memahami bahwa praktik kehidupan beragama dan bernegara dapat berpegang pada dasar negara Indonesia, yakni pancasila. Kelima poin dari dasar negara tersebut sudah dirancang dengan sangat baik oleh bapak proklamator kita yaitu Ir. Soekarno. Sila pertama pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa menegaskan bahwa Indonesia bukanlah negara yang berdasarkan satu agama, melainkan negara memberikan perlindungan kepada semua agama dan aliran kepercayaan. Ini menandaskan bahwa bangsa Indonesia menghormati berbagai agama yang dianut oleh warga negaranya.

Pemahaman hukum nasional dan hukum Islam menjadi sebuah tantangan bagi santri millenial. Hubungan hukum nasional dan hukum Islam ini menjadi isu hangat dan membutuhkan perhatian serius para santri millenial. Menurut Muhammad Fajrul Falak, sejumlah negara yang memiliki penduduk mayoritas muslim terdapat beberapa bentuk pengaplikasian syariat Islam. Hal tersebut terdapat dua kategori yang pertama, negara yang menempatkan syariah sebagai hukum negara. Dalam hal ini, negara cukup merujuk pada sumber al-quran dan sunnah untuk panduannya. Kedua, negara yang menempatkan syariah sebagai pelengkap dalam peraturan negara. Dalam kategori ini, syariat Islam hanya mengatur hal yang privat saja dan tidak menyentuh hal publik.

Di beberapa daerah di Indonesia terdapat peraturan yang mengatasnamakan agama ataupun keyakinan suatu daerah. Salah satunya di Nanggro Aceh Darussalam (NAD) membentuk provinsinya berdasarkan syariat Islam. Peraturan tersebut terwujud dalam undang-undang seperti Peraturan Daerah (Perda) Syariah. Bukan hanya di NAD, perda syariah juga dipraktikkan di Sumatra Barat, Kota Padang, Kota Bengkulu, Tasikmalaya, Pamekasan, Garut, Lamongan, Cianjur, Jember, Indramayu, dan lainnya. Agama menjadi kebutuhan dasar manusia yang tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan sosial. Tetapi bukan hanya ibadah kepada Tuhan, melainkan implemetasi nilai-nilai kepada masyarakat. Oleh karena itu, peran santri dalam menyikapi pergolakan perda syariah perlu diperkuat sehingga memiliki kapasitas dan kontribusi yang jelas dalam kehidupan bertata negara.

Perda sebagai kebijakan publik tidak lepas dari pembuat kebijakan yang bersumber dari proses politik yang melatarbelakangi hal tersebut. Suatu kebijakan diproyeksikan dan diharapkan untuk mengatasi masalah-masalah publik, bukan masalah privat. Semua masalah yang muncul tidak harus semua dijadikan sebagai latar belakang munculnya kebijakan. Sehingga masalah yang tidak bisa diselesaikan secara pribadilah yang dapat digunakan sebagai kebijakan publik. Lalu apakah santri millenial harus menyetujui hal itu? Lalu selanjutnya akankah moralitas sebegai landasan implementasi perda syariah merupakan masalah publik?

Produk hukum yang ada di masyarakat terdapat beberapa praktik berdasarkan syariat Islam seperti perda syariah. Penelitian mengenai perda syariah yang dilakukan oleh Robin Bush pada tahun 2007 diketahui bahwa terdapat 78 berda di Kabupaten atau Kota yang tidak termasuk dalam SK Bupati, Walikota, maupun Gubernur, dan belum diputuskan oleh DPRD. Daerah tersebut seperti Pandeglang, Tasikmalaya, Jember, Tangerang, Bekasi, dan lainnya.

Adanya perda yang bernuansa syariah ini terdapat tanggapan yang beragam dalam masyarakat. Salah satu santri millenial, Prof. Mahfud MD menegaskan, tidak seharusnya membuat peraturan keagamaan yang bersifat pribadi, misalnya beribadah. Karena di era yang bebas beribadah ini seseorang tidak perlu diatur dalam urusan sembayang. Hukum agama yang dimuat dalam peraturan daerah bisa jadi tidak berguna dan bisa jadi menimbulkan diskriminasi. Bagaimana tidak, misalnya di daerah Jember yang tidak seluruhnya beragama Islam mengeluarkan Perda Syariah Nomor. 14 Tahun 2001 Tentang Penanganan Pelacuran. Kategori syariah yang diejawantahkan dalam perda tersebut adalah akhlak dengan manifestasi hukum ta’zir.

Keberadaan Perda Syariah sejak orde baru ini bisa menjadi ancaman hak-hak sipil dalam beragama. Peraturan yang terdapat dalam perda ini bersifat diskriminatif, tidak hanya jenis kelamin tertentu tetapi agama non-Islam. Adapula perda yang isinya mewajibkan seseorang bisa baca tulis Al-Quran sebelum berumah tangga yang diusulkan di Kabupaten Serdang Bedagai. Yang mana baca tulis Al-Quran bukan syarat sah tidaknya suatu pernikahan.

Fenomena Perda Syariah bisa jadi menjadi titik balik demokratisasi, yaitu dengan munculnya pembedaan perlakuan terhadap setiap warga negara di depan hukum Indonesia. Bahkan berkeinginan mengubah Indonesia menjadi negara Islam. Tetapi bagai para pendukung Perda Syariah proses pengimplementasian kebijakan berdasarkan syariah tersebut adalah bagian dari perjuangan untuk menegakkan nilai-nilai Islam di negara. Menurut Haedar Nasir, kegagalan di tingkat Nasional untuk mengubah Indonesia menjadi negara Islam mendeorong mereka untuk mengubah strategi dari desa mengepung kota. Hal tersebut memunculkan berbagai aturan yang bernuansa Islami di daerah-daerah untuk mengubah pondasi Negara Indonesia menjadi Negara berdasarkan agama Islam.

Haruskah persoalan mengenai norma sosial dan norma budayapun diatur dan diangkat dalam Perda Syariah? Lalu apakah ajakan atau seruan moral yang dilakukan masyarakat atau petuah-petuah tokoh tidak berpengaruh dan tidak mendapat penghormatan. Maka dari itu, santri millenial harus lebih intens berbicara keras mengenai hubungan hukum nasional dan hukum Islam sehingga tidak terjadi kebingungan di tengah masyarakat. Hal itu diperlukan agar ada kepastian mengenai corak ideal tentang bagaimana seharusnya menciptakan relasi islam dan Indonesia yang lebih harmosis. Alih-alih untuk menjadikan Indonesia lebih beradab, jangan-jangan peraturan yang memberikan sanksi dan penekanan terhadap masyarakat. Dengan penggunaan nama Allah ataupun Tuhan dalam kebijakan hanya memberikan rasa takut kepada individu untuk tidak melakukannya? Wallahu Alam Bi Showab.

 

Oleh: Dyah Palupi Ayu Ningtyas (Santri, Mahasiswi, dan Aktivis)

 

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Back to top button