ArtikelOpiniParamudaSerba-serbi

Kiprah Santri dan Islam Nusantara di Indonesia

Nahdlatul Ulama dan Pancasila, Saling Melengkapi
Nahdlatul Ulama dan Pancasila, Saling Melengkapi

 

Indonesia sebagai salah satu umat Islam terbesar di dunia harus mewaspadai fenomena radikalisme global yang sedang dialami negara-negara Islam. Konflik dan instabilitas nasional menjadi kesibukan yang melelahkan bagi pemerintah Negara-Negara Islam seperti Afghanistan, Mesir, Suriah, Libya sampai Yaman. Salah satu pemicu konflik tersebut adalah gerakan sporadis yang mengatasnamakan pemurnian Islam, ekslusivitas dan radikalisme. Gerakan pos-Islamisme Konservatif telah menjadi gerakan Transnasional yang hari ini banyak diminati oleh kaum milenial bangsa Indonesia. Survei BIN mengatakan 39% mahasiswa PTN terpapar radikalisme. Hal itu diperkuat pula oleh temuan survei Wahid Foundation bahwa pelajar rohis siap jihad dengan kekerasan.

Melihat hasil survei dari BIN dan Wahid Foundation menunjukan bahwa potensi konflik Negara Islam timur tengah semakin lebar. Parahnya, juga diprediksi akan merambat di Indonesia. Hal inilah yang harus dicegah oleh Pemerintah, civil society, dan segenap elemen bangsa. Kolaborasi dan kerjasama harus dilakukan antara pemerintah dan civil society agar langkah yang dilakukan bukan hanya represif tapi juga preventif. Penyelesaian radikalisme tidak bisa hanya dari hilir saja tetapi juga harus dari hulunya. Oleh karena itu, penulis menawarkan Identitas Islam Nusantara sebagai bentuk penyelesaian dari hulu masalah untuk menangkal radikalisme di Indonesia.

Sejumlah sejarawan menyebutkan Islam Nusantara pertama kali dibentuk oleh Wali Songo (Mufid dan Mu’min, 2018: 34). Keberadaan Islam Nusantara dimulai sejak para wali dan ulama’ melakukan penyebaran Islam di Indonesia. Titik penyebaran Islam mulai dari daerah Pasai sampai Papua. Islam Nusantara bukan agama baru, melainkan menempatkan Islam dengan perspektif Nusantara. Bukan perspektif Barat atau Arab yang terkadang bias dalam memahami kenusanatraan. Diskursus ini menjadi penting dan relevan dalam konteks geopolitik maupun geo kultural global (Aqil Siraj, 2014:203-204). Maka, Islam Nusantara dianggap menjadi langkah preventif dalam menangkal gerakan transnasional yang mulai masuk di Indonesia.

Islam Nusantara hadir dengan membawa pesan damai kepada pemeluknya di pelosok negeri. Kehadirannya, secara prinsipil tidak merubah nilai asasi agama Islam, namun ekspresi keberagamaan  disesuaikan dengan mengadaptasi budaya, tradisi dan nilai nilai lokal tanpa menghilangkan kemurnian syariat Islam. Islam Nusantara membawa nilai-nilai yang santun, damai, toleran dan moderat. Ini yang menjadikan Islam bersifat inklusif dan tidak alergi terhadap yang lain. Kesadaran pehamahan Islam inklusif dalam konteks geokultural Indonesia menjadi salah satu pilar yang penting dalam menjaga keutuhan NKRI.

Gagasan Islam Nusantara membentuk gerakan Islam kultural sebagai garda terdepan menghadapi radikalisme. Keniscayaan radikalisme tidak bisa dihindari dalam fonemena dunia global. Oleh karenanya, Wajah Islam Nusantara yang toleran, inklusif, moderat harus menjadi wajah Indonesia sebagai bangsa dengan muslim terbesar di dunia.

Islam Nusantara tidak dapat dipisahkan dengan pondok pesantren dan santri. Keduanya merupakan bagian integral dari historis Islam Nusantara. Santri sebagai produk murni Islam Nusantara telah terbukti menjadi pelopor dalam setiap pristiwa penting negara. Dari memperjuangkan kemerdekan sampai mempertahanakan kemerdakan, semua tidak bisa dilepaslan dari sejarah santri. KH. Hasyim As’ary dan KH. Wahid Hasyim merupakan santri tulen yang berjasa besar dalam kemerdekaan Indonesia. Pun hari ini, KH Ma’ruf Amin merupakan salah satu wajah santri yang masuk dalam pemerintahan. Oleh karenanya, santri sebagai pembawa moderasi Islam harus lebih mendapat perhatian oleh pemerintah dalam rangka berjalan bersama membentengi bangsa dari radikalisme dan terorisme. Kerjasama pemerintah dan pondok pesantren menjadi kunci menangkal radikalisme. Oleh karena itu, pemahaman Islam Nusantara perlu dipahami sebagai dasar pola gerakan santri bersama komponen masyarakat lainnya dalam membangun identitas kebangsaan yang tidak bertabrakan dengan agama Islam serta menangkal bahaya radikalisme di Indonesia.

 

Oleh: Maulana Fadli (Santri, Aktivis, dan Mahasiswa UIN Malang)

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Back to top button