Jam'iyyahParamuda

FDS, Gerus Peran Nyata Madin dalam Pembentukan Karakter?

MALANG (numuda.com) – Sekolah lima hari atau yang lebih dikenal dengan Five Days School (FDS) menjadi polemik yang dianggap meminggirkan fungsi nyata madrasah diniyyah dalam memperkuat pembentukan karakter anak bangsa.

Problem fundamental dalam dunia pendidikan tersebut menarik perhatian para praktisi pendidikan yang tergabung dalam forum Diskusi Jagong Maton yang dilangsungkan pada Senin (21/7/2017) di Cafe Jagong Maton Kota Malang.

Hadir pemantik diskusi antara lain Abdullah Syam Praktisi pendidikan dari Pesantren Rakyat, Nurruddin (Kritikus Pendidikan dari Aliansi Petani Indonesia), Ilhammuddin Nukman Dosen UB dan Muhammad Mahpur pakar pendidikan dari kampus desa.

Selain itu, diskusi diperkaya dengan beberapa panelis, antara lain Angga Teguh Prastyo (LTN PC NU Kota Malang) dan Agmad Makki Hasan (Lakspedam NU Kab, Malang). Diskusi dimulai dengan paparan Kyai Abdullah Sam Praktisi pendidikan dari pesantren rakyat. Ia menilai ada persoalan besar dalam paradigma pendidikan yang dibangun.

“Alumni sekolah tidak ingin menjadi penemu, malah kepinginnya menjadi pegawai,” ungkap Kiai Abdullah Syam.

 

Uraian pengasuh pesanten rakyat tersebut seakan menegaskan bahwa persoalan mentalitas pendidikan merupakan berdampak kepada pembentukan mentalitas kehidupan yang kerdil dalam mengaktualisasi ilmu pengetahuan.

Selanjutnya, ia mengungkapkan bahwa kita yang belajar, kita yang mengajar, kita yang memberi gelar. Kiai Syam seakan menegaskan bahwa kedaulan pendidikan seharusnya diberikan kewenangan seluasnya kepada para guru dan ustadz yang telah berkiprah bertahun-tahun lamanya dalam dunia pendidikan. Sebab merekalah yang paling mengerti seluk beluk pendidikan selama ini.

Sementara pemantik diskusi kedua Nurruddin (Kritikus Pendidikan dari Aliansi Petani Indonesia,) menyoroti arah masa depan madrasah diniyyah terancam bukan karena kualitas yang semakin menurun, namun peran kultural yang memperkuat keimanan dan keislaman Dalam pandangannya, umat Islam tergurus dari upaya rekayasa sosial melalui peminggiran perannya di masyarakat.

Gus Din, panggilan akrabnya menganggap persoalan FDS bukan hanya persoalan NU – Muhammadiyah. Melalui Permendikbud No. 23 Tahun 2017. Ia menegaskan bahwa pembuat kebijakan tersebut rupanya bukan alumni Madrasah Diniyyah serta tidak memiliki pesantren maupun madrasah diniyyah.

Sorotan tajam Permendikbud No. 23 Tahun 2017 menjadi kajian utama panelis dari LTN PC NU Kota Malang, Angga Teguh Prastyo. Dalam pandangannya, regulasi tersebut memiliki banyak kesalahan fatal. Pertama, dilihat dari landasan filosofisnya, regulasi menggunakan alasan globalisasi menjadi ancaman utama yang dapat melemahkan pendidikan karakter anak bangsa.

Kemudian dikatakan bahwa untuk menanggulangi hal tersebut perlu dilakukan restorasi. “Nah kalau spirit restorasi tersebut hanya dimaknai dengan membolak-balik jam pelajaran dan pengaturan beban kerja guru, ini sebuah solusi yang tidak menyentuh akar persoalan pendidikan karakter dan terkesan dipaksakan dan mengada-ada. Sejarah hukum dari peraturan ini tidak menampakkan kepentingan yang urgen atas lahirnya peraturan jam sekolah

Sedangkan dalam aspek landasan yuridis dalam regulasi itu mengacu UU. No 14 Tahun 2005, PP no. 78 tahun 2008 dan sebagainya. Kesemuanya itu merupakan aturan terkait beban kerja guru bukan terkait dengan penguatan pendidikan karakter.

Oleh karena itu, peraturan ini sebenarnya hanya mengakomodasi beban kerja guru yang dibungkus dengan pendidikan karakter. Persoalan besarnya adalah kenapa tidak secara tegas bahwa permendikbud ini tentang pengaturan beban kerja guru pada lembaga pendidikan yang menggunakan FDS.

Pada sisi lain misalnya pasa 5 ayat 4, bahwa apabila dikatakan bahwa penguatan pendidikan karakter menjadi fokus utama, lalu mengapa tidak secara tegas misalnya dalam frasa kegiatan pengayaan mata pelajaran tidak dintegrasikan dengan nilainilai karakter? Padahal hal itu bisa menjadi solusi untuk menyelesaikan beban kerja guru yang kurang dari 24 jam mengajar dalam seminggu dengan kegiatan team teaching di kelas.

Sementara pemantik diskusi yang lain, Maghpur dari kampus desan menegaskan bahwa adanya FDS ini berpotensi akan menjadikan anak anak telah kehilangan kebahagiannya dan tidak bisa menemukan kebahagiannya. Sementara pemantik diskusi Ilhamuddin dari UB menyatakan bahwa sekolah itu hidup selama-lamanya tidak ada kegagalan yang ada adalah proses belajar, maka FDS boleh dilaksanakan namun dengan berbagai catatan.

Asalkan dalam proses implemenasinya mampu menghadirkan anak dalam keadaan sehat dalam psikologi, yang meliputi bercinta, bekerja, bermain, dan belajar, maka bisa diteruskan.

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Periksa Juga
Close
Back to top button