ArtikelOpiniParamudaSerba-serbi

Kisah Santri Dalam Menata Hidup Baru Yang Lebih Berarti

Kisah Santri Dalam Menata Hidup Baru Yang Lebih Berarti

 

Saya terlahir dari orang tua yang apatis terhadap agama. Bisa dikatakan, kondisilah yang menjadikan pengambilan keputusan tersebut. Seakan orientasi hidup yang ingin dikejar adalah sebuah ambisi untuk menjadi kaya tanpa memikirkan agama. Masa kecil saya beranjak dewasa, ditakdirkan untuk hidup jauh dari keluarga. Saya tinggal bersama om dan tante. Dari kedua om dan tante tersebut, kehidupan saya lebih dekat dan mengutamakan agama. Setiap hari, Saya dididik menjadi muslim yang patuh pada agama. Inilah yang membuat saya merasa beruntung meski tidak dapat tinggal bersama keluarga tercinta. Dari kondisi inilah, saya mengetahui banyak hal tentang agama yang mungkin tidak dapat saya dapatkan ketika berada dalam lingkungan keluarga.

Saat menginjak kelas enam SD, saya diputuskan untuk tinggal bersama orang tua. Ibu menyuruh saya untuk menuntut ilmu di sekolah negeri agar nantinya saya dapat masuk bangku kuliah dengan mudah. Namun saya menolak dengan alasan saya tidakmemiliki minat sedikitpun sama menuntut ilmu di negeri. Meski, pada saat itu,nilai saya mencukupi. Impian dalam benak saya ternyata berbanding terbalik dengan keluarga. Dibalik itu, keinginan terpendam yang saya inginkan adalah menjadi seorang bu nyai yang hidup dengan tenang dan penuh rasa kehormatan. Namun, keinginan itu tidak diperkenankan oleh orangtua.

Akhirnya saya memutuskan sekolah MTs yang bersebelahan dengan rumah om dan tante. Saat itu, tentu saya merasa sangat kecewa dengan orangtua. Saya yang ingin menjadi santri sejati. Untuk itu belajar mengalah terhadapkeinginan orangtua. Tiga tahun saya menjalani diri sebagai siswa di MTs tersebut. Banyak pengalaman yang saya dapatkan. Saya termasuk dalam siswa angkatan pertama dengan perjuangan penuh pengorbanan setiap harinya. Ketika memasuki kelas tiga, saya bertekad untuk bisa masuk pesantren dengan izin orangtua. Saya bahkan sudah mencari referensi pondok pesantren yang akan dituju.

Saat saya menyelesaikan selesai ujian nasional, saya diminta oleh ibu untuk melanjutkan studi di sekolah negeri. Entah mengapa, saya menolaknya. Banyak sekali perdebatan saat itu. Namun, om dan tante saya bersikap netral, tidakmemberikan tanggapan apapun. Om dan tante memberikan keputusan masa depan ditangan saya. dengan berbekal ketegasan, saya berkata pada ibu bahwa saya memiliki keinginan besar menimba ilmu di pondok pesantren. Saya meminta bantuan om dan tante untuk mendaftarkan diri saya di pondok pesantren. Pada saat itu, ibu sama sekali tidak membiayai sepeserpun. Bahkan setelah mendaftarkan diri, saya memohon lewat telepon pada ibu untuk mengantarkan saya memasuki pondok pesantren.

Hari pertama saya memasuki pondok pesantren, terasa tidak ada yang aneh ataupun mengharukan. Bahakan saya sama sekali tidak meneteskan air mata. Hanya saja, saya merasa menjadi orang yang beruntung dapat memasuki pondok pesantren. Saya menikmati setiap kegiatan didalamnya. Saya berusaha menjadi pribadi yang lebih baik dan mematuhi segala aturan. Saya yang sudah pernah belajar kitab kuning, merasa bangga karena dapat membantu teman yang belum bisa sama sekali. Bahkan, saya selalu mengisi waktu luang dengan belajar dan murojaah.

Dari hari ke hari, saya berusaha menjadi pribadi yang baik dalam lingkungan pondok pesantren. Meski kenyataannya, tidak semudah yang dibayangkan. Bahkan, saya pernah dijauhi dan dimaki oleh teman dekat. Dia mengatakan kepada saya, bahwa ia merasa iri dengan semangat belajar yang saya miliki. Karena hal tersebutlah, saya mulai intens beradaptasi dengan sikap teman tersebut. Hal itu dimulai dengan cara mengubah aku mengubah kegiatan belajar yang telah disusun sebelumnya. Saya tidak pernah lagi belajar di waktu luang. Namun. Saya belajar pada saat teman-teman sudah tertidur. Hanya dengan cara demikian,saya tetap memiliki teman.

Mungkin bagi sebagian orang, Hal itu merupakan sesuatu yang konyol. Bisa saja saya bersikap tak acuh padanya. Pilihan keputusan yang saya ambil, ditekankan agar teman saya tidak merasa terbebani dengan kegiatan belajar yang sudah disusun. Dengan bersikap seperti itu, mereka akan memperlakukan saya dengan baik.

Saat kenaikan kelas tiga, terdapat pengumuman. Isi pengumuman menjelaskan saya terpilih menjadi pembimbing untuk santri baru. Pada saat itu, saya sangat terkejut dan bingung harus senang ataukah sedih. Saya merasa senang karena saya tidak lagi harus bersembunyi dalam belajar. Namun saya juga merasa sedih karena saya harus beradaptasi kembali dengan teman kamar yang bisa saja mereka tidak suka dengan sikap saya. Saya menangis pada ustadzahk, dan memohon untuk tidak menjadikan saya sebagai pembimbing. Tapi ustadzah meminta saya untuk menerima dengan ikhlas. Dengan berat hati, saya tidak bisa menolak permintaan dari ustadzah tersebut.

Seminggu sebelum santri baru datang, saya melakukan roan (kerja bakti) di kamar baru. Saya mempersiapkan kebutuhan santri baru agar mereka merasa nyaman. Saya dan dua teman yang lain mulai menyapu, mengepel, membersihkan kaca, membeli peralatan kamar untuk memnyambut santri baru. Selama seminggu saya tidak tidur di kamar tersebut. Saya meminta izin kepada ustadzah agar saya bisa tidur di kamar bersama teman-teman. Saya sangat menikmati kebersamaan itu bersama teman-teman. Kebersamaanpun terasa semakin erat.

Tepat pada hari Jum’at, para santri baru berdatangan. Mereka dengan wajah bahagia mulai memasuki pondok pesantren. Namun tidak sedikit dari mereka yang menangis karena akan ditinggalkan oleh orang tuanya. Saya sebagai pembimbing dituntut untuk membuat mereka nyaman dengan pondok pesantren. Saya mulai berusaha beradaptasi dengan mereka. Nava, salah satu nama yang saya ingat sampai sekarang. Dia merupakan santri baru yang cukup membuat saya tidak betah dengan sifatnya. Dia masuk pondok pesantren bukan karena keinginannya. Dia merupakan salah satu anggota punk rock jalanan. Saat pertama ia memasuki pondok pesantren, dia memakai celana dengan rambut warna merah.

Pertama kali bertemu dia, saya sudah berprasangka buruk padanya. Tapi saya berusaha berpikiran positif padanya. Belum genap satu bulan di pondok pesantren, ia sudah membuat keributan. Ia keluar dari pondok pesantren dengan cara menyamar seperti orang yang sedang mengunjungi anaknya. Pondok pesantren saya memang luas dan tidak ada hari khusus untuk mengunjungi keluarga. Maka tak heran jika ia lolos oleh satpam dengan pakaian seperti itu. Semalaman saya mencari Nava, namun saya tidak bisa menemukannya. Saat itu ia kabur sendirian dengan membawa tas saja.

Keesokannya supir sayur menemukan Navaa di depan pondok pesantren dalam keadaan a tidak memakai kerudung. Saat itu saya langsung menemuinya dan membawakan baju ganti untuk dia. Tak berhenti disitu, saat ustadzah menginterograsinya, dia menagaku kabur karena perlakuan saya kepadanya. Dia berkata bahwa saya membuat dia tak nyaman di pondok pesantren. Saya yang mempunyai sakit jantung sangat tertekan dengan pernyataannya. Saya tidak sadar bahwa ternyata seketika pingsan saat dia berkata seperti hal tersebut. Saya sakit selama berhari-hari sehingga tidak dapat melakukan kegiatan seperti biasanya.

Beberapa hari kemudian, saya mendapat kabar bahwasannya Nava akan keluar dari pondok pesantren. Seketika saya menemui Nafa dan menanyakannya, akhirya dia mengakui kesalahannya dan memohon maaf. Saya menangis karena merasa gagal sebagai pembimbing. Sejak saat itu saya mulai membuka lembaran baru dan menjadikan kejadian dengan Nafa sebagai pelajaran kedepannya.

 

Oleh: Innani Maghfiroh (Santri, Mahasiswa UIN Maliki Malang)

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Back to top button