Opini

Pada Siapa Kita Sedang Menghamba?

Beberapa waktu yang lalu, tulisan Mas Hairus Salim (Direktur Eksekutif Yayasan LKiS Yogyakarta) –yang ditulis di laman Facebooknya– beredar di grup WhatsApp sebuah komunitas yang saya ikuti. Mas Hairus menceritakan tentang seorang penambal ban dan sepasang ibu-anak yang ban motornya bocor. Singkatnya, penambal ban tersebut tidak mau menambal ban motor ibu tersebut karena 20 menit lagi masuk waktu salat dhuhur. Bapak penambal ban tersebut tidak mau tertinggal salat jamaah di masjid. Sepintas kita tentu mengagumi betapa bapak penambal ban tersebut amat rajin untuk menemui Penciptanya. Namun di balik penolakan itu, ada raut wajah ibu-anak yang teramat lelah karena berjalan kaki dan menuntun motornya dengan jarak tempuh entah berapa kilometer. Mas Hairus menggambarkan bahwa selain wajah lelah, juga nampak gurat kecewa. Sebabnya, tidak ada tambal ban selain milik bapak tersebut. Di sisi lain, ibu dan anaknya yang teramat kecil itu dalam keadaan terburu-buru. Dalam tulisannya, Mas Hairus memunculkan perspektif baru dalam memandang keping kejadian tersebut. Di hampir bagian akhir tulisannya, Mas Hairus menyebut fenomena tadi sebagai agama yang kehilangan wajah manusiawinya.

Siapa saja boleh sepakat atau tidak terhadap pandangan Mas Hairus tersebut. Namun saya, adalah satu dari sekian banyak orang –termasuk mayoritas anggota komunitas– yang mengamini perkataan Mas Hairus. Dalam praktik kehidupan sehari-hari, sebenarnya tidak jarang kita jumpai fenomena yang serupa. Saya pernah mendapat cerita dari seorang teman yang pernah ditimbang kesungguhan ibadahnya hanya karena rekaat salat dhuha. Manusia mana pun selama statusnya masih manusia, rasanya kurang elok jika gemar menimbang kadar ibadah orang lain. Teman saya tadi –yang salat dhuhanya istikamah–, dilabeli ibadahe ora tenanan oleh seorang temannya yang lain. Saya sempat bertanya pada teman saya, berapa rekaat salat dhuha yang ia lakoni. Dengan penjelasan yang amat detil, teman saya bercerita bahwa dia salat dhuha 2 rekaat karena waktu yang tersisa hanya sekira 20 menit. Padahal dia memiliki jam mengajar di sebuah sekolah. Dia tidak ingin murid-muridnya menunggu. Dia tidak ingin terlihat lelah dan murung saat memasuki kelas, akibat lari-lari dari kosnya ke sekolah. Saya yang mendengar cerita tersebut tidak habis pikir. Ternyata tidak berhenti sampai situ. Temannya tadi juga membandingkan rekaat salat yang dilakukan teman saya dengan rekaat salatnya. Teman saya 2 rekaat, dia 8 rekaat. Paripurna sudah keheranan saya.

Fenomena di atas nampaknya cukup membuat kita sadar. Di beberapa kesempatan, potret beragama kita justru kehilangan sisi manusiawinya. Tidak melulu seputar hal-hal yang berkaitan dengan ibadah mahdhah. Hilangnya sisi manusiawi ini juga merambah pada segmentasi ibadah ghairu mahdhah. Berapa kali kita melihat keburukan orang lain lalu kita merasa lebih baik? Nampaknya sepele, tapi sesungguhnya tidak. Berawal dari perasaan lebih baik itulah, biasanya lisan kita akan mudah sekali keprucut omongan elek. Tidak ada satu pun yang bisa menjamin bahwa omongan elek kita akan serta merta dimaafkan, hanya karena orang lain kebetulan terkuak sedikit saja keburukannya.

Tentang ‘ibadah’ mana yang lebih baik, dalam sebuah tulisannya, Gus Nadir menjelaskan perihal hadits Bukhari-Muslim yang menyinggung soal ini. Suatu ketika Rasulullah pernah ditanya tentang ibadah manakah yang lebih baik. Rasulullah menjawab ibadah yang lebih baik adalah memberi makan anak yatim dan menebarkan salam. Jawaban Rasullullah ini menurut Gus Nadir amatlah humanis. Memberi makan anak yatim adalah urusan kesejahteraan sosial, sedangkan menebar salam adalah perkara perdamaian, dan memandang orang lain dengan mata kasih sayang. Di sebuah cerita sufi, dikisahkan pula ada seseorang yang bertanya pada sang sufi tentang nama Tuhan yang ke-100. Lalu Sufi tersebut menjawab bahwa nama Tuhan yang ke-100 adalah pengabdian pada umat manusia.

Dari ulasan tersebut, harusnya kita yang minim ilmu ini nggrayahi jithok masing-masing. Jika Rasulullah dan para ‘alim saja sehumanis itu, pantaskah kita merasa jumawa atas ibadah yang entah bagaimana nasibnya: diterima atau tidak. Rasa-rasanya tidaklah patut untuk menghakimi salat orang lain, puasa orang lain, atau ibadah-ibadah yang lainnya. Apalagi penghakiman itu disertai dengan denyar-denyar perasaan lebih baik. Kalau kata Mbahnyutz, “Ah, jangan-jangan kata lebih baik itu hanya perasaan kita saja, padahal sesungguhnya tidak”. Begitu pula ketika menyaksikan keburukan orang lain, “aku lebih baik” sudah seharusnya ditanggalkan. Lebih-lebih jika orang yang kita lihat buruk, ternyata punya keinginan kuat untuk berbenah, dan sedang menuju-Nya. Tapi, hidup ini memang penuh warna. Nyatanya ada saja yang hatinya justru dongkol saat melihat orang lain berbenah dan lebih baik dari sebelumnya. Nah, kalau sudah begini, satu pertanyaannya. Pada Siapa kita sedang menghamba? Pada Allah ‘Azza Wa Jalla, atau pada “perasaan lebih baik” semata?

Hikmah Imroatul Afifah

Pelajar NU Kota Malang

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Periksa Juga
Close
Back to top button