ArtikelOpiniParamudaSerba-serbi

Pengalaman Berharga dan Luar Biasa Menjadi Santri

Merah Putih Selalu di Dada Santri

 

Sebelum hadirnya para wali songo ke tanah jawa, santri menjadi kata yang terasa sangat asing. Kata ini dianggap berbau oleh sebagian orang yang berbudaya Jawa. Halini dikarenakan, kata santri baru dikenalkan ketika dibawakan oleh Wali Songo. Terlebih di pulau Jawa. Seiring perkembangan zaman, kata “santri” sangatlah umum terdengar banyak publik. Kata tagline “ayo mondok, mondok keren” sudah menjadi identitas yang melekat dalam diri santri.

Semakin populernya santri,tak ayal, orang tua pun menyuruh anaknya mondok. Minimal setahun. Bahkan, ada orang tua yang rela anaknya umur 12 tahun sudah dipondokkan. Halini dikarenakan mereka mengharapkan anaknya mendapatkan wawasan yang luas. Situasi yang dirasakan waktu di pondok dan di rumah pun berbeda. Faktor inilah membuat orang tua mewajibkan anaknya berada dalam lingkungan pondok. Kehidupan luar yang semakin lama semakin parah semakin menguatkan orang tua untuk memondokkan anaknya. Ketika masuk dalam budaya pondok, kebanyakan para santri kaget dengan budaya yang berbeda dengan yang dia dapatkan di luar. Mulai dari budaya agama, maupun budaya lingkungan di luar pondok.

Inilah yang saya rasakan dulu sewaktu mondok dan menjadi santri. waktu zaman memasuki remaja. Saya dulu, tidak mengenal agama sama sekali. Mungkin hanya sekedar bisa membaca al-Qur’an. Itu pun masih belum lancar. SD saya dulu berada di SD Unggulan di Lamongan. Dikarenakan saya yang termasuk anak urakan, akhirnya saya juga ingin memperbaiki diri. Motivasi besar yang saya peroleh dari mbah saya, “Cucuku cantik ya kalau memakai kerudung, mbah kong pasti tambah sayang ama Prima”. Inilah sepatah kata luar biasa yang membuat keinginan kuat untuk masuk pondok.

SMP saya berlokasi di Malang. Tepatnya di pondok pesantren modern, SMP Ar-Rohmah Putri, yang terletak di area Malang. Saya termasuk santri angkatan ketiga. Oleh karenannya, saya menjadi saksi berkembangnya pondok pesantren saat itu.. Seperti perkembangan fasilitas, maupun perkembangan ilmu. Ilmu yang saya peroleh di sana berbeda dengan saya rasakan sekarang. Ternyata pondok saya merupakan pondok modern, berfokus Al-Qur’an, Hadits Arba’in, Fiqih.

Bukan faktor hal di atas yang membuat saya merasa berat. Namun kondisi yang membuat saya belum mengikuti ritme belajar disana. Mungkin saya yang biasanya budaya luar, belum bisa beradaptasi dengan budaya di dalam pondok. Semasa kelas 7 SMP, saya belum bisa menghafal juz 30. Hanya bisa menghafal sampai Surat Al-Ghasiyyah. Ketika UAS, saya mendapatkan nilai nahwu yakni 20. Di saat yang lain mendapatkan di atas 70. Saya juga mendapatkan ranking 31 dari 31 murid di kelas saya. Ini yang membuka mata saya untuk mengubah pola belajar saya.

Saya kuatkan diri sambil berkata dalam hati, “semakin kita menjadi orang terbelakang, semakin banyak yang meremehkan kita”. Akhirnya saya memperbaiki diri, meskipun secara berkala. Mulai dari yang dulu saya termasuk pelit, akhirnya saya mencoba berbagi dengan sesama. Dulunya saya dikenal sebagai wanita judes, saya pun mencoba berperilaku baik kepada semua orang.

Ternyata dari perubahan itu membuat saya mendapatkan banyak teman. Anak-anak yang dulunya suka membully saya, menjadi malu dengan diri mereka. Saya yang dulunya dipandang jelek, bisa membuktikkan bahwa saya termasuk terpandang dihadapan mereka.

Alhamdulillah saya bisa lulus, dengan mumtaz dan bisa membekali diri dengan hafalan Qur’an 3 juz (30,29,28) dan Hadits Arba’in (42). Sebelum lulus, disana diadakan ujian terbuka (UTER) yang diikuti oleh semua kalangan. Jadi kita hanya dites 3 macam, yakni menebak jenis surat apa, hadits, dan arti dari ayat tersebut seperti dalam acara Hafidz Qur’an. Itu semua bisa saya lalui, dengan sangat lancar. Saya pun mendapatkan ranking 6 dari 31 anak. Itu hal luar biasa yang saya rasakan.

Bagi saya, orang yang membenci kita. Bisa jadi orang tersebut menyanyangi kita, tapi dengan cara yang berbeda. Bisa jadi dengan cara tersebut, membuat kita menjadi orang terpandang dibandingkan dengan yang lain.

 

Oleh: Meriza Prima Audina (Santri Alumni PP. Ar-Rahmah Putri Batu)

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Back to top button