ArtikelOpiniParamudaSerba-serbi

Saya Bangga Menjadi Santri Kalong

Bangga Jadi Santri
Bangga Jadi Santri

Perkenalkan saya Fajar Rinaldi Seorang mahasiswa UIN Maulana Malik Ibrahim Malang jurusan Pendidikan IPS semester 3 (tiga). Saya seorang santri batman a.k.a santri kalong. Sebagaimana umumnya santri biasa dikenal sebagai sosok yang menggali ilmu agama dan bermukim di pesantren. Sedangkan, santri kalong mempelajri ilmu agama di pesantren, namun tidak bermukim di tempat tersebut. Pengalaman menjadi santrikalong diawali saat saya menempuh pendidikan agama di Madin (Madrasah Diniyah) Al-Mukhlis, Dinoyo. Lokasinya berdekatan dengan rumah. Setahun kemudian saya memutuskan nyantri di Mahad Al-Aly. Saat ini, saya tercatat sebagai santri di Pondok Pesantren Anwarul Huda. Di Madin Al-Mukhlis, saya belajar mengaji kitab turast dan belajar membaca al-Qur’an bersama ustadz-ustadz yang merangkap takmir masjid.

Semenjak tahun 2015, Saya sudah mempelajari ilmu agama dengan bimbingan langsung dari ustadz-ustadz. Saya tertarik menjadi santri ketika saya sedang menempuh pendidikan formal di salah satu SMK di kota Malang. Awal menjadi santri, saya memulai mendalami ilmu agama diawali dengan membaca al-Qur’an. Pengalaman indah belajar al-Qur’an ini saya ceritakan kepada nenek. Setelah puas saya bercerita, nenek kemudian menyampaikan cerita saya kepada salah satu ustadz yang sekaligus takmir masjid. Beberapa hari saya pun mengaji dengan salah satu ustadz di masjid. Tujuannya supaya saya terikat dan ingin belajar membaca Al-Quran secara terus menerus.  Hal itulah yang saya tanamkan dalam hati dan berharap istiqomah belajar agama. Saya menyadari ilmu agama yang dipelajari masih dangkal. Terlebih saya berasal dari dari keluarga umum yang tidak terlalu mengenal agama Islam. Oleh karena itulah, saya ingin mendalami agama sekaligus menjadi Santri yang bermanfaat untuk sekitar.

Saya tercatat sebagai santri di madin (madrasah diniyah) yang lokasinya berdekatan dengan rumah. Tidak heran, saya sering mengikuti kegiatan masjid dari sholat, diba’an dan perayaan hari-hari besar Islam. Hal ini rupanya mendatangkan barokah tersendiri bagi saya. Entah mengapa, atas kegiatan tersebut, saya mendapat penghargaan menjadi Santri of The Year 2016 & 2017. Kegiatan keagamaan yang paling sering dilakukan saat itu adalah adzan di masjid dan sambil menunggu iqomah saya bersholawat. Di sela waktu, terkadang sering berdiskusi dengan ustadz-ustadznya dari tentang agama sampai kegiatan sehari-hari. Terkadang Ustadz saya kalau memiliki kelebihan rezeki, terkadang saya ditraktir makan.

Semua anggota keluarga saya, tidak mengenyam pendidikan agama mendalam seperti mondok atau madrasah. Disitulah salah satu keresahan yang muncul dalam diri saya untuk termotivasi menjadi santri. Saat bersama keluarga, saya berbagi pengetahuan agar kami makin mendalami agama Islam. Kesadaran saya mengaji muncul di kelas 10 SMK tahun 2015. Kebetulan saat itu terbentuk Madin Al-Mukhlis di masjid dekat rumah. Munculah semangat belajar ilmu agama Islam setiap hari. Meski waktu mengaji yang disediakan adalah selepas pulang sekolah, tetapi rasanya sangat capek. Namun hal itu tidak mematahkan saya untuk istiqomah mengaji dengan penuh semangat

Saat belajar mengaji di  madin, saya belajar tidak hanya terkait cara membaca al-Qur’an saja, melainkan mempelajari pula tata cara beribadah seperti berwudhu. Tidak hanya itu, saya juga diajarkan mengenai perilaku yang baik dalam menjalani kehidupan. Terkadang setelah mengaji, saya berbincang-bincang tentang kehidupan dan bercanda dengan ustadz-ustadz di masjid. Waktu mengaji biasanya dimulai ba’da magrib hingga selesai saat menjelang isya.

Memasuki tahun 2017, saya menjadi santri madin al-Mukhlis Dinoyo Malang. Saat itu, saya sudah kelas 12 SMK. Menjelang lulus, saya kebingungan untuk memilih pergurua tinggi selepas lulus SMK. Dalam benak saya, ada kebimbangan untuk memilih UM (universitas Negeri Malang ataukah UB (Universitas Brawijaya). Keduanya dikenal sebagai perguruan tinggi yang memiliki kualitas unggul. Lantas, saya memberanikan diri untuk berkonsultasi dengan ustadz di madin. Beliau lalu menyarankan lebih baik memilih UIN Maulana Malik Ibrahim Malang saja melanjutkan untuk kuliah. Salah satu pertimbangan beliau memilih UIN Maulana Malik Ibrahim Malang adalah disamping kuliah juga memiliki fasilitas pondok pesantren. Ustadz saya juga mengatakan kuliah bisa gratis sebab beliau kuliah S1 mendapatkan beasiswa dari awal sampai akhir studi.  Saya pun Semakin bersemangat terlebih setelah di UIN Maulana Malik Ibrahim Malang disebutkan adanya pondok pesantennya. Ini kesempatan saya untuk menimba ilmu agama Islam lebih dalam.  Sebab, selama ini saya belum pernah mengenyam sekolah agama semacam madrasah maupun pondok pesantren.

Melangkah pasti untuk menyelesaikan studi S1 di UIN Maulana Malik Ibrahim Malang dengan harapan kuliah gratis menjadi harapan saya. Ini bukan sesuatu yang mengada-ada, ustadz saya bisa membuktikannya. Kenyataannya, memang saya tidak berasal dari keluarga tapi dengan tekad bulat pasti bisa gratis. Itulah membuat saya optimis untuk kuliah. Apapun kata orang lain, bila kuliah mahal itu tidak mungkin, pasti orang miskin seperti saya bisa kuliah gratis sampai S3. Dalam benak hati, saya tanamkan kata-kata, “boleh keluarga miskin tapi untuk mimpi dan usaha harus kaya”.

Sejak saat itu saya meniatkan diri untuk menempuh di UIN Maulana Malik Ibrahim Malang. Dalam proses tersebut, beberapa ujian saya lewati dari UAS (ujian akhir sekolah) Sekolah, Ujian Nasional di SMK, alhamdulillah berjalan dengan lancar. Ada kalanya, dalam diri saya timbul keinginan dan bermimpi menjadi rektor. Pikiran itu saya komunikasikan dengan teman, walau setiap kali berdialog dengan teman saya tersebut, selalu tertawakan. Saya beryakinan, suatu saat impian itu akan terkabul dan saya yang pada gilirannya akan menertawakan teman-teman saya. Banyak teman mewanti saya apabila masuk UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, nantinya akan melaksnakan nyantri wajib selama 1 tahun. Bagi mereka, hal itu dianggap sebagai seuatu yang tidak menyenangkan. Padahal justru hal itu yang saya harapkan. Saya percaya  nyantri dengan semangat belajar agama islam yang tinggi akan melahirkan keberkahan yang luar biasa.

UIN Maulana Malik Ibrahim Malang menjadi pilihan studi saya meneruskan jenjang pendidikan sarjana. Pilihan kampus tersebut didasarkan atas desakan ingin merasakan bagaimana rasanya nyantri dan menginap di sana. Disamping itu juga berniat untuk belajar ala pondok, berteman dengan anak luar kota bahkan pulau. Dengan cara seperti itu, akan didpatkan banyak kenalan dari berbagai provinsi. Niatan itu memang sudah lama saya pendam. Maklum saya cuma mengaji di madin dekat rumah setelah itu pulang. Seakan dunia terasa sempit dan sepi.

Pada tahun 2017, rupanya takdir berbicara lain. Ksempatan saya untukkuliah di perguruan tinggi belum terwujud. Akhirnya, saya memutuskan  bekerja menjadi buruh percetakan. Taklama berselang,saya juga mengadu nasib menjadi pramuniaga Alfamart. Walau bekerja saya tidak lupa menunaikan kewajiban menjadi santri Madin. Kewajiban utama santri Madin adalah belajar setiap pulang kerja. Kegiatan belajar dilakukan dengan selalu mengaji ba’ada magrib. Meski badan letih karena bekerja tetapi itu tidakmenyurutkan semangat mengaji. Setiba pulang kerja pasti saya langsung menuju ke madin untuk mengaji. Walau bekerja, saya tetap ingin mengaji. Di sela-sela mengaji itu, tidak jarang ada impian untuk berkuliah meski hal itu sebatas angan-angan.

Mimpi untuk berkuliah selalu saya pegang erat. Walau banyak orang mengira saya sudah di tempat kerja saya. Memang gaji saya terima di tempat kerja terbilang cukup. Berkisar 1 juta hingga 2,5 juta. Tetap saja, saya merasa tidak nyaman. Sebab tujuan utama bekerja adalah mengisi waktu menunggu SBMPTN sebagai tes masuk UIN Maulana Malik Ibrahim Malang. Saat bekerja saya tetap menjaga mimpi itu dengan mengisi waktu setelah pulang menjadi santri mengaji kebanggan Madin. Saya acapkali disemangati terus oleh ustadz-ustadz madin untuk kuliah. Keluarga miskin bukan penghalang, penghalang sebenarnya adalah kemauan. Selalu ada mimpi menjadi kenyataan bila kita berdoa dan berusaha, Man Jadda Wajada.

Akhirnya saya memutuskan berhenti bekerja pada tahun 2018. Saya mendaftar kuliah dan ditakdirkan masuk UIN Maulana Malik Ibrahim Malang jurusan Pendidikan IPS. Saya di terima menjadi mahasiswa baru UIN Maulana Malik Ibrahim Malang disertai kewajiban nyantri 1 tahun di Mahad Aly Sunan Ampel.

Satu tahun pun berlalu sayapun lulus Mahad Aly. Akhirnya atas saran ustadz di Madin, saya menjadi santri kalong di Pondok Pesantren Anwarul Huda. Hal itu saya jalani meski hanya belajar mengaji saja tidak bermukim di sana. Pondok Pesantren Anwarul Huda merupakan tempat saya menempa diri untuk belajar lebih giat terutama dalam mempelajari kitab turast. Waktu pengajian dilaksanakan setiap ba’da isya’.

Untuk menambah pengetahuan agama, saya tidak hanya mengaji di madin atau pesantren saja. Biasanya saya perkuat dengan membaca buku tentang wawasan islam. Salah satunya buku berjudul “Hidup itu Harus Pintar Ngegas & Ngerem karya Cak Nun”. Membaca buku bagi saya bisa menambah wawasan dan membuka cakrawala berfikir kita. Membaca kitab turas juga tidak kalah pentingnya apalagi ditambah dengan buku-buku masa kini. Ini yang menjadikan pengetahuan yang dimiliki semakin banyak.

Walau bukan santri yang bermukim di pesantren, kita tetap bisa belajar di sana. Apalagi kata Gus Mus, kalau santri bukan hanya yang tinggal di pesantren. Orang yang memiliki jiwa santri itu juga bisa disebut santri. Walau keluarga kita tidak memiliki pengetahuan agama mendalam dari madrasah, ataupun pesantren setidaknya kita memiliki niatan mulia menjadi santri,berbagi dan bermanfaat dengan ilmu agama untuk keluarga dan lingkungan sekitar kita. Saya bangga menjadi Santri Kalong.

 

Oleh: Fajar Rinaldi (Santri, Mahasiswa UIN Maliki Malang)

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Back to top button