ArtikelOpiniParamudaSerba-serbi

Santri dan Budaya Riset Pesantren

Budaya Santri adalah Terus Belajar

 

Masyarakat menjadi salah satu unsur penting dalam pendirian pondok pesantren. Keberlangsungan pendidikan pondok pesantren memiliki untuk mencetak kader-kader santri yang dapat menjawab tantangan masyarakat. Responsivitas tantangan tersebut diwujudkan melalui pengamalan nilai, norma, dan pengetahuan yang telah ditekuni selama berada di pondok pesantren. Maka tak heran, bila banyak kader santri di berbagai penjuru Nusantara dapat menjawab tantangan masyarakat sesuai dengan zamannya.

Namun bertolak dari visi mulia pesantren tersebut, survei Biro Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (BPPM) PP. Maslakul Huda yang bekerja sama dengan Perhimpunan Pengembangan Pesantren Masyarakat (P3M) Jakarta menemukan bahwa ada 25% pesantren se-Jawa Tengah tidak menerima adanya program pengabdian masyarakat. (Mahfudz, 1999:13) Hal ini tentu menjadi sebuah fenomena tersendiri bagi keberadaan pesantren yang dirindukan oleh masyarakat sekitarnya.

Di sisi lain, banyak sekali program-program pengabdian masyarakat juga ditawarkan oleh Pondok Pesantren. Beberapa pondok pesantren tersebut seperti: PP. Hidayatul Mubtadi`in Lirboyo, PP. Alfalah Ploso, PP. Al-Anwar Sarang, dan pondok pesantren lainnya. Umumnya pondok-pondok tersebut mengirimkan delegasi santri-santri senior atau tamatan untuk mengabdi di daerah tersebut. Durasi pengabdiannya pun juga bermacam-macam, ada yang beberapa hari bahkan hingga beberapa tahun. Program tersebut diharapkan dapat membawa kader-kader santri agar lebih dekat dan bermanfaat bagi masyarakat di Indonesia.

Program pengabdian itu, juga menghindari adanya santri pasif yang hanya duduk dan mendalami kajian literasi kitab kuning tanpa membaca realitas kebutuhan masyarakat. Mereka seakan menjaga jarak yang begitu tebal dan sangat apatis terhadap isu-isu actual yang terjadi di masyarakat. Di sisi lain, santri dengan tipikal semacam itu juga jarang dibutuhkan masyarakat akibat dangkalnya pengalaman dan pengetahuan santri pasif. Mengingat, perlu adanya kadar keilmuan, keterampilan, dan pengalaman yang sangat tinggi agar dapat membina masyarakat yang sejahtera, baik di dunia (sosial ekonomi) maupun di akhirat (spiritual religi). (Asmani, 2015:122)

Kondisi masyarakat yang sejahtera merupakan salah satu cerminan nyata bagi indikator kesuksesan pendidikan pesantren. Pesantren yang berhasil tentu menghasilkan kader-kader santri yang dapat bermanfaat dan membawa berkah bagi masyarakat sekitar. Demi mencapai tujuan tersebut, sudah tentu pesantren harus memiliki kepekaan sosial yang tinggi dalam menyikapi perubahan radikal yang terjadi di masyarakat. Dalam konteks ini, masyarakat yang dimaksud adalah rakyat Indonesia. Isu-isu aktual seperti revolusi industri 4.0, bonus demografi, dan beberapa isu aktual lainnya harus direspon secara baik dengan menyuguhkan solusi-solusi terbaik yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Walhasil, bila pesantren-pesantren tersebut sukses menggembleng santrinya sedemikian rupa, maka pesantren dapat menjadi salah satu kunci pilar pembangunan Indonesia. Inovasi dan kreasi yang dibungkus dakwah oleh para santri tersebut sudah tentu dapat membentuk identitas tersendiri bagi karakter pesantren yang selalu menjadi pilar pembangunan negara Indonesia. Oleh karenanya, sekarang bagaimana strategi pesantren dalam menyiapkan kematangan program pengabdian masyarakat? Mengingat, perlu adanya strategi jitu dalam membentuk program pengabdian masyarakat yang relevan dengan kebutuhan zaman dan masyarakatnya tersendiri.

Pengabdian masyarakat merupakan salah satu program character-building (pembentukan karakter) para santri yang memiliki jiwa kepekaan sosial terhadap fenomena dan gejala sosial yang terjadi di masyarakat sekitar. Melalui program tersebut, muncullah inovasi dan kreasi berupa produk-produk pengembangan masyarakat dari berbagai aspek kebutuhannya. Namun sayangnya, para santri dengan modal skill yang minim masih hanya mampu merambah dunia pendidikan, keagamaan, sosial, dan ekonomi secara sederhana. Mereka hanya menawarkan alternatif-alternatif solusi yang sejatinya masih imitatif dan cenderung sederhana, seperti pengajaran di madrasah, pengembangan produk lokal, dan lain sejenisnya.

Para santri yang terjun melalui program pengabdian masyarakat secara faktual masih belum melakukan proses ijad (inovasi). Mereka secara nyata masih mengadopsi cara-cara lama atau yang terkenal dalam adagium pesantren, “al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah”. Adagium tersebut kurang lebih bermakna “mengadopsi inovasi-inovasi baru yang lebih bermaslahat”. Dari adagium tersebut telihat bahwa para santri masih terbiasa untuk mengikuti perkembangan zaman dan belum menjadi agent of change atau mujaddid (agen perubahan) di setiap tempat dan zamannya. Padahal, dunia sedang mengalami perubahan zaman. Serbuan teknologi yang cenderung modern mulai memaksa semua elemen untuk siap menghadapi perubahan tersebut dengan memberikan ide-ide yang inovatif. Salah satu sumber ide-ide inovatif tersebut adalah dari penelitian dan riset terbaru. Dengan adanya penelitian dan riset, sekelompok masyarakat dapat memberikan tawaran-tawaran yang bersifat al-ijadiy (inovasi) dan tidak hanya al-akhdziy (adopsi).

Penelitian dan riset memang menjadi isu yang sangat urgen bagi kemajuan suatu peradaban. Indonesia dalam angka statistik masih menempati urutan nomor 45 dalam kancah internasional, 11 dalam kancah regional Asia, dan keempat dalam kancah ASEAN. Selain itu dari sisi kutipan (citation), Indonesia juga masih mengalami penurunan kutipan yang hanya bisa bertengger di posisi keempat dengan 4.604 kutipan. (www.tirto.id) Kondisi ini tentu masih sangat membutuhkan perhatian serius dari berbagai kalangan untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas riset dalam negeri. Menurut hemat penulis, kolaborasi lembaga penelitian dengan lembaga pesantren tentu menjadi salah satu kunci peningkatan jumlah dan kualitas riset Indonesia.

Kolaborasi antar berbagai lembaga penelitian dengan lembaga pengabdian masyarakat di pesantren merupakan salah satu kunci kemajuan bagi pembangunan pesantren dan masyarakat sekitar. Pembentukan kolaborasi tersebut tentu harus bertahap, mengingat pesantren masih belum mengenal budaya riset. Langkah awal dari langkah kolaboratif tersebut tentu harus dengan menyediakan berbagai instrumen pelatihan bagi para santri. Mengawali dengan berbagai pelatihan, para santri dapat mengintegrasikan antara realisasi program pengabdian masyarakat dengan sistematika penelitian yang diharapkan. Setelah itu, bila langkah-langkah tersebut tersusun secara sistematis dan bertahap, maka bukan tidak mungkin pesantren dapat membentuk karakter santri dengan identitas agent of change atau al-mujaddid di zamannya. Sealin itu, pesantren secara institusional juga diharapkan dapat menjadi corong publikasi riset dan penelitian demi kemajuan Indonesia ke depan. Wallahu A’lam.

 

Oleh: Much. Maftuhul Fahmi (Kader Aktif PKPT IPNU-IPPNU UIN Maulana Malik Ibrahim Malang)

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Back to top button