ArtikelOpiniParamudaSerba-serbi

Menjadi Santri, Menjadi Indonesia

Menjadi Santri, Menjadi Indonesia

 

Indonesia bukan negara agama, tapi negara beragama. Ada enam agama yang diakui di Indonesia jadi tolong hargai lima agama yang lain.”

Begitulah salah satu kata mutiara yang terucap dari seorang Gus Dur, presiden ke 4 Republik Indonesia sekaligus Bapak Pluralisme Indonesia. Beliau merupakan salah satu figur yang sangat disegani oleh rakyat Indonesia terutama masyarakat kalangan pesantren. Abdurrahman Wahid yang kemudian dikenal sebagai Gus Dur lahir di Tebuireng Jombang, Jawa Timur, 7 September 1940. Beliau merupakan cucu dari pendiri Nahdlatul Ulama (NU) yaitu Hadlrotussyeikh KH. Hasyim Asy’ari. Sedari muda Gus Dur sudah mengenyam pendidikan di pesantren. Beberapa guru beliau ialah KH. Hasyim Asy’ari, KH. Ma’shum Krapyak Yogyakarta, KH. Chudhari Magelang Jawa Tengah dan KH. A. Wahab Hasbullah Tambakberas Jombang. Beliau disebut sebagai Bapak Pluralisme Indonesia karena toleransi dan kecintaannya terhadap Indonesia tanpa membeda-bedakan suku, agama, budaya, ras dan golongan. Tentu sikap beliau tersebut tak lepas dari pengalaman nyantri yang diajarkan di pesantren.

Di era milenial ini, pesantren dan santri sudah tak asing lagi didengar oleh semua kalangan. Pesantren merupakan lembaga non formal yang berbasis pendidikan keagamaan. Disamping itu, pesantren juga menjadi wadah untuk mengembangkan diri dalam menyikapi realitas perbedaan yang ada. Pesantren mengajarkan 4 ajaran Ahlussunnah wal Jamaah yang selalu diajarkan oleh Rasulullah SAW yaitu pertama, tawassuth atau sikap pertengahan, tidak ekstrim kiri ataupun ekstrim kanan artinya bahwa santri harus bersikap seimbang dalam setiap menghadapi dan menyikapi berbagai macam persoalan; Kedua, tawazun atau sikap seimbang artinya santri dalam menyikapi berbagai macam persoalan harus disikapi dengan pola yang terukur, terarah, terkonsep dan tersusun dengan metodologi yang bisa dipertanggung jawabkan;

Ketiga, al-i’tidal atau sikap adil, sikap tegak lurus artinya santri dalam menyikapi berbagai macam persoalan harus berani mengatakan yang haq itu adalah haq dan yang bathil itu adalah bathil walaupun terhadap orang lain yang berbeda agama, ras, suku dan budaya; Keempat, tasamuh atau sikap toleransi, menghargai perbedaan serta menghormati orang yang memiliki prinsip hidup yang tidak sama artinya santri harus dapat hidup berdampingan dengan warga ataupun komunitas lain walaupun berbeda agama, ras, suku dan budaya. Ajaran tersebut menjadi pedoman bagi santri untuk mencitai dan menjaga keutuhan Republik Indonesia. Tentunya tanpa 4 dasar ajaran tersebut Indonesia akan memiliki persoalan-persoalan yang menyebabkan perpecahan antar golongan.

Seperti contoh, kondisi dakwah dan teknologi yang sangat pesat di Indonesia saat ini menjadi tantangan bagi santri untuk selalu mengimplementasikan 4 ajaran tersebut. Banyaknya konten-konten dakwah di media sosial yang cenderung radikal dan kaku misalnya, menyebabkan sikap intoleransi terhadap sesama dan bahkan mudah mengkafirkan masyarakat yang non muslim. Hal ini akan berujung pada perpecahan jika tidak disikapi dengan sikap tawassuth, tawazun, al-i’tidal dan tasamuh. Contoh lain yang baru-baru ini hangat diberitakan yaitu aksi protes masyarakat Papua. Kerusuhan yang terjadi bermula dari serangkaian unjuk rasa kelompok mahasiswa Papua di berbagai daerah, yang diduga mendapat tindakan diskriminatif dan rasis. Peristiwa ini muncul akibat dari sikap intoleransi yang berkembang di masyarakat. Tentu ini sangat berbahaya karena bisa menyebabkan perpecahan dan permusuhan antar golongan.

Dari beberapa permasalahan tersebut, dapat dikatakan bahwa pesantren menjadi wadah penting dalam penanaman nilai-nilai nasionalisme. Ajaran-ajaran pesantren memberikan pemahaman tentang kecintaan dan kesatuan pada NKRI. Adapun 4 ajaran Rasulullah SAW yang sudah dijelaskan tersebut merupakan sebagian kecil dari pengetahuan yang didapat di pesantren. Oleh karena itu, penting bagi masyarakat Islam Indonesia saat ini tahu dan mempertimbangkan pedidikan pesantren untuk terciptanya keutuhan NKRI berdasarkan ajaran-ajaran Ahlussunnah wal Jamaah.

 

Oleh: Fainnana Nilna Minah (Alumni S1 Pendidikan Biologi di Universitas KH. A. Wahab Hasbullah Tambakberas Jombang)

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Back to top button