ArtikelOpiniParamudaSerba-serbi

Santri Indonesia Menatap Era Digital Native

Santri Indonesia Menatap Era Digital Native

 

Masyarakat informasi menemukan kemudahan berlimpah sejak memasuki era internet. Masyarakat pun semakin mudah terhubung untuk saling berinteraksi. Mereka berkomunikasi, berperilaku, bekerja, dan berpikir sebagai masyarakat digital (digital native). Di dunia maya, semua tugas dapat dilakukan secara praktis dan seketika. Penggunaan internet oleh masyarakat informasi telah melalui transformasi paradigma bagi digital native untuk melakukan segala aktivitas mereka tanpa batas ruang dan waktu. Digital native pun memiliki banyak label.

Helsper & Enyon (2009) menegaskan digital native adalah generasi muda yang lahir saat internet telah menjadi bagian hidup mereka. Kehidupan mereka telah dikelilingi oleh internet sejak masih dalam kandungan hingga awal kelahiran mereka. Kemudian, tampilan foto bayi yang baru lahir tersebut sudah menjadi penduduk dunia maya. Foto bayi tersebut mulai tersebar di media sosial, seperti Facebook, Whatsapp group, Line, atau Instagram. Keikutsertaan mereka dinisbatkan di dunia maya sebagai digital native.

Kondisi kehidupan yang seperti ini juga mempengaruhi kehidupan pesantren yang dalam perspektif masyarakat kental terhadap tradisi yang sudah turun temurun. Kehidupan pesantren yang awalnya mengedepankan kesederhanaan mendapatkan pengaruh modernisasi. Terlebih kehidupan para santri yang awalnya tradisional menjadi semakin modern, memang tidak semua kehidupan para santri dapat dipengaruhi oleh modernasasi karena pondok pesantren masih mengedepankan nilai-nilai yang tak bisa dilepaskan. Seperti contoh karakter yang paling menonjol pada santri adalah kebersyukuran (gratitude), keadilan (fairness), kewargaan (citizenship), kebaikan hati (kindness), harapan (hope), dan kepatuhan (Obedience)

Dsinilah santri dihadapkan kepada munculnya gaya hidup yang tidak ditemui pada saat mondok di pondok pesantren. Fenomena gaya hidup tersebut terlihat dari adanya sebuah generasi millenial yang fase kehidupannya mahir menggunakan gawai smartphone untuk bermain game online, menonton Youtube, dan melakukan selfie. Seiring perkembangan usia mereka, kemampuan mereka menggunakan smartphone semakin meningkat di masa kanak-kanak dan remaja. Data terbaru dari Google consumer behaviour yang dituliskan Kemp (2018) menyatakan bahwa Indonesia yang total populasinya 265,4 juta memiliki 50% pengguna internet. Setengah jumlah pengguna internet tersebut adalah para digital native. Sebuah fenomena baru yang menjadi tantangan berdakwah bagi santri millenial.

Fakta menarik juha terlihat dari data yang menunjukkan Indonesia menempati posisi keenam pengguna internet terbanyak di dunia. Hidayat (2014) menjelaskan bahwa angka tersebut mendudukkan Indonesia di peringkat ke-6 terbesar di antara sekitar 3,6 miliar jumlah pengakses internet dunia. Melihat hal tersebut, santri Indonesia harus mampu menyiapkan diri di era digital native. Aspek Yang dikhawatirkan ialah banyak para santri kurang teliti dalam mengidentifikasi informasi yang beredar dengan mudah. Terlebih lagi dapat mengganggu cara belajar santri yang mengedepankan proses yang kredibel daripada hasil yang instan. Seperti halnya mencari sebuah sumber hukum Islam melalui internet tanpa harus mengidentifikasi sesuai-sesuai kadiah yang ada pada ilmu Fiqh. Santri dihadapkan pada peristiwa yang menggerus garis intelektual/keilmuan atau yang sering disebut dengan sanad keilmuan.

Ibrahim (2011) mengatakan bahwa generasi ini dipandang sebagai generasi masa depan yang diasuh dalam lingkungan budaya baru media digital yang interaktif, berwatak menyendiri (desosialisasi), berkomunikasi secara personal, dan melek komputer.

Apabila melihat era informasi sekarang ini, yang paling rentan mendapat pengaruh ialah cara belajar santri. Dalam sistem pembelajaran pesantren yang dulu mengedepankan tradisi yang sudah turun-menurun. Saat ini para santri sangat mudah dalam mengakses sebuah ilmu pengetahuan tanpa mengetahui sumber yang dapat dipercaya atau tidak melalui sistem informasi dan komunikasi yang sudah ada. seingga informasi-informasi yang barangkali kurang tepat dapat diterima tanpa perlu adanya verifikasi informasi yang benar atau salah. Kondisi demikian dapat membuat para santri terombang ambing oleh informasi yang beredar.

Sejak Islam masuk ke Nusantara, para kyai selalu terjalin oleh intellectual chain (rantai intelektual) yang tidak terputus. Ini menunjukkan pula adanya jalinan intelektual yang mapan antar pesantren dari satu generasi ke generasi berikutnya dengan dinamika perkembangan yang terjadi di dalam lingkungan pesantren. Sebenarnya ini juga menggambarkan sejarah intelektual Islam tradisional di Indonesia.

Seorang kyai diakui bukan sebab status atau kerpibadiannya, tetapi lebih kepada keabsahan (keotentikan) ilmunya dan jaminan bahwa dia adalah murid seorang kyai yang diakui, dengan membuktikan adanya rantai intelektual yang terjalin dan tertulis (seperti rantai sanad). Seorang kyai mewakili pesantren dan guru dimana dia belajar.

Tradisi pemutaran keilmuan ini akan mempengaruhi status dan kemasyhuran seorang kyai, bukan hanya kepribadian saja yang berpengaruh pada kemasyhuran kyai. Seorang kyai dapat menjadi kyai karena pengakuan masyarakat dan yang lebih penting karena ada yang menjadi gurunya, tanpa guru seorang kyai tak bisa memiliki keluasan ilmu pengetahuan agama dan watak guru serta pesantren dimana seorang kyai pada waktu mudanya menimba ilmu juga mempengaruhi karakteristik seorang kyai. Keabsahan ilmu pengetahuan agama ditentukan oleh kepada siapa seorang kyai dulunya pernah belajar, semakin tinggi kemasyhuran guru seorang kyai akan mempengaruhi kemasyhuran muridnya. Sehingga apabila ada seseorang tidak mempunyai mata rantai yang kuat seperti ini akan berdampak pada pengaruhnya kepada masyarakat.

Hal inilah yang terjadi pada era teknologi digital saat ini. Banyak sekali para pemuka agama yang bermunculan dan menyerukan secara terang-terangan dakwahnya tanpa memperhatikan apa yang disampaikan dan dari siapa ia mendapatkan ilmu pengetahuan untuk membuktikan keautentikan ilmu tersebut.

Semakin maraknya media sosial berimbas kepada banyaknya ustadz-ustadz yang lahir dari Youtube, Instagram, WhatsApp dll. Memang media sosial merupakan media telekomunikasi digital jarak jauh yang dapat memuat beragam infomrasi. Namun dengan banyak berderanya informasi tersebut, kita pun harus jeli dalam menelisik informasi yang akurat atau tidak. Namun, di media sosial kita tidak tahu sanad keilmuan yang akurat. Semuanya tersebar secara meluas tanpa ada batasan, sehingga demi memperoleh pengakuan masyarakat dengan cepat para pemuka agama saat ini menempuh jalan pintas dengan belajar lewat media sosial.

Pemanfaatan media sosial dalam berkomunikasi dan memperoleh informasi sangat membantu kita dalam belajar. Sekali lagi, kita harus bijak dalam memilih dan memilah informasi-informasi yang ada. dan dalam konteks belajar-mengajar rasanya sanad memang tidak dapat dihapuskan sebagai wujud akhlak kita terhadap ilmu pengetahuan.

 

Oleh: M. Nawa Syarif Fajar Sakti (Mahasiswa Pasca Sarjana UIN Maulana Malik Ibrahim Malang , Pengurus ISNU UIN Maliki Malang)

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Back to top button