Opini

Kaderisasi di tengah Pandemi; yang Ada dan Tiada

 

Virus corona atau severe acute respiratory sndrome coronavirus 2 (SARS-CoV-2)—yang menyebabkan penyakit Covid-19—telah memengaruhi banyak lini kehidupan. Tidak hanya pada aspek ekonomi, kesehatan, pendidikan; sosial dan budaya pun menjadi lini yang terdampak dari pandemi ini. Salah satu imbas dari terdampaknya aspek sosial adalah “guncang”nya perjalanan organisasi. Kurva pandemi yang menunjukkan tanda-tanda melandai di beberapa daerah, belum bisa menjadi patokan bahwa pandemi akan segera berakhir. Protokol kesehatan tetap harus dijalankan. Penerapan physical distancing dan social distancing yang dihimbau oleh pemerintah tidak memungkinkan bagi organisasi-organisasi sosial untuk menjalankan program-programnya yang mengumpulkan massa. Semoga tidak akan ada cerita penyebaran virus corona dengan transmisi lokal, yang disebabkan oleh pertemuan suatu organisasi sosial.

Membincang organisasi sosial dan dampaknya akibat pandemi, Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama’ (IPNU) dan Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama’ (IPPNU) adalah dua –karena IPNU dan IPPNU adalah dua organisasi dengan peraturan yang berbeda dan tersendiri- dari sekian banyak organisasi sosial yang merasakan dampaknya. Seperti disebutkan dalam Peraturan Dasar IPPNU pasal 8, dan IPNU pasal 6; IPNU IPPNU selain bersifat sebagai organisasi sosial kemasyarakatan, kepelajaran, dan keagamaan, juga berfungsi sebagai wadah kaderisasi para pelajar, santri, dan mahasiswa. Jika merujuk pada pedoman kaderisasi yang dirilis oleh kedua organisasi tersebut, kaderisasi bermakna proses pembentukan manusia yang memiliki kompetensi mapan untuk menjalankan organisasi dan perannya sebagai khalifah fi al-ardl. Dalam IPNU IPPNU dikenal kaderisasi formal; masa kesetiaan anggota (makesta), latihan kader muda (lakmud), dan latihan kader utama (lakut), yang pelaksanaannya tentu lah mengumpulkan massa.

IPNU IPPNU tentu tidak ingin mencederai usaha bersama pemerintah dan masyarakat dalam penanganan corona ini. Atas dasar itu lah, badan otonom (banom) Nahdlatul Ulama ini mengambil kebijakan penundaan semua kegiatan yang mengumpulkan massa; termasuk di dalamnya kegiatan kaderisasi. Namun, kebijakan tersebut tidak lantas membuat kaderisasi IPNU IPPNU mati suri. Para perumus kaderisasi IPNU IPPNU memahami betul bahwa kaderisasi adalah proses berkelanjutan. Oleh karena itu, makna kaderisasi tidak dipersempit sebatas kaderisasi formal. Kader IPNU IPPNU juga mengenal apa yang disebut sebagai kaderisasi non-formal dan kaderisasi informal. Dua bentuk kaderisasi ini lah yang pelaksanaannya tidak terbatas ruang dan waktu. Barangkali kita perlu meluaskan persepsi tentang kaderisasi, agar tidak ada anggapan bahwa pandemi menyebabkan kaderisasi mati suri.

Terhalangnya pelaksanaan kaderisasi formal seharusnya tidak lantas membuat kita berkecil hati. Ada kaderisasi non-formal dan kaderisasi informal yang bisa kita upayakan. Kondisi yang tidak memungkinkan kita untuk mengumpulkan massa, memang menuntut organisasi; dan kita secara pribadi, untuk lebih adaptif. Kaderisasi non-formal dan informal yang tidak memiliki pakem tertentu dalam sistem kaderisasi, membuat kita lebih mudah menyelenggarakannya dalam wujud virtual. Tidak heran jika beberapa bulan ini mata kita akan lebih sering melihat pamflet berjudul bincang virtual, webinar, diskusi online, dan berbagai penamaan lainnya.

Layaknya kebiasaan yang tiba-tiba ditinggalkan untuk selamanya atau sementara saja, urusan “tinggal-meninggalkan” memang selalu menyisakan kehilangan. Begitu juga dengan proses kaderisasi. Kita yang terbiasa bertemu dalam rapat atau kegiatan organisasi—yang semuanya bisa disebut sebagai proses kaderisasi-, tiba-tiba terbatas perjumpaannya. Pelaksanaan rapat, atau kegiatan semacam diskusi—belakangan ini pelantikan juga bisa dilaksanakan secara virtual- yang dilaksanakan secara daring (dalam jaringan) memang membawa dampak positif bagi kader IPNU IPPNU. Menjadi makin lihai memanfaatkan teknologi adalah satu hal yang perlu disyukuri.

Namun, ada yang “tiada” selama proses kaderisasi di tengah pademi ini. Jika dalam kondisi normal kita bisa mewarnai kaderisasi non-formal dan informal dengan kegiatan bertatap muka; termasuk dengan para ‘alim, maka pandemi ini membatasi kita untuk sementara. Jika dalam kondisi normal kita terbiasa melepas penat saat rapat dengan sesekali melempar guyonan atau melempar bungkus jajan, lalu akan kita lihat gelak tawa yang cukup membuat lega. Maka di masa pandemi ini, kita tidak mungkin melempar gawai saat penat rapat virtual. Dinamika kaderisasi yang terkadang menemui kebuntuan, terpaksa harus kita selesaikan secara virtual. IPNU IPPNU sebagai organisasi keagamaan yang melanggengkan tradisi sowan—termasuk ketika menemui kebuntuan, pastilah merasa ada yang “hilang” selama pandemi ini. Wajah berseri, dawuh-dawuh, dan doa para ‘alim yang semula menjadi oase di tengah ego pengkaderan, adalah hal yang amat dirindui saat ini. Corona membuat kita harus lebih pandai menekan ego, jika kita tak cukup mahir menemukan oase.

Akhir kata, tak ada harapan selain pandemi ini segera berakhir. Agar proses kaderisasi berjalan sebagaimana mestinya, dan kita kembali bersua untuk bekerjasama. Karena slogan “kaderisasi harga mati” tak akan bermakna apa-apa, kecuali kita—secara bersama—mau mengejawantahkannya.

 

Penulis: Hikmah Imroatul Afifah

(Wakil Ketua Bidang Kaderisasi PC IPPNU Kota Malang sekaligus Ketua PAC IPPNU Lowokwaru)

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Back to top button