AswajaOpini

Siapa Lagi yang Mereka Sesatkan?

 

SIAPA LAGI YANG MEREKA SESATKAN?
(Jawaban untuk Ustadz Firanda Andirja Abidin, Lc., M.A.)

 

Oleh: Faris Khoirul Anam, Lc., M.H.I.
(Aswaja NU Center Jawa Timur)

 

Ustadz Firanda Andirja mengatakan bahwa Akidah Asya’irah (pengikut al-Asy’ari) menyimpang dan sesat. Dia menuding Asya’irah berkeyakinan bahwa al-Qur’an bukan kalamullah. Asya’irah juga dia tuduh sesat karena melakukan takwil.

Menuduh Asya’irah sesat sebenarnya bukan hal baru yang datang dari kelompok seperti Ustadz Firanda ini. Namun videonya sedang “viral” di grup-grup Medsos, sehingga perlu ditanggapi.

وَمَا يَتَّبِعُ أَكْثَرُهُمْ إِلَّا ظَنًّا إِنَّ الظَّنَّ لَا يُغْنِي مِنَ الْحَقِّ شَيْئًا إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ بِمَا يَفْعَلُونَ

Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.” (QS. Yunus [10]: 36)

 

PERTAMA, AL-QUR’AN BUKAN KALAMULLAH?

Ustadz Firanda perlu ditanya, di kitab apa dia membaca bahwa Asya’irah berkeyakinan al-Qur’an bukan kalamullah? Dia juga harus ditanya, dari mana dia punya kesimpulan bahwa sesuai keyakinan Asya’irah, al-Qur’an yang kita baca sekarang adalah ibarat dan karangan Nabi Muhammad? Lalu dia mengutip kisah Imam Ahmad bin Hanbal yang dipenjara karena tidak mau mengatakan bahwa al-Qur’an itu makhluk, tapi kalamullah.

Ya Ustadz, itulah keyakinan Asya’irah Maturidiyah. Dari mana antum punya kesimpulan bahwa Asya’irah sama dengan Mu’tazilah yang meyakini al-Qur’an sebagai kalamullah adalah makhluk?

Antum berbicara dengan tergesa-gesa. Namum afwan, dari sisi ilmiah terlihat sangat kacau dalam memahami akidah Imam al-Asy’ari dan Asya’irah (ulama dan umat pengikut keyakinan al-Asy’ari).

Antum sampaikan bahwa penjelasan Asya’irah membuat bingung orang. Alhamdulillah ana dan ashabukum minal ‘Asya’irah tidak ada yang bingung. Logikanya sangat sederhana. Allah Ta’ala memiliki kalam yang qadim (seperti qudrah dan iradah Allah), bukan makhluk, bukan sesuatu yang dibuat (maj’ul), bukan sesuatu yang baru (muhdats). Sebagai kalamullah, al-Qur’an al-Karim bukan makhluk, namun merupakan salah satu sifat Allah yang qadim itu. Sifat itu ada dengan adanya Allah (qadimun bi qidamih, maujudun bi wujudih).

Antum harus membedakan Kalamullah ini dengan al-Qur’an yang termaktub dalam mushaf. Al-Qur’an yang termaktub dalam mushaf bukan yang dimaksud dalam penjelasan tentang kalam di atas. Kalamullah berbeda dengan pelafalan seseorang, bentuk tertentu yang dibuat oleh penulis.

Kalamullah qadim, sedangkan bunyi, pelafalan, dan huruf adalah sesuatu yang baru. Huruf dan bunyi membutuhkan tempat keluar (makhraj) dari lisan, dua bibir, tenggorokan, sedangkan Allah Maha Suci dari semua itu.

Apa dalilnya?

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لا تمس القرآن إلا وأنت طاهر

“Janganlah menyentuh al-Qur’an kecuali kamu suci.”

 

Al-Qur’an yang dimaksud Nabi tersebut adalah mushaf yang terdapat tulisan al-Qur’an, bukan hakikat al-Qur’an yang merupakan kalamullah. Mengapa? Kalam adalah sifat yang tidak mungkin menjadi obyek “disentuh” atau terkena kotoran.

Hal ini tidak hanya menjadi keyakinan Asya’irah sebagai pengikut al-Asy’ari, namun juga al-Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari. Dalam al-Luma’, hal. 33-34, Imam al-Asy’ari memadahkan, jika al-Qur’an adalah makhluk, maka Allah akan mengatakan, “Kun (jadilah)!” Maka tidak mungkin, ucapan Allah menjadikan suatu materi yang juga berupa ucapan.

Kalau antum menganggap keyakinan ini sesat, maka tidak hanya Asya’irah yang antum sesatkan, namun juga al-Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari.

Lalu berapa ribu ulama sejak abad ke-4 Hijriyah yang akan antum hukumi sesat, ya Ustadz? Berapa puluh lembaga pendidikan besar seperti Universitas al-Azhar Mesir yang Asya’irah yang akan antum sesatkan?

Antum Ya Ustadz Firanda menghantam Asya’irah dengan menyamakannya dengan Mu’tazilah yang meyakini al-Qur’an itu makhluk.

Dari mana dasar penjelasan antum itu?

Dari kitab apa?

Apakah dari Nazhm al-Faraid, al-Raudhah al-Bahiyyah, Syarh Syairazi ‘ala Manzhumah al-Subki, Isyarat al-Maram, Ithaf Sadah al-Muttaqin?

Atau di Qurrat al-’Ain, Isyarat al-Maram, al-Tauhid, Tabshirah al-Adillah, al-Inshaf?

Kitab-kitab itu sangat bagus dalam memberikan penjelasan sehingga kita menjadi tahu apa perbedaan-perbedaan pendapat atara al-Asy’ari, al-Maturidi, dan Mu’tazilah. Maka kami jadi kaget mendengarkan penjelasan Antum yang dalam hal al-Qur’an Asya’irah diidentikkan dengan Mu’tazilah.

Tentang al-Qur’an, AL-ASY’ARI meyakini al-Qur’an sebagai kalamullah bukan makhluk, namun merupakan salah satu sifat Allah yang qadim, ada dengan adanya Allah. Kalamullah berbeda dengan pelafalan, bentuk tertentu yang dibuat oleh penulis, karena hal ini baru. AL-MATURIDI meyakini al-Qur’an adalah kalam Allah an-nafsi. Al-Qur’an Qadim Azali, bukan makhluk. Nah, MU’TAZILAH-lah pihak yang meyakini bahwa al-Qur’an adalah kalam dan wahyu Allah, namun makhluk dan baru (muhdats).

Ya Ustadz Firanda, Asya’irah tidak menafikan sifat-sifat Allah. Lagi-lagi Antum berusaha mengidentikkan Asya’irah dengan Mu’tazilah. AL-ASY’ARI menetapkan sifat-sifat Allah dengan selalu menjaga kesucian Allah (tanzih). AL-MATURIDI menetapkan beberapa sifat, sebagai makna haqiqi tsubuti, yaitu delapan sifat: ‘Ilm, qudrah, iradah, sama’, bashar, kalam, takwin.

Nah, MU’TAZILAH-lah  yang menafikan semua sifat. Merekalah yang meyakini Allah tidak memiliki sifat yang ada dalam Dzat-nya, namun hanya berupa sifat yang disematkan oleh orang.

Kesucian Allah (tanzih) tidak hanya menjadi keyakinan Asya’irah sebagai pengikut al-Asy’ari, namun juga al-Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari. Dalam al-Luma’ – di antara kitab valid yang dinisbatkan pada beliau – kesucian Allah merupakan dasar Madzhab al-Asy’ari dalam Tauhid secara khusus, dan dalam masalah akidah secara umum, baik kesucian Allah dari tasybih, kesucian Allah dari tajsim, kesucian Allah dari dimensi, arah, dan tempat. Termasuk pula kesucian Allah dari kebaruan (huduts) dan sifat-sifatnya, seperti bergerak atau diam.

Kalau antum menganggap keyakinan ini sesat, maka tidak hanya Asya’irah yang antum sesatkan, namun juga al-Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari.

Lalu berapa ribu ulama sejak abad ke-4 Hijriyah yang antum hukumi sesat, ya Ustadz?

 

KEDUA, ASYA’IRAH SESAT KARENA MELAKUKAN TAKWIL?

Antum mengatakan Asya’irah sesat karena menakwil sifat-sifat Allah. Padahal takwil dilakukan oleh para ulama salaf, baik dari kalangan sahabat, tabi’in, dan generasi setelahnya.

Telah maklum bahwa Ibnu Abbas, Mujahid, Ikrimah, al-Dhahhak, Qatadah, Sa’id bin Jubair telah mentakwil kata “al-saq” dengan “perkara berat” atau “syiddat al-amr” (lihat: al-Thabari, Vol 29, 38 dan al-Qurthubi, Vol. 18, 249). Mujahid mentakwil “wajh Allah” dengan “qiblat Allah” (lihat: al-Thabari, Vol. 1, 402). Sebagaimana Mujahid, Abu Ubaidah, dan al-Dhahhak mentakwil “Illa Wajhah” dengan “Illa Huwa” atau “Kecuali Dia” (lihat: al-Qurthubi, Vol. 13, 322, al-Thabari, Vol. 20, 82).

Ulama generasi berikutnya, Ibnu Jarir al-Thabari mentakwil “istiwa” dengan “ketinggian dan kekuasaan” atau “al-‘uluww wa al-sulthan” (lihat: Tafsir al-Thabari, Vol. 1, 192). Takwil senada diriwayatkan dari al-Hasan dan al-Tsauri (lihat: Mirqah al-Mafatih, Vol. 10, 137 dan Tafsir al-Iz bin Abdissalam, Vol. 1, 485-486). Imam Ahmad juga mentakwil “wa jaa-a Rabbuka” dengan “jaa-a tsawaabuhu” atau “telah datang pahala dari-Nya” (disebutkan oleh Ibnu Katsir, dari riwayat al-Baihaqi yang menyatakan, sanad ini ‘tidak ada debunya’, alias jelas. Lihat: al-Bidayah wa al-Nihayah, Vol. 10, 327). Takwil tersebut juga diriwayatkan dari Ibnu Abbas (lihat: Tafsir al-Nasafi, Vol. 4, 378).

Rujukan hadits umat Islam, al-Imam al-Bukhari pun mentakwil kata “al-dhahk” – yang makna zhahirnya adalah tertawa – dengan “rahmat” (lihat: al-Baihaqi, al-Asma wa al-Shifat, hal. 470). Beliau juga mentakwil “illa Wajhah” dengan “Illa Mulkah” atau “kecuali Kerajaan-Nya” (lihat: Fath al-Bari, Vol. 8, 364).

Dus, seandainya takwil dikatakan sesat, maka tuduhan ini juga akan menyasar para sahabat, tabi’in, dan ulama-ulama kesohor umat ini.

 

Bukankah ini perkara yang sangat berat, Ya Ustadz?

Semoga Allah menjaga umat ini dari kesesatan dan kegegabahan untuk memvonis yang lain berada dalam kesesatan.

وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ

“… dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyanyang.” (QS. Al-Hasyr [59]: 10)

 

Wallahul-Muwaffiq ila Aqwamit-Thariq.

Malang, 15 Syawal 1438 H / 10 Juli 2017 M

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Periksa Juga
Close
Back to top button