ArtikelOpiniParamudaSerba-serbi

Hikmah Luar Biasa Menjadi Santri

Hikmah Menjadi Santri

 

Pesantren, adalah lembaga pendidikan Islam yang sangat familiar sekali bagi orang madura. Terutama di daerah sekitar tempat tinggal saya. Bahkan bagi masyarakat Madura, pondok pesantren menjadi budaya yang harus dilakukan dalam meniti ilmu. Halini dikarenakan bagi masyarakat Madura, pondok pesantren menjadi tempat ilmu ukhrawi (ilmu yang pasti) dan wajib dipelajari. Meski ada sebagian anggapan masyarakat Madura y menilai pendidikan formal cenderung diacuhkan. Namun seiring dengan berkembangnya zaman, membuat pandangan tersebut bergeser dan mulai menghilang.

Saya berpendapat bahwa sekitar sembilan puluh persen pondok pesantren di madura berubah menjadi pesantren modern. Hal itu terlihat dari mulai maraknya pondok pesantren yang membuka layanan pendidikan formal kepada masyarakat luas. Ini menandaskan bahwa pola pikir masyarakat Madura sudah tak lagi monoton dan mulai menunjukkan kesadaran pendidikan yang progresif.

Sebelum lebih jauh berbicara tentang santri dan pondok pesantren, terlebih dahulu saya memperkenalkan diri. Saya biasa disapa dengan nama shila. Seorang siswa dari madarasah aliyah yang berada dalam naungan yayasan pondok pesantren. Saya memiliki budaya yang sudah sangat mengakar dan kental sekali dengan tradisi pondok pesantren. Oleh karena itulah, saya tumbuh dan berkembang di pondok pesantren.

Alhamdulilah saat ini saya berhasil masuk di salah satu perguruan tinggi negeri (PTN) Malang, yaitu di Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang. Ini menjadi kebanggaan terbesar saya sebagai santri. Bahkan menyandang status yang lebih tinggi dari sebelumnya yakni menjadi maha di atas siswa juga maha di atas santri. Hal ini dikarenakan UIN Maulana Malik Ibrahim Malang menyelenggarakan perogram Mahad Al Jamiah Sunan Ampel al Aly (MSAA) selama satu tahun. Kami semua sebagai mahasiswa baru menyandang status mahasantri MSAA dan wajib menjalani perogram itu dalam kurun waktu satu tahun.

MSAA memiliki perogram yang tak jauh beda dari pondok pesantren-pesantren lainnya. Kedisiplinan belajar, mengaji kitab kuning dan al-Quran, kegiatan pujian, dzikir dan sholawat serta solat berjamaah. Kami semua harus mengikuti semua aturan yang telah dibuat. Saya yang semula berlatar belakang santri sudah terbiasa dalam menanggapi kegiatan tersebut. DiKarenakan saya sudah terbiasa, begitu pula teman- teman saya yang lain yang berasal dari pondok pesantren dan pernah nyantri. Kami tidak merasakan kesulitan sama sekali. Berbeda halnya dengan teman-teman saya yang tidak pernah nyantri. Mereka membutuhkan waktu cukup lama dalam menyesuaikan diri. Halitu terlihat terutama dalam sholat berjamaah.

Sebagai santri baru MSAA, hari-hari dilalui dengan berbagai kegiatan keagamaan tanpa keluhan. Namun, satu semester kemudian terasa adanya perbedaan yang mencolok. Saya semakin disibukkan dengan kuliah. Saya pun mengikuti berbagai kegiatan UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) dan Orda (organisasi daerah). Serasa kegiatan santri itu sudah tak mengasyikkan lagi. Begitupun dengan teman sekamar saya. Kami semua sangat santai dan bermalas-malasan. Tanpa mengingat tujuan awal kami. Hingga kami selalu membolos untuk bearjamaah di masjid dengan memilih jamaah sendiri di kamar bersama teman-teman sekamar.

Hari kelulusan mahad telah tiba. Kami membuat acara pesta perpisahan. Acara tersebut ditempatkan pada sebuah lokasi yang kami semua sering bertemu. Lokasi yang ditunjuk adalah gedung Sport center. Kami semua menangisi perpisahan antar santri MSAA. Ya, kami sangat bersedih karena kami harus berpisah dan tidak akan bertemu lebih intensif pada biasanya. Begitu banyak kenangan yang kami buat dan kami lalui bersama dalam mahad ini.

Sepuluh di antara kami di Mabna Ummu Salamah kamar limapuluh satu. kami dengan rela harus melepas satu sama lain. Tiga orang diantaranya mbak Ia, Suci dan Sarah melanjutkan di pondok tahfidzul Qur’an, Lely dan Tiyah menyewa sebuah rumah kontrakan, Risma dan Adel memilih pp (pulang-pergi) dari rumah mereka karena asli Malang serta jarak dari rumah ke kampus yang dianggap dekat. Dela memilih nge kost dengan pilihan kamar yang tidak terlalu jauh dengan lokasi kampus. Sementara Ike memilih tinggal di Mahad Aly. Sebuah program mahad kitab angkatan pertama di UIN Maliki Malang.

Sedang saya sendiri merasa kebingungan menentukan pilihan pasca nyantri di Mahad. Saya bingung antara menjadi anak kost yang tidak diperbolehkan oleh keluargaku, ataukah menjadi anak pesantren. Padahal saya sudah merasa bosan dengan dunia aturan pondok pesantren. Saya takut hal tersebut akan mengganggu studi kuliah nantinya. Akhirnya saya mengambil jalan tengahnya. Jalan yang saya ambil yaitu mendaftar pada asrama mahasiswa. Ya, asrama lebih baik dalam pandangan saya. Hal ini dikarenakan saya lebih leluasa dalam melanjutkan studi kuliah namun dengan situasi yang terkontrol.

Di semester tiga, saya merasakan hidup bebas yang sesungguhnya. Saya bebas menggunakan waktu untuk kegiatan apa saja. Tanpa disadari, saya menghura-hurakan waktu, uang dan pergaulan. Seringkali saya pulang larut malam. Akibatnya, saya beberapa kali terkunci portal perumahan, dan menginap di tempat-tempat teman. Saya sudah tidak lagi merasakan grafik peningkatan akademik Dengan niat awal saya memilih tinggal di asrama dengan alasan agar lebih fokus pada akademik ternyata kesemuanya hanyalah sekedar wacana.

Semakin saya menikmati kebebasan, semakin pula saya dibuat terpuruk oleh kebebasan itu. Saya semakin merasakan diri saya bukan lagi seorang yang berpendidikan, apalagi berpendidikan pondok pesantren. Saat itu, situasi yang saya alamiterasa diluar logika. Saya menyadari dalam sekejap bahwa seakan akan saya bukan lagi seorang santri,namun sekejapperasaan itu menghilang. Kehancuran yang saya rasakan, membuka pintu kesadaran. Peristiwa tersebut membawa hidayah yang menyapa diri saya untuk mengikutinya. Saya tersadar dengan perbuatan kebodohan yang dilakukan selama ini.

Akhirnya dengan berbekal kesadaran yang saya miliki, serta atas petunjuk hidayah yang datang, saya membuat keputusan pasti. Saya meniatkan berubah, bertindak dan mengambil solusi untuk membebaskan diri dari belenggu pintu kebebasan yang tidak bertanggung jawab. Saya mengambil keputusan untuk kembali tinggal di pondok pesantren. Saya membangkitkan diri, serta meminta restu ibu, kyai dan bu nyai dan tak lupa seluruh sanak saudarak. Saya mengikuti tes ujian komitmen di salah satu pondok pesantren di daerah Joyosuko. Pada akhirnya saya lulus tes komitmen, Saya bisa bergabung kembali dengan teman-teman pondok pesantren. Saya pun terasa terlahir kembali sebagai sandri dan melanjutkan kehidupan dunia pondok pesantren kembali.

Entah keajaiban dan anugerah apa yang Allah berikan kepada saya. Setelah memutuskan kembali menjadi santri, hati saya merasa tenang dan nyaman berada dalam lingkungan pondok pesantren. Kedamaian abadi yang kembali saya rasakan semasa di pondok pesantren dulu, dan kini seakan kembali lagi. Kini saya lebih fokus menyelesaikan studi akademik, ukhuwah islamiyah, dan silaturohim dengan orang-orang di sekitar saya. Semuanya kembali semula secepat kilat. Saya damai dengan dunia yang saya pilih, dan dunia pondok pesantren. Inilah ketentraman hati dan pikiran saya sebagai santi yang berada dalam dunia pondok pesantren.

 

Oleh: Siti Romlah (Alumni MSAA UIN Maliki Malang)

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Back to top button