ArtikelOpiniParamudaSerba-serbi

Pelangi Kehidupan dan Keberkahan Santri

Pelangi Kehidupan dan Keberkahan Santri

 

Santri, sebuah kata yang tak asing di telinga sebagian besar masyarakat. Bahkan kata santri ini sudah menjadi kehidupan keseharian masyarakat utamanya di daerah Jawa dan sekitarnya. Beberapa pendapat mengungkapkan, bahwa santri identik dengan “penjara suci” yang biasa disebut dengan pondok pesantren. Di trmpat tersebut termuat berbagai seluk beluk kehidupan, mulai dari sosial hingga spiritual.

Ketika memutuskan diri untuk menjadi santri,dua beban berat seketika berada dipundak saya. Satu sisi kewajiban yang menuntut mandiri sebagai seorang santri dan satu sisi ada karakter “ngalem” yang masih melekat dalam diri. Dua hal ini mau tidak mau harus berjalan seiringan dalam mengambil sebuah keputusan besar jalan hidup ke depan.

Sempat terbesit pikiran menyakitkan bahwa orangtua saya sudah tidak menyayangi anaknya lagi. Hal ini tercermin dari obrolan intensif sore itu yang mengharuskan saya tinggal di pondok pesantren. Ini seakan sebuah kiamat atau dengan kata lain pisah dengan orangtua untuk sementara waktu. Ragu? tentu. Nangis? Apalagi. Tapi sekali lagi, dengan kesabaran, pengertian, dan dukungan yang diberikan keluarga, tekad saya semakin kuat dan bulat.

Saya kuatkan diri dan Memutuskan untuk berangkat mencari ilmu dan mengabdi kepada Kyai dan Nyai. Saya menyadari bahwa nyantri di Pondok An-Nur 3 Bululawang adalah sebuah keputusan penting dalam kehidupan. Hal penting inilah yang paling saya ingat dari nasehat ibu. Bahkan dalam surat al-mujadilah ayat 11 ditegaskan:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا قِيلَ لَكُمۡ تَفَسَّحُواْ فِي ٱلۡمَجَٰلِسِ فَٱفۡسَحُواْ يَفۡسَحِ ٱللَّهُ لَكُمۡۖ وَإِذَا قِيلَ ٱنشُزُواْ فَٱنشُزُواْ يَرۡفَعِ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ مِنكُمۡ وَٱلَّذِينَ أُوتُواْ ٱلۡعِلۡمَ دَرَجَٰتٖۚ وَٱللَّهُ بِمَا تَعۡمَلُونَ خَبِيرٞ ١١

  1. Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: “Berlapang-lapanglah dalam majlis”, Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: “Berdirilah kamu”, Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.

Hari pertama tiba di pondok pesantren selalu menyimpan kenangan manis Saya menangis haru dalam jiwa. Sempat ogah-ogahan ditinggal pulang oleh orangtua . Air mata tak bisa saya bendung. Hal yang sama pun dirasakan oleh ibu. Sebuah pengalaman yang belum pernah saya rasakan sebelumnya. Betapa perasaan menolak sangat mempuncak saat itu terasa kuat terutama saat harus berpisah di gerbang pondok pesantren. Saya juga memendam penolakan untuk tinggal di pondok pesantren Saya juga menolak ditinggalkan pulang oleh keluarga tercinta. Menolak pula ditinggal sendirian. Saya merasa jengkel dan menolak hal-hal lain yang saya kira hal itu juga dirasakan oleh begitu banyak santri ketika mengamali kehidupan di pondok pesantren.

Hari pertama berlalu, hari kedua telah usai, dan begitu seterusnya hingga tak terasa saya berada di pondok pesantren sudah hampir 2 minggu. Waktu 2 minggu pun cepat berlalu. Tentunya setiap santri masih disibukkan dengan rutinitas kegiatan pondok pesantren. Suasana yang sering terjadi adalah apalagi kalau bukan menangis tersedu-sedu. Gejolak batin yang masih belum bisa untuk ditutupi oleh setiap santri. Hal ini kerenakan setiapremaja yang menjadi santri sebenarnya tidak ada sama sekali bercita-cita untuk nyantri. Hal yang sama terjadi di kalangan setiap santri baru setiap harinya. Perilaku santri baru itu biasanya identik dengan menangis, minta pulang, tidak kerasan, dan belum ditambah lagi dengan kegiatan pondok yang sangat padat.

Di satu sisi, ada hal menarik yang belum pernah saya menemukan sebelumnya ketika nyantri di pondok pesantren. Di kamar yang tidak begitul lebar, biasanya berdiam 32 orang santri yang memiliki tujuann yang sama, yakni mencari ilmu duniawi dan ukhrowi. Awalnya seperti orang asing, tapi lambat laun saya menyadari bahwa merekalah keluarga saya di pondok pesantren. Ada yang seusia, ada yang menjadi kakak kelas, dan ada yang masih menjadi adek kelas. Semua bersatu, berkumpul dan membaur menjadi sebuah keluarga yang harmoni dalam bingkai kasih. Semua sama-sama berjuang, belajar dan menata masa depan dengan balutan do’a serta ridho dari Kyai dan Nyai.

Dari ke 32 santri ini tentu memiliki ciri masing-masing. Setiap santri memiliki karakter yang unik, mulai dari karakternya, latar belakang keluarganya, cara menyikapi masalahnya, cara berpikirnya, cara belajarnya dan lain-lain. Keseluruhan perbedaan itu melebur menjadi sebuah bingkai keluarga yang menyatukan perbedaan kami. Bukan suatu hal yang bisa ditutupi, bahwa perbedaan itu terkadang juga melahirkan suatu pertentangan yang tidak jarang menimbulkan suatu perdebatan. Terutama karena perbedaan usia yang menjadikan pola pikir juga berbeda tentunya. Namun saya mengakui bahwa di dalam bilik kecil yang berjumlah 32 santri ini, sebenarnya tersimpan begitu banyak potensi yang terpendam. Salah satunya kedewasaan kakak-kakak yang tanggap dalam menghadapi adik-adiknya yang berbeda pendapat.

Sebulan berlalu, masih dengan rutinitas yang sama yaitu menangis setiap kali mengingat rumah beserta segala kenangan didalamnya. Mungkin secara psikologis, saya masih terikat dengan perasaan dan hal-hal yang ada di rumah. Ingatan yang merindu dengan orang ataupun keluarga tercinta. Menyikapi hal tersebut, orangtua saya berusaha sekuat tenaga untuk melakukan berbagai rayuan dan bujukan agar saya tetap betah tinggal di pondok pesantren. Seminggu 2 kali, orangtua “menjenguk” ke pondok pesantren untuk memastikan bahwa saya sudah merasa betah dan nyaman berada di pondok pesantren. Hal lucu lainnya, mbak-mbak di kamar pun juga ikut mencoba membujuk dengan berbagai jurus andalannya. Dengan harapan, semakin banyak rayuan, semakin banyak cepat agar saya bisa merasa betah dan nyaman di pondok pesantren.

Beberapa bulan berlalu, keadaan membaik. Tidak ada lagi yang namanya santri menangis atau merasa tidak betah di pondok pesantren. Setiap santri semakin memiliki banyak teman, bercanda, makan bersama, mandi bersama, belajar bersama, berangkat dan pulang sekolah bersama, sampai tidur pun bersama. Hampir semua kegiatan dilakukan bersama-sama. Tanpa disadari, hal ini yang membuat nyaman dan merasa betah berada di pondok pesantren. Solidaritas yang tinggi dan nilai-nilai kesabaran diajarkan setiap hari. Hal ini dikarenakan setiap kegiatandilakukan dengan mengantri, saling mengerti, saling mengayomi, saling berbagi, saling menghargai, tidak membeda-bedakan, dan lain-lain. Hal itu tanpa disadari telah menjadikan sebuah ikatan kuat dalam kehidupan kami.

Tergambar beberapa hal yang mencerminkan hal tersebut, seperti ketka ada yang sakit, seluruh anggota kamar secara bergantian merawat dan mengurus anggota kamar yang sakit. Mulai dari menyiapkan makan, minum obat, mengantarkan ke kamar mandi, Bersama-sam mengantarkan ke klinik pondok pesantren. Semua dilakukan atas dasar tali kasih dan toleransi sebagai keluarga yang sedang sama-sama berjuang menuntut ilmu di pondok pesantren. Hal sepele lainnya, seperti piket kamar yang menjadi kewajban bagi setiap anggota kamar untuk merapikan dan membersihkan seluruh internal kamar. Hal ini dilakukan dengan cara bergantian sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan.

Satu hal lain yang tak kalah menarik dan tidak bisa didapatkan diluar sana adalah kebarokahan ilmu yang tergantung kepada ketaatan kita kepada Kyai dan Nyai sebagai seorang santri. Untuk menuai sebanyak mungkin barokah, santri bisa melakukan berbagai cara. Diantara beberapa cara yang kami lakukan adalah membagi kelompok piket di “ndalem”. Mulai dari piket menyapu, ngepel, cuci piring, setrika, masak, mengurus kebun, mengurus hewan peliharaan, sampai mengurus putra Kyai yang bungsu. Dengan suka cita kami melakukan itu semua secara bergiliran, dengan harapan kebarokahan dan kebermanfaatan ilmu kami berada disana. Memang melelahkan, sebab sebenarnya kegiatan pondok dan sekolah sudah cukup penuh sehingga untuk membagi waktu untuk piket “ndalem” juga sedikit kesusahan. Namun sekali lagi, dengan kerendahan hati yang kami harap hanya curahan ridho dari Kyai dan Nyai. Kenapa demikian ? sebab riho dari beliau berdua merupakan salah satu kunci keberkahan kehidupan kami di suatu hari nanti. Merupakan suatu harapan besar bagi kami seorang santri yang sangat ingin mengharapkan do’a-do’a terbaik dari Kyai dan Nyai.

Banyak hal yang bisa diambil dari sosok beliau, K.H. Qusyairy Anwar. Sosok Kyai yang sangat berwibawa dan karismatik, dijadikan panutan dari setiap tutur katanya, tingkah lakunya, cara menyikapi masalahnya, ramahnya, kesederhanaannya, dan perhatiannya kepada seluruh santri-santrinya. Sebagai contoh, setiap hari setelah mengaji kitab kuning di waktu usai sholat subuh, Kyai berkeliling pondok dengan sepeda “ontelnya” menemani kami “roan (kerja bakti) pagi” sembari memberi makan burung-burung merpati. Nasehat beliau “dadi santri iki seng penting taat Kyai, pinter kuwi urusan mburi (santri itu yang penting taat ke Kyai, urusan pintar itu belakangan).”

 

Oleh: Ulfatun Aini (Alumni Magister Pendidikan Agama Islam UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, Guru di SMKN 13 Kota Malang)

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Back to top button