Paramuda

Saatnya “STOP SEXUAL HARASSMENT”, Srikandi IPPNU Klaten yang Pertama Memulainya

 

 

 

 

Ada sesuatu yang berbeda Selasa lalu (26/2) di sekretariat Pimpinan Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kabupaten Klaten, puluhan remaja dan perempuan muda dari Pimpinan Cabang Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (PC IPPNU) Kabupaten Klaten mengadakan kegiatan Kajian Interaktif sekaligus peringatan Hari Lahirnya. Kajian yang dipelopori Ketua PC IPPNU itu mendatangkan Muharini Aulia M.Psi dan Laelatus Syifa M.Psi, dua praktisi psikolog dari Kota Cirebon sebagai narasumber. Lantas dimana perbedaannya dengan kegiatan lain?. Yah, sesuai dengan narasumber yang didatangkan, Para srikandi IPPNU Klaten itu mengadakan Kajian dengan tema yang “nampaknya” belum pernah dibahas di forum IPPNU ditempat lain.

“Psychology Care: Time for Action to End Violence Againts Women” menjadi tema yang diangkat dalam kajian. Kajian atau diskusi ini berbicara mengenai pelecehan atau kekerasan seksual yang dialami oleh perempuan serta bagaimana solusi untuk mencegah dan mengakhirinya. Apa yang menjadi latar belakang diambilnya tema ini adalah berdasar pada semakin banyaknya permasalahan pelecehan yang dialami oleh perempuan dewasa ini, baik secara verbal maupun non-verbal dan tidak mengenal usia serta latar belakang, baik usia anak-anak, remaja maupun dewasa sering mengalami pelecehan seksual ini dan bahkan banyak dari mereka yang tidak menyadari bahwa mereka menjadi korban pelecehan seksual. Disamping itu, perempuan yang notabene adalah korban terbesar dalam pelecehan seksual lebih memilih untuk diam menyembunyikan kekerasan yang dialaminya daripada menyampaikan hal tersebut kepada orang-orang terdekat atau terpercaya di sekitarnya. Banyak alasan yang mendasari keengganan korban untuk menceritakan permasalahan yang dialaminya, salah satunya adalah rendahnya tingkat kepedulian dari orang sekitar tentang apa yang dialami si korban. Jika korban menceritakan kekerasan atau pelecehan seksual yang dialaminya dengan orang lain maka tidak sedikit orang akhirnya malah menyalahkan si korban, bahkan mencemoohnya.
Tujuan dari dilaksanakannya kegiatan diskusi ini adalah untuk memberikan gambaran terhadap remaja perempuan tentang hal-hal yang berkaitan dengan pelecehan atau kekerasan seksual mulai dari pengertiannya, bentuk-bentuk pelecehan dan kekerasan seksual dan bagaimana cara untuk meminimalisir hal tersebut. Kegiatan ini juga menjadi sarana edukasi serta konsultasi bagi peserta diskusi. Maka narasumberpun membuka dengan menayangkan slide materi sembari menjelaskan apa-apa yang menjadi bahasan diskusi sesuai tujuan yang disebutkan diatas. Namun ada yang menarik ketika sesi diskusi berlangsung, salah satu audience menanyakan pendapat teh Rini (panggilan akrab Muharini Aulia) tentang Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) yang mana menurut audience, RUU tersebut Pro-pezina.
“Kelompok yang menentang RUU ini memiliki keyakinan bahwa orang yang melakukan perzinaan itu memiliki dosa besar (melanggar ketentuan agama) sehingga tidak layak diberikan perlindungan dari negara meskipun perannya adalah sebagai korban. Sehingga, perempuan yang mengalami pelecehan dan kekerasan seksual merasa tidak aman dan merasa tidak perlu untuk menceritakan permasalahan yang dilaminya. Jika hal ini terus berlanjut maka permasalahan kekerasan seksual tidak akan pernah berakhir. Untuk mnyelesaikan masalah ini, kita harus melihat satu persatu mulai dari urusan keyakinan dalam beragama dan antar manusianya serta menempatkan permasalahan secara objektif”. Jawab Teh Rini berikutnya.
Lantas bagaimana jika yang menjadi korban Sexual Harassment itu keluarga kita atau orang terdekat kita sendiri?, Kedua psikolog alumnus kampus kuning ini memberikan tips yang baiknya perlu untuk kita lakukan:
Pertama, ajak ngobrol berkualitas, jadilah pendengar yang empatik. Sedikit demi sedikit yakinkan korban bahwa ia memiliki kapasitas untuk bertahan dan keluar dari masalah ini;
Kedua, bantu korban mendapatkan akses untuk memahami isu ini dan mengetahui langkah-langkah apa saja yang dapat dilakukan untuk melepaskan diri dari pelaku;
Ketiga, terus menerus berikan support dan bantu korban untuk meningkatkan keterampilan yang dibutuhkan untuk melawan (keterampilan berkomunikasi, How to survive menjadi mandiri, dll.);
Terakhir, setelah lepas dari pelaku, terus support korban tanpa menjadikannya pasif dan dependent kepada para supporternya. Dependensi dapat membuat korban tidak berdaya, semakin terpuruk dengan keadaannya dan lebih beresiko mengalami kekerasan lagi.
Perjuangan para korban kekerasan dan pelecehan seksual belum selesai meskipun sudah berhasil lepas dari pelaku. Kekerasan yang dialami korban cenderung meninggalkan trauma dan tidak jarang mempengaruhi konsep diri korban. Meskipun belum selesai, bukan berarti selamanya korban akan berada di fase yang sama, trauma dapat diatasi secara perlahan dengan bantuan professional dan yang paling utama adalah support dari keluarga atau significant others. Satu point penting untuk keberhasilan ini adalah “willingness” dari korban untuk terus berjuang. Perjuangan korban untuk keluar dari belenggu ini akan meningkatkan kehormatan korban tersebut sebagai perempuan, bagaimanapun sebuah pelecehan berupaya merenggutnya.
Di penghujung acara, Fitroh Nahdliyah selaku ketua menyampaikan untuk memfollow up kegiatan ini, nantinya PC IPPNU bersinergi dengan PC IPNU dalam bidang garapannya disekolah, pelajar dan kaum muda akan melaksakan giat upaya penghentian kekerasan seksual, utamanya di kabupaten Klaten.

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Back to top button