Masa Depan Tradisi Literasi Kiai dan Santri
Santri identik dengan penimba ilmu agama di pondok pesantren.Ilmu agama yang dipelajarimeliputi ilmu-ilmu alat bahasa Arab hingga ilmu tafsir. Namun, untuk menghadapi tantangan kehidupan, santri juga sering diajarkan ilmu ilmu lain. Sebagai contoh: ilmu bisnis, ilmu desain, dan lain sebagainya.
Ketika saya mondok dulu, pernah diajarkan tentang apa arti makna sesungguhnya dari kata “santri”. Makna santri apabila dijabarkan menurut huruf hijaiyah dapat diterangkan demikian: Kata santri ketika ditulis dalam huruf hijaiyah menjadi سنتري. Salik ila al Akhiroh untuk huruf siin (س). Naaib ‘an al Masyayikh untuk huruf Nun (ن). Taarik ‘an al Ma’ashy untuk huruf ta’ (ت). Rooghib fi al Khoiroot untuk huruf ro’ (ر). Dan Yarju asal Salaamah fi ad Dunya wa al Akhirot untuk huruf ya’ (ي).
Ketika berbicara tentang santri sebagai Naaib an al Masyayikh, maka santri harus siap sedia nantinya menggantikan dan meneruskan perjuangan para sesepuh. Santri diberi amanah untuk menjadi sumber rujukan umat dalam berbagai hal. Dari hal yang terdekat dalam kehidupannya yakni bidang keagamaan tentunya, sampai bidang keluarga. Santri juga tidak jarang diberi amanah untuk mengemban misi urusan berbangsa dan bernegara.
Jauh sebelum siap untuk menjadi pengganti, santri harus mengenal siapa pendahulunya. Bagaimana santri bisa menggantikan orang lain, jika yang digantikannya saja dia tidak mengenalnya. Bagaimana akan menjadi pengganti yang baik jika tugas, peran, bahkan jalan hidup siapa yang digantikan tidak diketahui. Merupakan suatu keniscayaan bagi santri, jika tidak mengenal para pendahulu maka santri tidak akan mampu untuk meneruskan perjuangannya. Jika itu terjadi otomatis akan disusul dampak dampak negatif berikutnya.
Santri dihadapkan dengan tantangan dunia digital dan media sosial yang semakin kompleks. Sumber sumber rujukan umat di era millenial ini sangat banyak dan beragam, namun yang terpercaya sangatlah sedikit. Berbagai informasi dapat dengan mudah diperoleh dalam berbagai bentuk seperti tulisan, gambar, suara, bahkan gabungan ketiganya. Hal itu didukung oleh berbagai media masa kini yang sangat gampang diakses. Selain itu semua orang dapat dengan mudah membagikan setiap hal yang ada digenggamannya dengan percuma.
Santri juga harus melihat realitas dunia informasi global yang tanpa filter yang memadai. Saat ini belum ada portal pengecekan informasi informasi yang dapat memilah dan memilih mana informasi yang benar dan tidak. Segala informasi dapat berseliweran dengan mudah. Setiap orang dapat menerima segala informasi, meskipun itu berupa informasi bohong atau hoax.
Satu satunya filter atau penyaring informasi yang datang maupun pergi hanyalah diri kita. Kita dengan bebas dapat memilih mana informasi yang akan kita ambil atau menolak informasi lain yang dinilai kurang layak. Bisa dibayangkan jika informasi tidak benar lebih banyak beredar ketimbang yang benar, niscaya kekacauan akan muncul dimana mana. Disinilah tugas santri sebagai salah satu pemfilter informasi masyarakat harus dikedepankan. Hal itu diakibatkan banyaknya informasi bohong atau hoax yang disebarkan oleh orang dengan kemampuan literasi yang rendah. Kemampuan literasi di sini utamanya berkaitan dengan pengecekan informasi, pembandingan informasi satu denganlainnya, dan hal hal terkait keabsahan suatu informasi. Menurut penelitian, secara langsung hoax tersebar bukan karena tingkat pendidikan, ekonomi, maupun umur.
Sebagai seorang santri yang digadang-gadang sebagai penerus pendahulunya, idealnya akan sulit untuk terjebak dalam kubangan informasi hoax. Santri seyogyanya punya bahan bacaan yang melimpah atau setidaknya punya perhatian untuk dapat terus membaca. Di pondok pesantren, sedari awal santri terus dipupuk untuk tidak bosan bosannya membaca. Jika sudah demikian niscaya informasi hoax akan terbendung di kalangan santri.
Lebih dari itu, seorang santri juga idealnya memiliki produktifitas lebih dalam menulis. Hal itu sudah dicontohkan oleh ulama ulama terdahulu. Puluhan bahkan ratusan karya telah berhasil ditorehkan oleh ulama ulama terdahulu, seperti imam Syafi’i, Imam Ghazaly, dan ulama ulama lain. Di dalam negeri pun banyak ulama terdahulu yang dikenal luas sangat produktif sehingga karya karya beliau sampai sekarang banyak digunakan sebagai sumber rujukan. Beberapa ulama nusantara yang sangat produktif antara lain Syaikh Nawawi al Bantani, KH. Bisri Musthofa, Sheikh Ihsan Al-Jampesi,Syaikh Muhammad Mahfudz Al-Tirmasi, Hadratusy Syaikh Hasyim As’ari, dan masih banyak lagi.
Di era milenial ini, produktifitas menulis dan kemampuan literasi lain yang dimiliki ulama terdahulu menjadi hal yang wajib untuk dimiliki setiap santri. Sebenarnya, selama ini santri hanya banyak membaca kitab kitab kuning, tapi masih sedikit ditemui santri yang produktif menulis. Coba hitung dalam suatu pondok yang terdapat 300-400 santri, berapa banyak santri yang produktif menulis. Niscaya kita tidak akan menemukan seperdelapan dari jumlahnya yang produktif menulis.
Kenyataan bahwa santri sekarang kurang produktif menurut saya menjadi salah satu penyebab menjamurnya berita hoax. Hal itu terjadi karena tidak ada yang menandingi penyebaran informasi hoax. Umat terpaksa membaca informasi yang itu-itu saja, bahkan terpaksa membaca informasi yang sebenarnya hoax. Berbeda jika santri secara produktif menulis informasi yang baik dan benar, secara otomatis dan perlahan lahan informasi hoax akan tertandingi dan kalah.
Melihat kenyataan yang memprihatinkan di atas, mari kembali memaknai makna santri di awal tadi. Seorang santri hendaknya siap untuk menjadi penerus pendahulunya dan salah satunya dalam hal produktifitas karya, utamanya tulisan. Seorang santri hendaknya menjadi sumber informasi. Bukan esok hari, tapi mulai saat ini.
Oleh: M. Arief Billah (Santri dan Mahasiswa UM Malang)