Maklumat

Siaran Pers LP Maarif NU Pusat terhadap Rencana Kebijakan 5 Hari/8 Jam Belajar di Sekolah

Dewasa ini pendidikan di seluruh dunia, terus mengalami pengembangan sistem layanan pendidikan yang relevan dengan tuntutan zaman.  Dalam tatanan dunia baru yang ditandai dengan persaingan antar bangsa yang semakin ketat, kualitas sumber daya manusia suatu bangsa memainkan peran yang amat penting. Konsekuensinya, pembangunan pendidikan yang berkualitas, merupakan kebutuhan mutlak bagi suatu negara untuk dapat berperan penting dalam percaturan global, tanpa menghilangkan kekhasan suatu bangsa. Ciri khas suatu bangsa perlu dirawat dan dikembangkan melalui pendidikan, agar kelak generasi bangsa tak tercerabut dari akar kebangsaannya.

Secara historis, Indonesia merupakan negara yang terus melakukan perbaikan sistem pendidikan, bahkan hampir setiap rezim kekuasaan, perubahan kebijakan pendidikan nasional terus berubah. Memang, perbaikan sistem pendidikan merupakan hal yang tak terhindarkan, sepanjang memiliki basis ilmiah yang kuat dan bukan semata ‘game politic’ akan tetapi berlandaskan “politik pendidikan” dalam koridor arsitektur sistem pendidikan nasional jangka panjang.

Menyikapi rencana Pemerintah melalui Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI dalam mengambil langkah kebijakan baru 5 hari /8 jam belajar di sekolah, Lembaga Pendidikan Maarif NU Pusat (LP Ma’arif NU Pusat) memandang penting menyampaikan beberapa hal berikut:

  1. Indonesia membutuhkan arsitektur sistem pendidikan yang berorientasi jangka panjang. Yaitu bagaimana performa pendidikan 50 hingga 100 tahun ke depan harus dirumuskan, bukan setiap berganti Menteri Pendidikan, kebijakan pendidikan kemudian berganti pula. Jika hal ini terjadi, pendidikan hanya sekedar ditempatkan sebagai uji coba atau bisa jadi hanya sekedar game politik dan hal tersebut akan berdampak bukan hanya bagi masa depan generasi, namun bagi peradaban bahkan nasib bangsa puluhan hingga ratusan tahun ke depan.
  1. Dilihat dari perspektif regulasi, kebijakan baru 5 hari /8 jam belajar di sekolah bertentangan dengan Undang-undang. Pasal 51 UU Sisdiknas tentang “Pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah/madrasah”. Dengan demikian, kebijakan tersebut, tidak senafas dengan UU Sistem Pendidikan Nasional yang selama ini cukup demokratis dan memandirikan satuan-satuan pendidikan untuk mengembangkan model pendidikan sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan kesiapan sekolah/madrasah masing-masing. Apalagi jika berkaca terhadap ketentuan waktu kerja guru diatur dalam Pasal 35 UU tentang Guru dan Dosen. Pasal 35 ayat (1) Beban kerja guru mencakup kegiatan pokok yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, membimbing dan melatih peserta didik, serta melaksanakan tugas tambahan. (2) Beban kerja guru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sekurang-kurangnya 24 (dua puluh empat) jam tatap muka dan sebanyak-banyaknya 40 (empat puluh) jam tatap muka dalam 1 (satu) minggu. Tentu kebijakan 5 hari /8 jam belajar di sekolah berpotensi besar kepada jumlah jam mengajar guru di sekolah melampaui batasan yang telah diatur dalam UU dimaksud.
  1. Dilihat dari perspektif sosio-kultural, kebijakan baru 5 hari /8 jam belajar di sekolah tidak senafas dengan kondisi masyarakat Indonesia yang sangat beragam dan multikultur. Seyogyanya, dengan keragaman yang ada, sistem pendidikan harus relevan bukan justru bertentangan dengan potret faktual sosio-kultural masyarakat. Semangat besar Presiden untuk memperkuat pendidikan karakter di sekolah harus didukung dan dirumuskan agar arsitektur pendidikan berorientasi jangka panjang, khas dan menjawab tantangan masyarakat dalam segala hal pada masa yang akan datang. Namun solusinya bukan menambah jumlah jam belajar di sekolah.
  1. Dilihat dari peta kecenderungan masyarakat terhadap pendidikan, kebijakan baru 5 hari /8 jam belajar di sekolah merupakan sistem layanan pendidikan yang menjawab kebutuhan kelas sosial tertentu, terutama kelompok masyarakat urban. Menteri Pendidikan seharusnya memberikan kebebasan kepada satuan pendidikan untuk memilih model tersebut dalam memenuhi kelompok masyarakat tertentu, namun bukan memaksakan model tersebut direalisasikan untuk semua satuan pendidikan di Indonesia. Jika hal ini terjadi, justru merupakan bentuk degradasi sistem pendidikan nasional.
  1. Membangun sistem pendidikan holistik sejatinya merupakan jawaban kebutuhan masa depan pendidikan Indonesia; yang meniscayakan 3 hal penting; (a). Memperkuat sistem layanan pendidikan di sekolah, (b). Memperkuat peran keluarga dalam pengasuhan/pendidikan sebagai sekolah pertama bagi anak serta (c). Memperkuat keterlibatan masyarakat. Semakin kompleksnya anak yang menjadi pelaku tindakan menyimpang bukan karena kurangnya jam belajar di sekolah, tetapi layanan pendidikan di sekolah yang perlu dievaluasi, peran keluarga yang perlu dikuatkan, keterlibatan lingkungan sosial yang perlu dipastikan.
  1. LP Ma’arif NU Pusat menolak kebijakan pemberlakuan 5 hari/8 jam belajar. jika kebijakan Mendikbud dipaksakan sehingga menimbulkan gejolak di masyarakat serta berdampak sistemik bagi peserta didik dikemudian hari, kami tidak ikut bertanggung jawab.

Demikian, pernyataan pers ini disampaikan, kiranya dapat menjadi pertimbangan yang matang bagi pemerintah untuk mengambil langkah kebijakan dalam membangun sistem pendidikan nasional.

 

Makassar 13 Juni 2017

Drs. KH. Z. Arifin Junaidi, MBA (Ketua)

Drs. Harianto Oghie, MA (Sekretaris)

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Back to top button