KH. Musta’in Syamsuri: Sang Maestro Sejati Dalam Pencerahan Cahaya Quran
Tidak banyak orang yang mengenal sosok kyai Mustain Syamsuri. Kyai kelahiran Singosari Malang ini memang sangat rendah hati (tawaddu’) kepada siapapun. Kyai Musta’in dengan sabar mendidik santri-santrinya melalui pesantren yang diberi nama “Darul Quran”. Pesantren tersebut sejak berdirinya puluhan tahun silam, telah mewisuda lebih dari 500 huffadz (penghafal Al-Quran). Meski demikian, beliau lebih suka dipanggil “ustadz” dibanding sebutan “kyai”, lebih suka pakai kopyah hitam daripada sorban putih yang melingkar di kepala.
Pesantrennya pun berada di tengah perkampungan yang jauh dari keramaian kota Singosari (sekitar 3 km). Sekilas bangunan pesantren tidak tampak dari depan seakan mushalla biasa. Maklum di sana, tidak ada papan nama atau bentuk bangunan yang bercorak islami. Padahal di dalamnya ada bangunan swadaya dua lantai yang dihuni sekitar 100 santri putra dan putri. Meski demikian kondisinya, siapa tahu ternyata di dalamnya terdapat santri multikultur dan multi etnis. Hampir tiap tahun datang santri dari seluruh pelosok nusantara, Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, NTB, Jawa, Madura. Entah mereka tahu dari mana, pesantren yang demikian tersembunyipun masih didatangi para santri. Beberapa santri ada yang menuturkan keinginannya untuk nyantri setelah orangtuanya bermimpi bertemu dengan beliau (Kyai Mustain), termasuk Gus Nahru yang kini jadi menantunya.
Beliau merupakan santri kesayangan Alm. KH. Mufid Mas’ud Sunan Pandan Arang Yogyakarta dan Alm. KH. Arwani Amin Kudus Jawa Tengah. Tidak jarang keluarga dari kedua kyai karismatik tersebut, nyantri dan tabarrukan kepada beliau, seperti KH. Mu’tashim Billah Mufid, KH. Ulin Nuha Arwani, KH. Hisyam dll. Konon, beliau merupakan putra daerah Malang yang pertama kali hafal al-Quran dengan Qiraah Sab’ah (tujuh bacaan al-Quran yang mutawatir). Di daerah Malang dan sekitarnya, beliaulah yang menjadi rujukan berbagai persoalan yang terkait dengan ulumul Quran terutama aspek ilmu Qiraat. Santri beliau bertebaran di hampir seluruh penjuru tanah air. Tidak jarang santri beliau yang kini menjadi rujukan keilmuan, misalnya Gus Hilmi (Imam besar Masjid Ampel Surabaya), Dr. Nurul Murtadlo (Pembantu Dekan I Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang), M. Syamsul Ulum (dosen UIN Malang), Gus Silahul Hawa (pengasuh pesantren Raudlatul Quran Singosari), Gus Nahrul Ulum (pengasuh pesantren Syafa’atul Quran Langlang Singosari) dan masih banyak lagi lainnya.
Dalam kesehariannya, beliau melakukan tashih hafalan dan bacaan untuk semua santri seusai Shubuh hingga jam 9 pagi. Kemudian beliau menerima tamu-tamu dalam berbagai keperluan yang kadang hingga siang. Bahkan dulu, selepas ta’lim, beliau masih menyempatkan diri untuk menjalankan bisnisnya, diantaranya jual beli mobil dan tanah, serta home industry berupa makanan dan minuman ringan. Malam hari selepas Isya’ beliau mengajar Tafsir Jalalain untuk santri-santri senior.
Beliau tak henti-hentinya mewanti-wanti para santri agar berlatih untuk berwiraswasta sejak dini, khawatir mereka kelak menjadikan al-Quran sebagai sumber ma’isyah (perekonomian), padahal itu akan mengganggu keikhlasan para santri dalam memperjuangkan penyebaran al-Quran di tengah-tengah masyarakat. Para santri biasanya seusai setoran hafalan sekitar jam 9 pagi, mereka oleh KH. Mustain diberikan tugas yang tidak terkait langsung dengan al-Quran seperti menyablon plastik, membuat es lilin, menggoreng kerupuk, membangun kamar santri dan madrasah diniyah, mencari donatur, menjual kerupuk ke daerah Malang dan sekitarnya, memasak untuk makan siang santri. Beliau juga melatih santri untuk tidak gila sanjungan, maklum orang yang hafal al-Quran itu sangat potensial disanjung dan dimuliakan orang. Santri tidak diharuskan memakai kopyah bila sewaktu-waktu keluar dari pesantren, seperti sekolah, kuliah, kerja dll. Bahkan, ketika malam Jum’at tiba, selepas mengikuti pembacaan Diba’ dan Shalat Isya’ mereka diberikan kebebasan untuk bermain dimana saja, asalkan pagi hari sudah kembali untuk bekerja bakti (ro’an) bersama.
Meskipun dikenal kyai senior dan kharismatik, beliau tidak pernah merasa “gengsi” dalam menuntut ilmu. Setiap malam Selasa, beliau mengikuti pengajian rutin tafsir Ayatil ahkam “Rawa’iul Bayan” di kediaman KH. Tolchan Hasan di dekat Masjid Jami’ Singosari. Juga sering mengaji kitab “Ihya’ Ulumid Din ke KH. Abdur Rohman Kepanjen. Beliau juga pernah belajar bahasa Arab ke KH. Bashori Alwi, pengasuh pesantren Ilmu al-Quran (PIQ) Singosari. Keta’dhiman beliau pada guru-gurunya juga sangat tinggi, tidak semata saat belajar saja, melainkan selamanya baik semasa hidup maupun setelah meninggal. Dulu, hampir setiap tahun beliau berkunjung ke gurunya KH. Mufid Mas’ud di Jogjakarta. Setiap tahun pula beliau mengundang guru-gurunya (KH. Bashori Alwi, KH. Mufid Mas’ud, KH. Tolchah Hasan), bahkan mereka dijadikan sebagai pembicara tetap dalam setiap acara Rojabiyah dan Wisuda al-Quran, sejak puluhan tahun yang lalu. Sepeninggal guru tercintanya, KH. Mufid Mas’ud, beliau masih ta’dhim kepada putra dan putri dari sang guru. Acara Rajabiyah yang dulu selalu diisi oleh sang guru, kini dilanjutkan oleh puteranya KH. Mu’tashim Billah. Saya yakin bukan karena gaya orasinya yang bagus atau keilmuannya yang mendalam, namun karena keta’dhiman beliau pada gurunya yang tak pernah pudar.
Beliau dalam mendidik santri-santrinya menggunakan pendekatan realistik dan rasional. Banyak wali santri yang memintakan “amalan” khusus untuk putra-putrinya agar mudah menghafal al-Quran. Namun, selalu jawaban beliau hanya satu, yaitu istiqamah menghafal dan melakukan shalat jama’ah. Beliau juga kurang berkenan apabila ada santrinya yang mengamalkan puasa sunnah. Bukan apa-apa, beliau hanya ingin santrinya dalam menghafal al-Quran itu kondisinya fit, segar bugar, sehat, sehingga penambahan hafalan baru dan muraja’ahnya lebih banyak dan hasilnya lebih baik.
Mengikuti jejak gurunya, KH. Arwani Amin, beliau tidak memperkenankan santrinya mengikuti kompetisi dan lomba (musabaqah) apapun yang terkait dengan al-Quran. Beliau menginginkan para santrinya semata fokus dalam menghafal dan belajar, serta menggunakan cara-cara yang wajar tanpa banyak berulah. Beliau sangat disiplin dan keras kepada santrinya dalam urusan belajar. Kesalahan kecilpun kalau terkait dengan bacaan al-Quran, akan membuat beliau “marah”. Ada satu kamar di dekat ruangan tamu di “ndalem” beliau yang memang disediakan untuk “memenjarakan” santri-santri yang kurang disiplin dalam menghafal. Lebih-lebih santri senior yang sedang belajar Qiraah Sab’ah, mereka tidak boleh maju setoran kalau tanpa persiapan. Sering terjadi, beliau menyuruh mundur santri yang kurang persiapan tanpa komentar apapun.
Beliau juga sosok kyai yang memiliki hubungan spiritual dengan para wali (auliya’) yang telah wafat. Beliau secara periodik berkunjung ke makam Sayyid Sulaiman di Mojogeneng Mojokerto, kadang sampai berhari-hari, serta para auliya’ yang lain. Kekuatan spiritualnya terpancar pada kemustajaban doa dan prediksi-prediksinya yang jitu, sehingga banyak alumni dan masyarakat sekitar dusun Sanan Desa Watu Gede Singosari meminta doa serta obat pada beliau. Beliau sangat memperhatikan pendidikan formal dan informal para santri dan keluarganya. Pesan beliau: “setelah kalian hafal al-Quran, kuasailah ilmu-ilmu bahasa Arab agar mengetahui kandungan maknanya, lalu lanjutkan studimu sampai ke perguruan tinggi, kalau ada biaya. Terbukti menantunya rata-rata lulusan sarjana bahkan doktor, termasuk para santrinya. Beliau juga dekat dengan masyarakat sekitar pesantren khususnya dan masyarakat Singosari khususnya. Seringkali rombongan ibu-ibu dan bapak-bapak pergi pesantren itu semata belajar mengaji alif ba’ ta’ dan beliau sabar menerima dan mengajar mereka. Kedekatan itu tercermin tiap tahun pada acara Haflah Rajabiyah yang dihadiri ribuan masyarakat Singosari dan sekitarnya. Ribuan orang datang bukan tertarik pada acara atau penceramah yang tersaji, melainkan semata “hormat dan ta’dhim” mereka atas undangan KH. Musta’in.
Kini, beliau telah memiliki banyak generasi penerus dari anak kandung dan menantu. Ust. Firdaus dan Ust. Nafis telah banyak membantu beliau mengajar. Juga ust. Nahrul Ulum dan Ust. Nurul Murtadlo, berikut para santri senior yang masih berkhidmat membesarkan “Darul Quran, juga memberikan “support” besar terhadap berdiri dan berkembangnya SMP dan SMA “Darul Quran”. Menginjak usia senja, berbagai penyakit mulai menguji beliau, dari diabetes hingga rabun mata akut. Namun, satu tahun belakangan ini beliau sudah mampu melihat kembali seperti sediakala.
Ungkapan di atas mungkin belum seberapa dari keindahan jati diri beliau yang sesungguhnya, mungkin alumni santri “Darul Quran” merasakan hal yang lebih dalam lagi dari pengalaman sprititual selama menuntut ilmu di sana. Apa yang saya curahkan tersebut merupakan refleksi dari peristiwa 17 tahun yang lalu dalam kurun waktu dua tahun (1993-1995). Hari ini, saya yakin telah terjadi perkembangan fisik bangunan dan non fisik di PPDQ (Pondok Pesantren Darul Quran), semoga pesantren ini abadi sepanjang masa, dan tetap konsisten mencetak pribadi qurani yang tidak silau akan gemerlapnya dunia, justru menerangi lingkungan sekitar dengan cahaya qurani.
Guruku dan kyaiku tercinta, doaku selalu terpanjat kehadirat-Nya semoga engkau senantiasa diberikan umur yang panjang, tubuh yang sehat, ilmu yang barokah agar pengabdianmu yang tak kenal lelah itu terus menjadi mata air yang memberikan oase kesejukan pada para santri, alumni dan warga sekitar. Semoga Allah mewariskan keteladanan dan perjuangan beliau kepada para santri-santrinya demi tetap menyalanya obor dakwah al-Quran di Malang dan sekitarnya. Amin.
Terima kasih guruku, atas bimbingan yang menjadikan aku faham bagaimana menjadi orang yang tawaddu’ dalam sikap, mandiri dalam hidup, tinggi dalam ilmu, dan peduli dengan sesama. Ilmu bisa dicari di mana saja, tetapi ketauladanan hanya terpancar dari relung hati yang bersih dan ikhlas.
Sumber: FB Duta Helsinki https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=253071968477098&id=100013228902021