Serba-serbi

Mengenal Islam Nusantara yang Rahmatal Lil Alamin

Islam bersumber satu dan bersifat ilahiyah. Selain itu, Islam terealisasi dalam praktik keseharian. Artinya, selain ilahiyah, Islam juga bersifat insaniyah (manusiawi).

Begitu jelas menulis kitab Fathul Mujib al-Qarib yang juga salah satu pengasuh Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Situbondo, Jawa Timur.

Menurut Kiai Afif,  jika ada Islam Nusantara, maka ada juga fiqih Nusantara. “Fiqih Nusantara adalah paham dan prespektif keislaman di bumi Nusantara sebagai hasil dialektika teks-teks syariat dan budaya, juga realitas di (daerah) setempat”, jelasnya.

Adanya pemahaman kontekstual terhadap teks suci dengan mempertimbangkan adat lokal (urf) demi kemaslahatan tak hanya dari segi ukhrawi tapi juga duniawi.

Diketahui, pertanyaan apa sebenarnya yang dimaksud dengan Islam Nusantara itu muncul saat diskusi Pra-Muktamar ke-33 NU di Makassar, Sulawesi Selatan, 22 April 2015 silam.

Saat itu, para peserta diskusi yang datang dari berbagai daerah di Indonesia timur selama lebih dari dua jam diajak mengulas topik Islam Nusantara.

Pada forum bertema “Islam Nusantara sebagai Islam Mutamaddin Menjadi Tipe Ideal Dunia Islam” itu hadir KH Afifuddin Muhajir, guru besar filologi Islam UIN Jakarta Oman Fathurrahman, sejarawan Agus Sunyoto, pakar tasawuf KH Mustafa Mas’ud, dan Prof DR Azhar Ibrahim Alwee dari National University of Singapore.

Saat itu, Oman sangat setuju dengan istilah Islam Nusantara. Yang dimaksud Islam Nusantara itu bukan Islam yang normatif tapi Islam empirik yang terindegenisasi.

“Oleh kerena itu, kita mencoba merumuskan sebuah kalimat, Islam Nusantara itu adalah Islam Nusantara yang empirik dan distingtif sebagai hasil interaksi, kontekstualisasi, indigenisasi, penerjemahan, vernakularisasi Islam universal dengan realitas sosial, budaya, dan sastra di Indonesia,” jelasnya saat itu.

Islam Nusantara beber Oman, ada namun minim data thabaqat (biografi) yang komprehensif para tokoh muslim Nusantara setidaknya sejak abad ke-16. Hal ini berbeda dari fakta yang ada di Arab dan Persia, yang mengakibatkan bangunan sejarah keduanya sangat kokoh lantaran kekayaan sumber literasi tentang itu.

Lebih jauh Azhar Ibrahim dari Universiti Nasional Singapura memandang bahwa Islam yang terbangun di Indonesia bisa menjadi teladan kepada negara-negara Muslim lain, termasuk warga dunia yang lebih besar.

Menurutnya, sarjana dan pemerhati telah membayangkan bahwa Islam Nusantara akan menjadi daerah paling cerah dalam dunia Islam. Sebab, kehidupan mayoritas Muslim di Timur Tengah, Benua Kecil India, Afrika Utara dan Afrika Tengah, sedang terhimpit oleh konflik dan keganasan.

“Walaupun tidak menelurkan gagasan filsafat yang rasional ataupun menghasilkan kesarjanaan Islam yang tinggi, Islam Nusantara mempunyai potensi besar untuk menyumbang kepada dunia Islam, malah perdaban dunia,” jelasnya.

Hal kata tersebut kata Azhar berakar pada enam poin penting, yakni pengalaman sejarah, orientasi agama yang dominan, pribumisasi Islam yang mengakar, penghargaan dan keteguhan terhadap turats (tradisi), terbangunnya institusi atau kelompok yang mengedepankan wacana Islam inklusif dan dialogis, serta peran ormas dan para pemikir Indonesia yang mencerahkan.

Meski mengajukan fakta dan landasan normatif, semua pembicara tidak memberikan pengertian definitif dan operasional tentang istilah “Islam Nusantara”. Namun, mereka sepakat bahwa ia berkarakter membumi dengan realitas kebudayaan setempat.

“… yang ‘paling Indonesia’ di antara semua nilai yang diikuti oleh semua warga bangsa ini adalah pencarian tak berkesudahan akan sebuah perubahan sosial tanpa memutuskan sama sekali ikatan dengan masa lampau,” kata Azhar mengutip pernyataan almarhum KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur).

Sementara ditempat berbeda, Islam Nusantara menurut Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siradj, bahwa pemaknaan Islam di tengah kehidupan manusia belakangan ini dirasa banyak kalangan bergeser ke arah yang nista.

Persoalannya, bukan hakikat Islam itu sendiri, tetapi lebih pada pemaknaan yang menyertakan hawa nafsu.

“Orang yang paling jahat adalah mereka yang melakukan kejahatan atas nama Islam. Perilaku demikian tidak lepas dari ketidakpahaman terhadap makna, dan dari mana Islam turun,” tegasnya.

“Orang saat ini sangat mudah mengatas namakan agama justru untuk berbuat kerusakan,” katanya.

Kiai Said secara khusus menjelaskan hal tersebut dalam Ngaji Budaya Suluk Maleman di Rumah Adab Indonesia Mulia Jalan Diponegoro Pati, Sabtu 28 Februari 2016 lalu.

Menurut pengasuh Pesantren Al Tsaqafah Ciganjur itu, Islam diturunkan untuk membangun budaya bagi manusia. Tujuannya tiada lain agar manusia kreatif, cerdas, mampu berkarya, dan bermanfaat di dunia. Islam, lanjutnya, turun dari langit (Allah) ke bumi (manusia) dan bukan sebaliknya.

"Maka, agama itu bukan untuk Allah tetapi untuk kita (manusia). Semua aturan dalam agama adalah untuk membangun kehidupan yang berbudaya, beradab, bergengsi, berkarya, dan bermartabat," tutur lulusan Ummu al-Qura' Makkah.

Kehadiran agama Islam mengarahkan manusia, yang merupakan makhluk (insan) untuk berbudaya, beradab, bergengsi, dan bermartabat dengan perangkat yang telah diberikan Allah. Karenanya menjadi keniscahyaan, bahwa insan harus hidup harmoni, intim, saling mendukung, melengkapi, dan menyempurnaan.

"Jadi, agama tidak pernah dimaksudkan untuk merusak keharmonisan. Justru untuk mendukung insaniah, mendukung keharmonisan,” katanya. (*)

LTN-NU Kota Malang

Lembaga Ta'lif wan Nasyr PCNU Kota Malang

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Periksa Juga
Close
Back to top button