ArtikelOpiniParamudaSerba-serbi

Kehidupan Literasi Santri Indonesia

Para Muassis NU adalah Para Ulama Yang Produktif

Dunia literasi merupakan cerminan kehidupan keseharian santri Indonesia. Setiap hari terasa berharga apabila diewatkan dengan kegiatan literasi. Sebab sebenarnya literasi tidak hanya proses yang melibatkan membaca, namun juga bediskusi (bahsul masail, yang lebih sering dilakukan santri), menulis hingga mengarang kitab kuning. Ini yang mungkin tidak terekam oleh Unesco saat melakukan survey literasi di Indonesiay menempatkan masyarakat Indonesia pada posisi yang sangat memprihatinkan, hanya 0,001%. Artinya dari 1.000 orang Indonesia, cuma 1 orang yang rajin membaca (sumber: www.kominfo.co.id).

Sifat kritis dalam diri kita tidak lahir secara otomatis. Dibutuhkan latihan berulang kali dan membaca buku secara berkelanjutan agar kemampuan kritis itu terus muncul. Sifat kritis santri terbentuk semenjak ia meluangkan waktu untuk nderes kitab kuning yang diperkuat dengan forum-forum ilmiah khas pondok pesantren seperti bahsul masail. Bukannya fobia terhadap buku-buku populerdan asing yang sainstifik ataupun filosofis, santri lebih fokus kepada kitab-kitab turats keagamaan. Sebab,santri menyakini kitab-kitab turats keagamaan menjadi basis dalam mempelajari berbagai hal yang menarik dengan nilai-nilai keagamaan sebagai pijakan dalam melangkah.

Tak heran apabila kehidupan santri identik dengan pembelajaran baca kitab kuning, hafalan nadhom, tashrif dan syair-syair keagamaan lainnya. Metode yang digunakan tentunya metoda sorogan. Bukan karena ketinggalan jaman atau tidak mengetahui metode lain yang lebih memadai, namun ustadz/ustadzah bu nyai/pak yai yang secara turun temurun menggunakan metode tersebut dan meyakinkan kita bahwa dengan cara sorogan-lah santri dapat lebih memahami makna kitab.

Tentunya atas do’a dan barokah kyai. Semodern apapun pondok peseantren tidak akan pernah meninggalkan nilai-nilai luhur agama yang telah dijalankan sejak pertama membangun lembaga pendidikan Islam khas Indonesia tersebut. Prinsip barokah dan khidmat kepada kyai masih tertanam dalam benak santri. Mungkin hal itu menjadi salah satu jalan untuk membangun ruh kemanusiaan dan abdi pada sang kyai. Membaca bukanlah hal asing bagi santri, membaca bisa berbentuk apapun. Kitab, koran, majalah, buku, dan sumber informasi lainnya.

Membaca kitab mungkin hal yang lumrah bagi santri, bagaimana dengan buku-buku yang bersifat akademik. Akankah dipelajari atau hanya mengahampiri buku-buku berbasis agama saja? Tentu tidak. Bagaiamana pun buku adalah gerbang cakrawala pengetahuan. Tidak ada batasan bagi santri untuk membaca buku apapun baik berbasis agama, pengetahuan alam, sosial, dan buku umum lainnya.

Lantas, bagaimana dengan buku-buku bertajuk kiri atau komunis? Tentu dilarang bahkan dijauhkan dari tangan santri untuk memegangnya apalagi membaca kemudian mengambil ibrah dari buku-buku tersebut. Itu adalah pemikiran yang salah. Bagaimanapun santri adalah seorang pelajar yang bebas belajar dari sumber keilmuan manapun. Baik santri tulen maupun pelajar berhak membaca dan memahami bahkan memberi pesan kesan terhadap ideologi penulis. Tidak ada masalah jika membaca, membuka ruang diskusi, mempelajari gagasan baik paham yang berhaluan kanan maupun kiri. Dengan membaca ide gagasan buku-buku kiri atau marxisme akan membuka ruang pemahaman dan mengetahui kelemahan-kelemahan dari dari

Penulis buku-buku marxisme memang memiliki ideologi yang berbeda dengan tokoh-tokoh yang lain. Seperi karl mark yang dikenal sebagai pencetus paham komunis pada tahun 1848. Kekhawatiran pemerintah Indonesia terhadap ideologi karl marx karena berasaskan kebijakan-kebijakan yang bertolak belakang dengan sistem demokrasi di Indonesia. Lantas, bagaimana santri menanggapi ini? Santri selalu dicanangkan sebagai sosok yang ahli agama dan tentunya tidak sedikit anggapan bahwa seorang santri menolak pemahaman yang bersifat ideologis. Justru dengan latar belakang santri yang agamawan dengan melihat realitas bacaan yang memiliki paham berbanding terbalik olehnya menjadi salah satu tempat keilmuan yang perlu digali.

Setiap orang memiliki kedalaman membaca yang berbeda-beda. Ada yang membaca satu informasi langsung terprovokasi adapula yang membaca kemudian dianalisa. Sikap yang harus diambil apakah menerima atau menolak? Kemoderatan santri dalam menanggapi salah satunya dengan menerima gagasan tokoh-tokoh kiri disertai analisa untuk dapat menolak sesuai realita negara berdasarkan kebijakannya. Menolakpun tidak harus dengan membakar, menyobek, membuang karya-karya orang lain. Karena setiap orang memiliki argumentasi yang berbeda. Terbitnya suatu buku merupakan salah satu wadah untuk menuangkan gagasan yang bisa dikonsumsi oleh banyak orang. Tugas santri sebagai generasi muda Indonesia adalah belajar, berpikir, menganalisa untuk dapat memunculkan gagasan-gagasan baru tanpa melupakan identitas diri sebagai bangsa Indonesia.

Sindhunata, seorang budayawan berkata “Hidup yang berkaki kuat adalah hidup yang menyejarah. Namun bagaiamana kita bisa tahu sejarah, jika kita tidak membaca? Hidup yang berkaki kuat adalah hidup yang tidak sempit dan berani menjelajah. Namun bagaimana kita tahu akan yang luas, dan inspirasi untuk penjelajahan, jika kita tidak membaca?” Jadilah generasi muda santri yang berani membaca dan percaya diri untuk menganalisa. Dunia terlalu sempit jika hanya memegang satu buku saja.

Di dalam Al-Qur’an, ayat pertama kali diwahyukan kepada Rasululah SAW adalah membaca. Iqra’, bacalah. Menandakan betapa pentingnya membaca sebagai landasan ilmu pengetahuan. Segala sesuatu yang berhubungan dengan keilmuan tidak lepas dari proses penalaran dan penelitian. Penelitian dan penalaran tentunya tidak akan berjalan tanpa adanya proses membaca.

 

Oleh: Fajriatis Subkhiyah (Santri, Guru Ngaji, Organisatoris)

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Back to top button