ArtikelOpiniParamudaSerba-serbi

Santri Sebagai Pengemban Misi Moderasi Islam di Indonesia

Santri Sebagai Pengemban Misi Moderasi Islam di Indonesia

 

Akhir-akhir ini, kekerasan dan radikalisme dengan mengatasnamakan agama kerap terjadi. Konflik di Timur Tengah yang tak kunjung usai, dan perdebatan furu’iyyah yang banyak terjadi di Indonesia menarik perhatian berbagai pihak untuk mendiskusikannya. Maka tidak heran jika salah satu poin penting dari kunjungan Raja Salman Bin Abdul ‘Aziz al- Saud ke Indonesia pada awal tahun 2017 lalu adalah ajakan kerjasama antara Arab Saudi dan Indonesia dalam memerangi terorisme dan menghadirkan wajah Islam yang moderat. Kasus radikalisme atas nama agama itu semakin diperparah dengan maraknya persebaran konten sosial media yang destruktif dan cenderung memancing konflik di tengah masyarakat Indonesia yang majemuk dan multikultural.

Konsep “Islam moderat” pada dasarnya merupakan tawaran dalam memahami Islam. Bersikap moderat dalam ber-Islam bukanlah suatu hal yang menyimpang dalam ajaran Islam, karena hal ini dapat ditemukan rujukannya, baik dalam al-Qur’an, al-Hadits, maupun perilaku manusia dalam sejarah. Mengembangkan pemahaman “Islam moderat” untuk konteks Indonesia dapatlah dianggap begitu penting. Bukankah diketahui bahwa di wilayah ini terdapat bayak paham dalam Islam, beragam agama, dan multi-etnis. Konsep “Islam moderat mengajak, bagaimana Islam dipahami secara kontekstual, memahami bahwa perbedaan dan keragaman adalah sunnatullah, tidak dapat ditolak keberadaannya. Jika hal ini diamalkan, dapat diyakini Islam akan menjadi agama rahmatan lil alamin. Dalam Al Qur’an, digambarkan pribadi seorang muslim sebagai ummatan wasathan, suatu umat yang menjadi pengimbang dan pengontrol.

Hal tersebut tertera dalam Qs. Al- Baqarah ayat 143: “Demikianlah, Kami jadikan kamu suatu umat yang berimbang supaya kamu menjadi saksi atas seganap bangsa, Rasul pun menjadi saksi atas kamu sendiri,”. Bagi Abdullah Yusuf Ali, penerjemah Al Quran dalam Bahasa Inggris yang paling terkenal dan dihormati, dalam Islam Dinamis; Menggugat Peran Agama, Membongkar Doktrin yang Membatu menyatakan bahwa makna wasath secara harfiah adalah perantaraan, dan makna syuhada’ (“saksi”) adalah penengah, yang dapat mengemukakan pendapat secara jernih dan terang kepada semua pihak, orang yang adil.

Di sinilah posisi umat Islam, posisi Rasul, dan ulama yaitu sebagai pengimbang. Ummatan wasathan sebagaimana disebutkan dalam Qs. Al Baqarah ayat 143 di atas, secara jelas merujuk pada identitas Muslim moderat, yang berada di tengah, tidak ekstrim ke kutub mana pun, dan berpihak pada keadilan, keseimbangan, dan kebenaran. Menurut Khaled Abou Fadhl, Rasulullah pun jika dihadapkan antara dua pilihan yang ekstrim, juga memilih sikap moderat dan jalan tengah. “Khairul umur ausathuha,” adalah sabda populer Nabi yang mencerminkan sebaik-baik urusan adalah berada pada jalan tengah dan moderasi. Inilah aspek normatif Islam moderat dan ajakan moral untuk menjadi muslim moderat.

Lalu seperti apa sebenarnya Islam Moderat? Secara bahasa, kata moderat berasal dari bahasa Inggris moderate yang berarti mengambil sikap tengah: Tidak berlebih-lebihan pada satu posisi tertentu, ia berada pada titik sikap yang tegak lurus dengan kebenaran. Kata “moderat” dalam kamus Merriam-Webster Dictionary (kamus digital), salah satu pengertiannya adalah “menjauhi perilaku dan ungkapan yang ekstrem” [avoiding extremes of behaviour and expresion]. Maka dalam kaitannya dengan itu, seorang yang moderat adalah seorang yang menjauhi perilaku-perilaku dan ungkapan-ungkapan yang ekstrem.

Dalam sikap keberagamaan, kelompok Islam moderat terlihat bercorak inklusif-Islamsentris, artinya mereka berpendapat bahwa orang-orang beragama lain juga bisa selamat dan ajaran mereka juga mengandung kebenaran (Islam sentris). Menurut elit agama moderat, bahwa semua agama diberikan kepada manusia supaya mereka dapat menjalani hidup secara lebih baik dalam nuansa kebesaran Tuhan semesta alam dan melakukan semua ajaran atau pesan yang telah diberikan Tuhan. Dari pandangan ini, agama juga berfungsi untuk menciptakan situasi harmoni dan saling menghormati untuk mengendalikan konflik yang mungkin timbul. Semua pihak harus sama-sama menyadari akan pentingnya persatuan dan kesatuan umat, melalui pemahaman agama masing-masing secara benar dan tepat. Perlu ada moderasi dalam beragama, sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah Saw.

Berpaham Islam moderat sebenarnya tidaklah sulit mencari rujukannya dalam sejarah perkembangan Islam, baik di wilayah asal Islam itu sendiri maupun di Indonesia. Lebih tepatnya, Islam moderat dapat merujuk, jika di wilayah tempat turunnya Islam, kepada praktik Islam yang dilakukan Nabi Muhammad Saw. dan para sahabatnya, khususnya al-Khulafa al-Rashidin, sedangkan dalam konteks Indonesia dapat merujuk kepada para penyebar Islam yang terkenal dengan sebutan Walisongo. Generasi pengusung Islam moderat di Indonesia berikutnya, hanya sekedar miniatur, mungkin dapat merujuk kepada praktik Islam yang dilakukan organisasi dan Nahdlatul Ulama (NU).

Zuhairi Misrawi menyebut Nahdlatul Ulama, sebagaimana yang dikehendaki pendirinya, Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari, bersama sejumlah ulama yang membentuk kelahiran NU sebagai sebuah organisasi keislaman yang telah memberikan inspirasi bagi sebagian besar umat Islam di tanah air untuk menjalankan misi Islam sebagai agama yang mengedepankan toleransi dan moderatisme dalam pemahaman keagamaan. Misi tersebut dipopulerkan dengan wajah Islam yang rahmatan lil ‘alamin, yaitu Islam yang dibangun di atas fundamen kasih sayang bagi seluruh manusia di seantero alam dan juga makhluk-makhluk lain yang berada di muka bumi. Langkah ini penting bagi generasi muda Muslim untuk senantiasa mempunyai landasan pemikiran yang kuat di satu sisi, tetapi yang tidak kalah penting dari itu semua adalah menerjemahkan pandangannya dalam kehidupan sosial yang relatif majemuk. Sebuah pemahaman keagamaan yang mestinya mampu melindungi dan menerima kemajemukan sebagai rahmat dan sunnah Tuhan.

NU sejak semula memberikan kontribusinya dalam wawasan keagamaan moderat dan ikut mendorong pembentukan ide kebangsaan. Dalam ranah keagamaan, NU berhasil merumuskan gagasan dasar tentang tawassuth (moderat), tasamuh (toleransi), tawazun (keseimbangan), dan i’tidal (keadilan). Inilah yang menjadi sikap dasar NU dalam merespons isu-isu keagamaan di tanah air. Dengan gagasan dasar ini, NU telah berhasil melahirkan generasi bangsa yang mengedepankan hidup dalam suasana yang toleran dan moderat, bukan dengan kekerasan. Mujamil Qomar menyebutkan bahwa watak moderat (tawassuth) merupakan ciri Ahlus Sunnah waljamaah yang paling menonjol, di samping i’tidal (bersikap adil), tawazun (bersikap seimbang), dan tasamuh (bersikap toleran) sehingga ia menolak segala bentuk tindakan dan pemikiran yang ekstrem (tatharruf) yang dapat melahirkan penyimpangan dan penyelewengan dari ajaran Islam. Dalam pemikiran keagamaan, juga dikembangkan keseimbangan (jalan tengah) antara penggunaan wahyu (naqliyah) dan rasio (‘aqliyah) sehingga dimungkinkan akomodatif terhadap perubahan-perubahan di masyarakat sepanjang tidak melawan doktrin-doktrin dogmatis, meskipun keseimbangan itu tidak bisa benar-benar berdiri di tengah antara wahyu dan akal, tetapi lebih condong pada wahyu dari pada akal (taqdim al-naql ‘ala al-‘aql). Masih sebagai konsekuensinya terhadap sikap moderat, maka Ahlussunnah wal jamaah juga memiliki sikap-sikap yang lebih toleran terhadap tradisi dibanding dengan paham kelompok-kelompok Islam lainnya.

Sebagai bagian penting kompenen bangsa dan aset dari NU, santri memegang peranan penting dalam ikut serta upaya moderasi Islam di Indonesia. Pola kehidupan ala pesantren serta keilmuan yang telah dipelajari seorang santri menjadi sebuah pijakan berarti dalam menerapkan dan menyebarkan wajah Islam moderat di Indonesia. Salah satu upaya nyata santri dalam kampanye moderasi Islam ialah terlibat aktif dalam dakwah digital sebagai keniscayaan perkembangan zaman. Hari-hari ini, dunia digital sebut saja sosial media merupakan “konsumsi” yang tak bisa dilepaskan bagi masyakarat kekinian, kalangan milenial terutama. Keterlibatan aktif santri dalam mendakwahkan Islam yang santun, ramah, toleran, damai dan menghargai sesama merupakan sebuah keharusan di tengah banyaknya konten-konten dakwah para penceramah anyaran yang kontradiktif dan cenderung merusak tatanan keberagamaan dan keberagaman di Indonesia. Tak sedikit penceramah yang menyinggung masalah khilafiyah furu’iyah dan kemudian menjadi trending topik yang hangat di tengah masyarakat hingga menyulut konflik. Sudah sepatutnya santri yang telah memiliki kedalaman ilmu-ilmu agama tafaqquh fiddin di pesantren berani tampil di hadapan publik semisal membuat konten video ceramah berdurasi singkat berisi pesan damai, inspirasi dan motivasi yang layak dan berguna bagi konsumen sosial media. Dengan itu, kiranya menjadi salah satu upaya mengimbangi serta mengurangi potensi Islam eksklusif bagi masyarakat kekinian sehingga Islam di Indonesia khususnya benar-benar mampu menunjukkan wajah Islam rahmatan lil’alamin.

 

Oleh : M. Khamim (Anggota Komunitas Dai Muda Digital Malang Raya. Saat ini, penulis sebagai salah satu tenaga pendidik di Universitas Darul ‘Ulum Jombang)

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Back to top button