Opini

Jangan Berdebat Bab Furu’iyyah

Jangan Berdebat. Tidak Banyak Manfaatnya. (Sumber Istimewa)

Oleh: Henny Mono

Alkisah, seorang pria punya kebiasaan berhenti di toko jam dinding, setiap hari tatkala ia berangkat ke pabrik. Sesaat setelah melihat jam tangannya, ia pun berjalan kembali menuju ke tempat kerjanya. Pemilik toko heran melihat perilaku itu. Maka, pada suatu hari dihadangnya pria itu, tepat saat ia berhenti di depan tokonya.

“Hai, Bapak siapa? Ada apa koq setiap hari Bapak berhenti sesaat di depan toko saya, sebelum melanjutkan perjalanan? tanyanya. “O, perkenalkan, saya adalah mandor pabrik. Salah satu pekerjaan saya adalah membunyikan bel pada pukul 16.00, sebagai tanda bahwa jam kerja sudah usai. Dan, saya merasa perlu mencocokkan jam tangan saya dengan jam dinding di toko Bapak, agar bel yang saya bunyikan tepat waktu”, jelas sang mandor.

Mendengar jawaban itu, sontak si pemilik toko tertawa terpingkal-pingkal. Sang mandor prabrik terheran-heran, sebelum kemudian ia pun terpingkal-pingkal. Pemilik toko jam dinding menjelaskan, bahwa ia setiap hari selalu mencocokkan jarum jam pada jam dindingnya, tepat pada saat bel pabrik berbunyi pada pukul 16.00.

Seperti itulah gambaran bab-bab furu’iyyah tumbuh dan berkembang dalam dinamisasi pemikiran para ahli agama. Siapa mengambil pendapat siapa, sudah sedemikian rumitnya untuk ditelusuri. Dan, setiap majelis ilmu ketika melakukan istimbath (menarik hukum) atas suatu peristiwa fiqhiyah, dipastikan ia mendasarkan pendapatnya pada dalil-dalil yang pernah ditulis kalangan ulama terdahulu (ber- taqlid). Bahkan meski ia telah menguasai perangkatnya, seperti ilmu tafsir Alquran, ilmu hadist, ilmu fikih, ilmu ushul fikih, sirah nabi dan maghazi, sejarah Islam, biografi ulama dan tokoh, serta ilmu bahasa dan gramatika bahasa.

Maka, perbedaan amaliyah pada bab-bab furu’iyyah, seperti membaca qunut, wasilah, ucapan saydina, shalat tarawih, shalat di masjid atau di lapangan tatkala idul fitri/adha, tahlilan orang mati, kirim doa, penentuan awal puasa dan menetapan idul fitri/adha, bab-bab puasa sunnah, sudah tidak relevan lagi untuk diperdebatkan. Termasuk tidak perlu pula saling membid’ahkan antar-umat Islam, apalagi mengkafirkannya. Apa pun metode pendekatan yang kita lakukan. Kalau kita tidak sepaham, tinggalkanlah amalan itu tanpa perlu menjelek-jelekan yang lain.

Bukankah telah berfirman Allah SWT:

إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ

“Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah Yang Paling Mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya; dan Dialah Yang Paling Mengetahui orang-orang yangyang mendapat petunjuk” (QS. Al-Qalam: 7).


Henny Mono

*Henny Mono adalah seorang advokat dan konsultan hukum, serta mengajar di beberapa perguruan tinggi baik negeri maupun swasta. Masih aktif pula memberi diklat bidang hukum dan motivasi diri. Hobi, menulis dan melukis, juga kutu buku. Kontak via blog: h-mono.blogspot.com

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Back to top button