Pesantren di Era Milenial
Pesantren di Era Milenial
Oleh : Abdulloh Hamid M.Pd.
(Penulis adalah dosen UIN Sunan Ampel Surabaya, Pengurus Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah Nahdlatul Ulama/ PP RMI NU dan Ikatan Siswa Abiturien/ Iksab TBS 2004)
Syawwal, selain dikenal sebagai bulan silaturahmi, dikenal pula sebagai bulan awal masuk pesantren bagi para santri di pondok pesantren salafiyah (mondok). Tradisi mondok sendiri, mengakar di kalangan keluarga yang memiliki riwayat apakah orang tua atau saudaranya, yang dulunya juga mondok (sel lama).
Bagi keluarga santri dengan tradisi mondok yang sangat kental ini, tujuan memasukkan anak ke pondok pesantren, paling tidak ada dua hal utama. Pertama, tafaqquh fi al-din. Kedua, tabarrukan (berharap berkah) para kiai.
Seiring perkembangan zaman, di era teknologi informasi ini, ada pergeseran latar belakang santri mondok berikut tujuan yang melatarinya. Kini sudah banyak masyarakat ekonomi kelas menengah (ekonomi) dan masyarakat perkotaan (urban), yang juga tertarik memasukkan anaknya di pesantren.
Apa motif atau niatannya? Jika dianalisa secara mendalam, ketertarikan masyarakat ekonomi menengah dan masyarakat urban memasukkan anaknya di pesantren, antara lain dengan tujuan terhindar dari pergaulan bebas dan memiliki karakter yang baik.
Trust (kepercayaan) masyarakat kepada pesantren ini muncul, lantaran lembaga pendidikan tradisional yang telah memberikan sumbangsih tak terperikan bagi bangsa, ini diyakini mempunyai daya imun yang teruji dari pergaulan bebas yang melewati batas.
Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa realitas santri era milenial kini, tidak terbatas dari sel lama saja, melainkan ada sel-sel baru, yakni dari keluarga yang tidak memiliki tradisi mondok, sehingga ketika mau memasukkan anaknya di pondok, bisa jadi akan menanyakan perihal apakah di pondok tidurnya memakai alas (kasur), ada AC, bagaimana kamar tidurnya, kualitas makanan, apakah ada fasilitas internet, dan pertanyaan-pertanyaan lain.
Berangkat dari pertanyaan-pertanyaan semacam itulah, sejak dikampanyekan gerakan nasional Ayo Mondok oleh Pengurus Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (PP RMI) Nahdlatul Ulama (NU) pada 1 Juni 2015 M bertepatan dengan 15 Sya’ban 1436 H, tim media dan informasi PP RMI NU mencatat ada banyak efek positif. Yaitu adanya peningkatan sel baru di berbagai pondok pesantren, seperti di pondok pesantren Lirboyo dan pondok Termas.
Berpijak pada prinsip al-muhafadhatu ‘ala al-qadim al-shalih, wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah, gerakan nasional Ayo Mondok menerjemahkannya sebagai tetap memelihara sel lama dan juga melayani kehadiran sel-sel baru di pesantren. Untuk itu, inovasi bagi pesantren di era milenial, adalah sebuah keniscayaan (keharusan).
Mengubah Paradigma
Sebagian masyarakat masih memiliki paradigma tidak memondokkan anaknya dengan alasan kasihan atau dengan banyak pertimbangan; bagaimana makannya, tidurnya, bagaimana anak mencuci pakaian dan lain sebagainya.
Tak pelak, sekolah SD, SMP dan SMA menjadi pilihan bagi sebagian masyarakat, ketimbang memasukkan anak di madrasah (MI, MTs dan MA). ini berlanjut, selepas SMA, belakar di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dinilai lebih menjanjikan dan berharap anaknya kelak menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS), atau bekerja di institusi bonafid dengan gaji besar.
Pandangan masyarakat inilah, yang mesti dirubah. Bahwa Anak adalah amanah dunia-akhirat, sehingga harus dijaga, dirawat, dan dipastikan pendidikannya sebaik mungkin, agar menjadi anak yang sholeh atau sholehah. Anak tidak sekadar membutuhkan asupan duniawi saja, juga asupan ukhrawi.
Rasulullah Muhammad SAW. dalam sebuah hadis bersabda: “ … Apabila salah seorang manusia meninggal dunia, maka terputuslah segala amalannya, kecuali tiga perkara; shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfa’at dan anak sholeh yang selalu mendoakannya” (HR Muslim 3.084).
Menurut Nurcholish Madjid (2002 : 5), pondok pesantren adalah lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia. Oleh Zamakhsyari Dhofier, pesantren diklasifikasi dalam dua kategori, yaitu pondok pesantren salafiyyah dan khalafiyyah.
Pengklasifikasian ini merujuk pada prespektif keterbukaan terhadap perubahan yang terjadi. Pondok salafiyyah tetap mengajarkan kitab-kitab Islam klasik dengan sistem sorogan dan bandongan dalam pengkajiannya. Sedang pesantren khalafiyyah, telah memasukkan pelajaran-pelajaran umum dalam madrasah yang dikembangkannya.
Di era sekarang, kendati orang tua mendapatkan banyak model pesantren berikut beragam jurusan bagi anaknya, namun ada nilai-nilai karakter pesantren yang penting sebagai garis penegas sebagaimana dikemukakan KH. Sahal Mahfudz (2005).
Nilai-nilai karakter itu adalah teguh dalam hal aqidah dasar dan syari’ah, toleran dalam hal syari’ah (tuntunan sosial), memiliki dan dapat menerima sudut pandang yang beragam terhadap sesuatu permasalahan sosial, serta menjaga dan mengedepankan moralitas sebagai panduan sikap dan perilaku keseharian.
Dan yang tak kalah penting dari keberadaan pesantren, yaitu bahwa santri mempunyai keunggulan di bidang keilmuan yang otoritatif, melalui sanad (mata rantai) keilmuan yang jelas dan tersambung hingga Rasulullah Muhammad SAW. Wallahu a’lam bi al-shawab. (*)