AswajaMauizhahOpini

Al-Qur’an dan Hadits Adalah Sumber Hukum, Bukan Kumpulan Kitab Hukum

Sebagian orang dalam menghukumi sesuatu ingin langsung kembali kepada al-Qur’an dan as-Sunnah. Padahal al-Qur’an dan as-Sunnah bukanlah kumpulan (kitab) hukum, namun kumpulan nash (dalil). Al-Qur’an, Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, dan kitab Sunan lainnya bukan seperti Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang berisi bab dan pasal yang mengatur hukum sesuatu secara langsung.Sebagian orang dalam menghukumi sesuatu ingin langsung kembali kepada al-Qur’an dan as-Sunnah. Padahal al-Qur’an dan as-Sunnah bukanlah kumpulan (kitab) hukum, namun kumpulan nash (dalil). Al-Qur’an, Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, dan kitab Sunan lainnya bukan seperti Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang berisi bab dan pasal yang mengatur hukum sesuatu secara langsung.

Nash-nash dalam al-Qur’an dan as-Sunnah dipahami oleh para ulama mujtahid – sesuai metode istinbath  yang mereka rumuskan – lalu menghasilkan kesimpulan hukum. Sementara hukum dalam Islam jumlahnya lima, yaitu wajib, mandub (sunnah), makruh, haram, dan mubah. Kelima hukum itu disebut dengan al-ahkam al-taklifiyah, yaitu hukum-hukum yang dibebankan bagi siapapun yang telah mendapatkan status mukallaf.

Al-Qur’an dan as-Sunnah tidak langsung menyatakan perilaku A hukumnya wajib, perilaku B hukumnya Sunnah, perilaku C hukumnya haram, dan seterusnya. Memang ada beberapa ayat yang langsung menghukumi sesuatu, namun jumlahnya amat jarang. Misalnya adalah vonis ‘haram’ dan ‘halal’ pada sesuatu yang dijelaskan pada kedua ayat berikut ini.

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ [المائدة: 3] “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi.” (QS. Al-Maidah: 3)

أُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ الْبَحْرِ وَطَعَامُهُ مَتَاعًا لَكُمْ وَلِلسَّيَّارَةِ [المائدة: 96] “Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan.” (QS. Al-Maidah: 96)

Namun perlu diperhatikan pula, dalam al-Qur’an dan Hadits terdapat nash yang berbicara tentang hukum, namun ternyata tak dapat dimaknai secara harfiyah. Misalnya adalah kata ‘makruh’ dan kata ‘wajib’ pada ayat dan hadits berikut ini.

كُلُّ ذَلِكَ كَانَ سَيِّئُهُ عِنْدَ رَبِّكَ مَكْرُوهًا [الإسراء: 38] “Semua itu kejahatannya makruh di sisi Tuhanmu.” (QS. Al-Isra: 38)

Pada ayat tersebut disebutkan kata makruh – yang apabila diartikan secara harifah akan dipahami bahwa hal-hal yang disebutkan sebelum ayat itu hukumnya adalah makruh. Padahal hal-hal itu hukumnya haram, bahkan dosa besar.

Contoh lain, disebutkan dalam as-Sunnah:
غسل يوم الجمعة واجب على كل محتلم
“Mandi hari Jum’at wajib bagi setiap orang baligh.”

Pada hadits ini disebutkan bahwa mandi pada hari Jum’at hukumnya wajib. Melalui proses istinbath dan istidlal, para ulama empat madzhab memutuskan bahwa mandi hari Jum’at hukumnya tidak wajib tapi sunnah. Kata wajib pada hadits itu bukan makna secara istilah, namun wajib secara etika (adaban la hukman).

Maka untuk merujuk langsung pada al-Qur’an dan as-Sunnah diperlukan kritria khusus berijtihad. Oleh karena itu, memahami bahasa Arab dasar – apalagi hanya merujuk pada terjemahan – tidak cukup menjadi bekal untuk langsung kembali kepada al-Qur’an dan as-Sunnah.

Wallahu a’lam
Faris Khoirul Anam (Aswaja NU Center Jawa Timur)

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Back to top button