Mauizhah

Urgensi Fiqhul Hadits Untuk Pemahaman Keagamaan yang Lebih Mencerahkan

Oleh Dr. Yusuf Hanafi, S.Ag., M.Fil.I.

(Khutbah Jum’at disampaikan di Masjid al-Hikmah Universitas Negeri Malang pada Jum’at, 26 Januari 2018)

الحمدُ لله الذى خَلَقَ الموجوداتِ من العدم بنور الإيجاد, وجعَلَها دليلا على وَحدانيته لِذوي البصائر إلى يوم المعاد. أشهد أن لآ إلهَ إلا الله الباقي بلا نَفاد, وأشهد أنّ محمدا رسولُ الله سيّدُ العباد, وصلى الله على سيدنا محمّدٍ وعلى آله وصحبه والتابعين فى جميع البلاد.
أما بعد: فيآ أيها الحاضرون الكرام اتقوا اللهَ ما استطعتم بفعلِ المأموراتِ واجتنابِ المنهياتِ إن الله لا يُخْلِفُ الميعاد. أعوذ بالله من الشيطان الرجيم {يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ, وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًاْ}.
معاشر المسلمين رحمكم الله!

Sunnah seringkali diidentik dengan hadis oleh kebanyakan ulama. Yaitu, segala sesuatu yang dinisbatkan kepada Nabi Muhammad SAW, baik itu berupa ucapan, perbuatan maupun taqrir (persetujuan) beliau, baik sebelum beliau diangkat menjadi nabi ataupun sesudahnya.
Secara garis besar, ma’asyiral hadirin, tipe pemahaman umat Islam terhadap sunnah/hadis Nabi dapat diklasifikasikan menjadi dua. Pertama, tipe pemahaman yang meyakini sunnah sebagai sumber ajaran agama tanpa mempedulikan proses pembentukannya. Model pemahaman seperti ini oleh para ulama dikatagorikan sebagai pemahaman yang tekstual-ahistoris (karena saat memahami sunnah tidak memilah status Nabi Muhammad SAW: apakah dalam kapasitas beliau sebagai rasul, mufti, hakim, pemimpin publik atau sebagai pribadi). Kedua, tipe pemahaman yang melihat dan mempertimbangkan secara kritis asal-usul (asbab al-wurud) dari sunnah/hadis itu. Mereka memahami sunnah secara kontekstual dengan menempatkan Muhammad SAW sebagai makhluk historis yang selalu berhadapan dengan sederet pilihan tata-nilai yang bersifat majemuk.

معاشر المسلمين رحمكم الله!

Contoh faktual dari keragaman tipe pemahaman umat terhadap sunnah/hadis Nabi ini adalah silang pendapat dan kontroversi yang ramai muncul belakangan ini, khususnya lewat media sosial macam Whats App dan sejenisnya, seputar pro-kontra kencing onta sebagai obat yang menyehatkan—dimana hal itu didasarkan kepada hadis Nabi berikut:

عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَنَسٍ – رضى الله عنه – أَنَّ نَاسًا اجْتَوَوْا فِى الْمَدِينَةِ فَأَمَرَهُمُ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – أَنْ يَلْحَقُوا بِرَاعِيهِ – يَعْنِى الإِبِلَ – فَيَشْرَبُوا مِنْ أَلْبَانِهَا وَأَبْوَالِهَا ، فَلَحِقُوا بِرَاعِيهِ فَشَرِبُوا مِنْ أَلْبَانِهَا وَأَبْوَالِهَا ، حَتَّى صَلَحَتْ (رواه البخاري)

“Dari Qatadah yang meriwayatkannya dari sahabat Anas RA bahwa ada sejumlah orang di Madinah yang mengeluhkan sakitnya. Mendengar keluhan tersebut, Nabi Muhammad SAW lantas mengarahkan mereka untuk mendatangi pengembala onta guna meminum air susu dan air kencingnya. Mereka lantas melaksanakan anjuran Nabi tersebut, dan hasilnya mereka menjadi sehat kembali”.

معاشر المسلمين رحمكم الله!

Berdasarkan harfiah (bunyi literal) hadis Nabi di atas, sebagian umat Islam meyakini bahwa air kencing onta adalah obat mujarab, tanpa mempedulikan konteks peristiwa yang melingkupi hadis tersebut. Di sisi lain, ada yang berpandangan sebaliknya bahwa meminum air seni makhluk hidup, termasuk onta, adalah sangat beresiko. Sebab secara medis, air seni merupakan sisa metabolisme tubuh yang berpotensi mengandung bakteri dan racun yang tentunya sangat berbahaya bagi kesehatan tubuh manusia.

Ditambah lagi, mayoritas ulama menghukumi kencing makhluk hidup, termasuk binatang onta, adalah najis, meski ditemukan pula pendapat berbeda dari sebagian ulama mujtahid tentang kesucian air kencing hewan yang boleh dikonsumsi dagingnya, seperti Imam Malik dan Imam Ahmad. Dalam kitab al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, karya Syeikh Wahbah az-Zuhaili dinyatakan:

بولُ الحيوان المأكول اللحم وفضلاتُه ورجيعُه: هناك اتجاهان فِقْهِيَّانِ: أحدهما القول بالطهارة، والآخر القول بالنجاسة، الأول للمالكية والحنابلة، والثاني للحنفية والشافعية (الفقه الإسلامي وأدلته).

“Terkait kencing binatang yang dagingnya halal dikonsumsi, termasuk sisa-sisa metabolisme tubuhnya yang lain, pandangan hukum para ulama terbelah menjadi dua. Pendapat pertama menghukumi kesuciannya, sedangkan yang lain menyatakan kenajisannya. Pendapat yang pertama merupakan pandangan hukum ulama mazhab Maliki dan Hanbali, sedangkan pendapat yang kedua adalah pandangan hukum ulama mazhab Hanafi dan Syafi’i”.

Hal itu dipertegas oleh Imam Ibnu Hajar dalam Fathul Bari:

ﻭﺫﻫﺐ اﻟﺸﺎﻓﻌﻲ ﻭاﻟﺠﻤﻬﻮﺭ إﻟﻰاﻟﻘﻮﻝ ﺑﻨﺠﺎﺳﺔ اﻷﺑﻮاﻝ ﻭاﻷﺭﻭاﺙ ﻛﻠﻬﺎ ﻣﻦ ﻣﺄﻛﻮﻝ اﻟﻠﺤﻢ ﻭﻏﻴﺮﻩ

“Imam Syafi’i dan mayoritas ulama berpendapat perihal kenajisan kencing dan kotoran binatang, baik yang dagingnya halal dimakan ataupun yang haram”.

معاشر المسلمين رحمكم الله!

Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana kita memahami hadis Nabi yang mengisyaratkan untuk menjadikan kencing onta sebagai obat di atas? Menjawab pertanyaan ini, kita bisa menemukan sikap beragama yang tepat dengan menelaah fatwa mufti al-Azhar Mesir, Syekh Athiyyah Shaqr dalam kitab Fatawa al-Azhar, dimana beliau mengemukakan:

ﺃﻣﺎ اﻟﺘّﺪاﻭَﻯ ﺑﺎﻟﻨَّﺠَﺲِ ﻏﻴْﺮَ اﻟﺨﻤﺮ، ﻭﺗﻨﺎﻭُﻝُ اﻟﻨّﺠﺲ ﺣﺮاﻡٌ، ﻓﻘﺪ ﻗﺎﻝ اﻟﻌﻠﻤﺎء: ﺇﻧﻪ ﻻ ﻳﺠﻮﺯ ﺇﻻ ﻋﻨﺪ اﻟﻀﺮﻭﺭﺓ، ﺃﻣﺎ ﻋﻨﺪ اﻻﺧﺘﻴﺎﺭ ﻭﺗﻮاﻓُﺮِ اﻟﺪّﻭاءِ اﻟﺤﻼﻝِ ﻓﻼ ﻳﺠﻮﺯ

“Menjadikan sesuatu yang najis, selain khamr, sebagai obat, termasuk mengkonsumsinya adalah haram. Para ulama berpandangan, berobat dengan sesuatu yang najis itu tidak diperbolehkan kecuali dalam kondisi darurat yang memaksa. Adapun dalam kondisi normal dan ketersediaan obat-obatan halal lain, maka berobat dengan sesuatu yang najis itu hukumnya haram”.

معاشر المسلمين رحمكم الله!

Pendapat mufti al-Azhar Mesir di atas jelas sejalan dengan firman Allah dalam Q.S. al-Baqarah: 173, dimana ditegaskan bahwa Allah SWT memiliki batasan-batasan keharaman yang tidak boleh kita langgar, kecuali dalam situasi darurat.

إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ ۖ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ (البقرة 173)

“Sesungguhnya Allah mengharamkan atas kalian bangkai, darah, daging babi, dan segala yang dipersembahkan kepada selain Allah. Barang siapa di antara kalian terpaksa (mengkonsumsinya), asal tidak melampaui batas dan berlebih-lebihan, maka tiada dosa atasnya. Sesungguhnya Allah maha pengampun lagi maha penyayang”.

Berdasarkan uraian dan paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa anjuran Nabi dalam hadis di atas untuk meminum air seni onta sebagai obat harus dipahami dalam konteks yang tepat, yakni adanya kondisi darurat, dimana tidak ada pilihan obat lain selain air kencing onta itu.

معاشر المسلمين رحمكم الله!

Kembali kepada tema pokok dari khutbah Jum’at kali ini sebagaimana khatib kemukakan di awal tadi, ada kemungkinan sunnah/hadis Nabi tertentu itu lebih tepat, jika dipahami berdasarkan diktum tekstualnya (yang tersurat). Namun adakalanya sunnah/hadis Nabi tertentu itu lebih tepat jika dipahami secara kontekstual (dengan berusaha menangkap pesan tersiratnya).

Pemahaman dan penerapan sunnah secara tekstual, ma’asyiral hadirin, dipilih apabila sunnah tertentu, setelah dihubungkan dengan segi-segi yang berkaitan dengannya (misalnya latar belakang terjadinya) tetap menuntut pemahaman sesuai dengan apa yang tertulis dalam teks sunnah.

Adapun pemahaman dan penerapan sunnah secara kontekstual dipilih, apabila “di balik” teks sunnah terdapat petunjuk kuat yang mengharuskan sunnah tertentu itu dipahami dan diterapkan tidak sebagaimana maknanya yang tersurat.

معاشر المسلمين رحمكم الله!

Imam al-Qarafi dianggap sebagai orang pertama yang memilah-milah ucapan dan sikap Nabi Muhammad SAW. Menurutnya, Nabi SAW terkadang berperan sebagai imam agung, qadhi, atau mufti yang amat dalam pengetahuannya.

Pendapat ini oleh pengikut paham kontekstual dijabarkan dan dikembangkan lebih jauh sehingga setiap sunnah harus dicari konteksnya: apakah ia diucapkan atau diperankan oleh manusia agung itu (Muhammad SAW) dalam kedudukan beliau sebagai:

  1. (1) Rasul, dan karena itu segala yang bersumber darinya pasti benar sebab bersumber dari Allah SWT; atau
  2. (2) Mufti, yang memberi fatwa berdasarkan pemahaman dan wewenang yang diberikan Allah SWT kepadanya. Dalam hal inipun, segala yang disampaikannya itu pasti benar serta berlaku umum bagi setiap Muslim; atau
  3. (3) Hakim, yang memutuskan perkara. Dalam hal ini putusan tersebut walaupun secara formal pasti benar, namun secara material adakalanya tidak tepat. Hal ini diakibatkan oleh kemampuan salah satu pihak yang bersengketa dalam menutup-nutupi kebenaran, sementara di sisi lain keputusan ini hanya berlaku bagi pihak-pihak yang bersengketa; atau
  4. (4) Pemimpin suatu masyarakat, yang menyesuaikan sikap, bimbingan dan petunjuknya sesuai dengan kondisi dan budaya masyarakat yang beliau temui. Dalam hal ini, sikap dan bimbingan tersebut pasti benar dan sesuai dengan masyarakatnya. Namun bagi masyarakat yang lain, mereka dapat mempelajari nilai-nilai yang terkandung di dalam petunjuk dan bimbingan itu untuk diterapkan sesuai dengan kondisi masing-masing masyarakat; atau
  5. (5) Pribadi, karena beliau memiliki kekhususan dan hak-hak tertentu (privelege) yang dianugerahkan atau dibebankan oleh Allah SWT dalam rangka tugas kenabiannya, seperti kewajiban shalat malam atau kebolehan menghimpun lebih dari empat orang isteri dalam satu waktu yang bersamaan.

معاشر المسلمين رحمكم الله!

Mungkin di antara kita ada yang keberatan untuk menerima penjelasan ini, karena memiliki pandangan yang berbeda. Namun agaknya tidak terelakkan bagi kita untuk memilah-milah ucapan dan sikap Nabi Muhammad SAW, karena hal yang semacam ini juga dilakukan oleh para sahabat beliau sendiri. Berikut ini beberapa contohnya.

Seorang perempuan bernama Buraidah bersikeras untuk menuntut cerai dari suaminya, walaupun ia telah dinasehati oleh Nabi Muhammad SAW agar tidak bercerai. Hal itu terjadi, karena ia menyadari bahwa nasehat Nabi SAW tersebut bukan merupakan kewajiban agama yang harus dilaksanakan.

Contoh lainnya adalah: ketika Nabi Muhammad SAW memilih lokasi untuk markas pasukannya dalam Perang Badar. Al-Habbab bin al-Mundzir bertanya: apakah pemilihan lokasi oleh Nabi itu merupakan pilihan yang didasari oleh petunjuk Ilahi, ataukah pilihan yang didasari pertimbangan akal dan strategi beliau semata? Ketika Nabi SAW menjawab bahwa hal itu adalah hasil penalaran dan ijtihadnya, al-Habbab mengusulkan lokasi lain yang lebih tepat. Ternyata, usulnya itu diterima oleh Nabi Muhammad SAW.

معاشر المسلمين رحمكم الله!

Sebagai penutup khutbah ini, dapat disimpulkan bahwa sunnah/hadis Nabi itu dapat dipilah menjadi dua, yakni: (1) sunnah tasyri’iyyah, yakni sunnah yang bermuatan syariat sehingga wajib dijalankan oleh umat, karena beliau menyampaikan dalam kapasitas sebagai Rasul dan Mufti yang dibimbing oleh wahyu Ilahi, dan (2) sunnah ghair tasyri’iyyah, yakni sunnah yang disampaikan oleh Nabi SAW bukan untuk keperluan pengundangan hukum agama, karena didasarkan pada penalaran dan ijtihad insani beliau. Sunnah jenis yang kedua ini jelas tidak seharusnya dipahami secara harfiyah dan tekstual, namun sebaliknya harus dipahami secara kontekstual. Jika tidak, maka akan lahir pemahaman yang ahistoris dan tidak senafas dengan dinamika kemajuan zaman, sebagaimana kasus air kencing onta yang dijadikan obat.
Terlebih lagi, Nabi Muhammad SAW dalam persolan-persoalan duniawi memberikan kelonggaran luas kepada kita untuk bereksperimentasi guna mewujudkan kesejahteraan dan kemaslahatan hidup. Terkait dengan ini, beliau pernah menyatakan dalam sebuah hadis yang sangat populer dan legendaris: “Antum a’lamu bi umuri dunyakum” (kalian lebih paham dan mengerti perihal urusan dunia kalian).
Wallahu Ta’ala A’lam bis Shawab….

بارك الله لى ولكم فى القرآن العظيم, ونفعنى وإياكم بما فيه من الآيات والذكر الحكيم, وتقبل منى ومنكم تلاوته إنه هو السميع العليم. أقول قولى هذا وأستغفر الله لى ولكم ولسائر المسلمين, فاستغفروه إنه هو الغفور الرحيم.
* * *
الحمد لله الذى خَلَقَ الإنسانَ فى أحسن تقويم, وأمَرَهم بالإعتصام بالدين القويم, دينِ الإسلام وصراطِهم المستقيم. أشهد أن لآ إلهَ إلا اللهُ المَلِكُ الدائِمُ, وأشهد أنّ محمدا رسولُ الله الداعى الى سبيل السلامة من العذاب الجحيم, اللهمّ فَصَلِّ وسلَّمْ على سيدِنا محمّدٍ وعلى آله وصحبه أجمعين.
أما بعد: فيآ أيها الناسُ اتّقوا اللهَ حقَّ تُقاتِه لتكونوا مِن زُمرةِ الفائزين, ولا تتّبِعوا خطواتِ الشيطانِ الرجيمِ اللّعين. اللهمّ صَلِّ وسلِّمْ على هذا النبيّ الكريم محمّدٍ وعلى آله وصحبه أجمعين, آمين يا رب العالمين.
اللهم أعز الإسلام والمسلمين, وأهلك الكفرة والمبتدعة والمشركين, ودمر أعداء الدين. اللهم آمنا فى ديارنا وأصلح ولاة أمورنا. واجعل اللهم ولايتنا فيمن خافك واتقاك. اللهم ادفع عنا الغلاء والوباء, والربا والزنا, والزلازل والمحن وسوء الفتن, ماظهر منها وما بطن, عن بلدنا هذا خاصة وعن سائر بلدان المسلمين عامة يارب العالمبن. اللهم اغفر للمسلمين والمسلمات والمؤمنين والمؤمنات الأحياء منهم والأموات, ربنا إنك مجيب الدعوات, يا قاضى الحاجات, ويا كافى المهمات برحمتك يآ أرحم الراحمين. ربنا آتنا فى الدنيا حسنة وفى الآخرة حسنة وقنا عذاب النار.
عباد الله, إن الله يأمركم بالعدل والإحسان وإيتآئ ذى القربى وينهى عن الفحشاء والمنكر والبغى, يعظكم لعلكم تذكرون. فاذكروا الله العظيم يذكركم, واشكروه على نِعَمِه يزدكم, ولَذِكْرُ الله أعز وأجل وأكبر.

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Back to top button