ArtikelOpiniParamudaSerba-serbi

Uzumaki “Zaid” Naruto dan Jalan Ninja Sesosok Santri

Jalan Ninja Santri

 

Sesungguhnya saya ingin menghadirkan Uzumaki Naruto. Setelan ninja yang sangat mencolok menjadikannya gampang dikenali, -orange menyala dengan beberapa kunai di kantong celana-. Tentu Ikat kepala berlambang desa konohagakure miliknya tak pernah lepas dari dahi. Alasan saya menghadirkan jagoan kita ini hanya karena sosoknya punya karakter lain ketimbang yang paling lain. Dalam jiwanya tertanam semangat perkawanan yang kelewatan. Tentu selorohnya yang paling tenar ialah tentang seorang ninja yang meninggalkan misinya adalah sampah. Tapi ninja yang meninggalkan kawan karena alasan misi, jauh lebih hina ketimbang sampah.

Sayangnya, Uzumaki naruto hanyalah rekaan seorang komika Jepang, Masashi Kisimoto. Ruh yang ditiupkan Masashi Sensei nyatanya tidak sekadar menghidupkan Naruto dalam serial anime belaka. Lebih mbois lagi, Naruto akan abadi dibenak para penggemar fanatiknya. Uwuwu. Jepangisasi ala Masashi Sensei barangkali sangat ampuh guna membudidayakan kearifan budaya negeri samurai lewat tokoh ninja. Setidaknya, gelar negeri sakura itu bertambah satu: Kiblat para Wibu.

Sayangnya lagi, sekarang naruto sudah menjadi kepala desa konoha. Padahal, di dalam hati kecil yang paling tulus, saya ingin mengajaknya mondok bareng. Haqqul yaqin, dia tak akan menolak. Apalagi jika saya iming-imingi jurus-jurus kanuragan yang akan membikin koleksi jutsunya semakin banyak. Saya bayangkan, jurus rasenggan shuriken miliknya pasti akan berlipat kuat seandainya ia ucapkan pula kalimat hauqolah: la haula wala quwwata illa billahil aliyyil adhim saat menyerang musuh. Apalagi jika ia hafal ayat kursi, lebih-lebih tahlil.

Lagi-lagi sayang, niat baik saya kini sebatas khayalan. Padahal, di kepala ini sudah terbayang ekspresi canggung Naruto ketika kami Sowan ke Ndalem Romo yai. Bayangkan saja begini: naruto mengenakan sarung motif kotak, hem putih tak tersetrika, songkok hitam susun berlambang bendera indonesia di salah satu ujungnya. Lantas ia bertambah kikuk, sewaktu namanya diubah menjadi Zaid. Zaid saja. Bukan Uzumaki Zaid. Lantas, suatu saat ketika pelajaran nahwu, seorang ustad akan menyontohkan jumlah fi’liyah dengan lafad qaama zaidun garis miring qaama uzumaki naruto.

“Naruto” Nyantri

Ah, betapa menggelikannya peristiwa ini seandainya tidak hanya seandainya.

Tentu khayalan semacam ini bukan hanya milik saya seorang. Beberapa teman santri juga sempat berangan demikian. Bahkan ada yang menganalogikan derajat cunin-jonin-sanin di dunia Naruto setara dengan tingkat ibtida’- wustho-ulya di ranah pesantren. Lain-lagi dengan santri yang membayangkan betapa cantiknya hyuga hinata andai memakai gamis sambil bersandar di tembok menghafal nadham “imrithi”. Dan masih banyak lagi sosok-sosok Naruto di pondok pesantren. Seolah-olah khayalan kami berkata bahwa sudah waktunya kehidupan santri dikenal dunia global. Alih-alih lewat animasi bak serial anime yang tengah digandrungi generasi kekinian.

Boleh jadi suatu saat akan bermunculan Masashi Sensei versi syar’i. Seseorang yang akan membalut dakwah kepesantrenan ala-ala serial Uzumaki Naruto atau semacamnya. Tentu saja, peran ini tidak bisa dimainkan oleh seorang santri yang tengah bermukim di pondok pesantren. Apabila upaya santrinisasi sudah seyogyanya dilakukan melalui beraneka lini, pastilah dibutuhkan solidaritas yang kokoh antar pelaku-pelaku kepesantrenan. Toh, bukankah sekali berlabel santri akan terus terpatri tanpa ada batas masa berlaku?

Terlebih, dunia santri seakan menyatu dengan budaya nusantara. Kelembagaan pendidikan agama ala pondok pesantren nyatanya benar-benar mewarisi nilai-nilai kearifan lokal tanpa harus menabrak-rancukan dengan ajaran Islam yang rahmatan lil alamin. Tentu saya tidak bermaksud menjustifikasi dunia per-ikhwan-an itu bukan produk dalam negeri. Hanya saja, alangkah elegannya apabila dakwah kepesantrenan mampu menyedot ketertarikan dunia global sebagaimana serial Naruto. Kini, tinggal apakah kita sudah menemukan jalan ninja (dakwah kepesantrenan) masing-masing?

 

Oleh: Mochammad Syaifulloh (Santri Mondok di PP. Miftahul Huda Gading Kota Malang)

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Back to top button