ArtikelOpiniWarta

Melangit Sekaligus Membumi: Sebuah Refleksi Euforia Hari Santri

“Mari kita jadikan hari santri ini sebagai momentum untuk membangun peradaban yang baru dengan lebih percaya diri lagi, dengan lebih semangat lagi…”

Kalimat tersebut adalah cuplikan dhawuh Prof. Dr. KH. Said Aqil Siradj, MA (Ketua Umum PBNU) dalam acara “Doa Tolak Bala’ untuk Keselematan Dunia” yang dihelat sebagai peringatan Hari Santri Nasional 2020. Kalimat tersebut sekilas tampak biasa saja. Seperti tidak ada daya magis yang mampu membuat terenyuh. Seolah hanya kalimat normatif yang sudah sepatutnya disampaikan pada pidato atau orasi di mata publik. Dhawuh tersebut akan terasa mengena tepat pada sasaran, jika saja kita mau merenunginya pelan-pelan.

Menyoal peradaban yang disebut Kiai Said Aqil dalam kalimatnya, Dr. Mustafa Al-Siba’i dalam bukunya “Peradaban Islam Dulu, Kini, dan Esok” mendefinisikan peradaban sebagai sistem sosial yang membantu manusia untuk meningkatkan produktifitasnya di bidang kebudayaan. Definisi tersebut memberi gambaran pada kita bahwa peradaban menyangkut segala lini kehidupan; baik sosial, ekonomi, politik, pendidikan, dan lain sebagainya. Kalimat Mustafa Al-Siba’i juga menegaskan pada kita bahwa pembentukan ataupun pembaharuan peradaban akan terus berlangsung selama matahari masih muncul dari ufuk timur.

Dalam kaitannya dengan konteks dhawuh di atas, kalimat Kiai Said Aqil tersebut jelas memberi pesan pada kita –orang-orang yang mengaku dirinya sebagai santri—untuk senantiasa bersemangat, percaya diri, dan optimis dalam membangun peradaban yang lebih maju. Lalu sudah siapkah kita dalam menjalankan “amanah” itu? Seberapa mampu diri kita untuk melakoni “pesan jihad” tersebut?

Sejak penetapannya di tahun 2015, Hari Santri selalu membawa euforia tersendiri. Tidak hanya bagi santri yang masih ndampar (mengaji) pada Kiai, atmosfer semarak Hari Santri juga merambat pada orang-orang yang tidak lagi tinggal di pesantren, namun masih ngugemi jiwa-jiwa kesantriannya. Peringatan Hari Santri Nasional –atau yang lebih familiar disingkat menjadi HSN—tidak pernah sepi di tiap tahunnya. Ucapan selamat bertebaran di mana-mana, twibbon diunggah di berbagai media, acara megah juga digelar di berbagai kota. Selebrasi tentu boleh dan sah-sah saja. Namun setelah itu, kita tidak boleh lupa terhadap esensinya. Berbagai wujud perayaan Hari Santri mungkin akan berakhir selama sepekan, tapi tugas dan tanggung jawab kaum santri sekaligus kalangan pesantren tidak akan berhenti di akhir perayaan. Amanah membangun peradaban harus dijalankan dengan penuh kesadaran, harus diilhami sebagai resolusi jihad santri masa kini.

Wajah peradaban yang lebih maju tentu memakan waktu yang tidak sebentar. Perwujudannya juga membutuhkan kerja sama dari berbagai kalangan. Terdengar berat, memang. Namun spirit kesantrian yang memegang teguh prinsip “ngaji sampe mati” adalah modal penting bagi upaya membangun peradaban. Kaum santri dan kalangan pesantren harus terus belajar, sebagai bekal dalam mengisi pos-pos peradaban, untuk kemudian sedikit demi sedikit melakukan perubahan. Klungsu-klungsu menawa udhu harus senantiasa dipegang. Niat dan langkah-langkah kecil dalam membangun peradaban tidak boleh berakhir sebagai isapan jempol belaka.

Tidak ada “garis demarkasi” khusus bagi kalangan santri dan pesantren dalam upaya membangun peradaban. Pendidikan, ekonomi, politik, militer, dan banyak lagi pos-pos yang bisa diisi. Jalan dakwah santri tidak melulu ada di mimbar-mimbar masjid. Jihad itu bisa merupa dalam data-data statistik, pemikiran-pemikiran cemerlang, suara-suara saat rapat paripurna, atau langkah kaki yang mantap menuju sekolah di pinggiran desa.

Santri dan kalangan pesantren lainnya mau tidak mau harus responsif dan adaptif terhadap zaman yang kian cepat berubah. Skill yang dimiliki oleh santri tidak boleh hanya cukup pada kemampuan membaca kitab kuning dan Al-Qur’an semata. Kalangan pesantren harus lebih getol lagi dalam peningkatan sumber daya manusia. Evaluasi demi evaluasi harus terus dilakukan. Inovasi demi inovasi harus senantiasa digalakkan.

Bakti santri pada negeri tidak boleh berhenti hanya sampai di sini. Selain peradaban yang lebih maju, ada perdamaian yang harus terus diupayakan. Sebagai representasi kaum berilmu, santri dan kalangan pesantren sudah selayaknya menjadi agen perdamaian. Memberi teladan keberagamaan yang welas adalah suatu kewajiban. Yang juga perlu diingat adalah meski menempati posisi jihad yang “melangit”, sudah sepatutnya bagi santri untuk tidak lupa “membumi”. Menengok tetangga kanan-kiri yang tidak memiliki privilese untuk mengenyam pendidikan pesantren, sekali dua kali menemani orang-orang di pinggir jalan untuk mengingat Sang Pencipta, atau ikut mengajar alif-ba’-ta’ barang sekali dalam sepekan. Berbagai laku mulia tersebut tentu bisa dicapai dengan berbekal ‘aunur rahmah (pandangan welas asih) dalam menapaki jalan dakwah. Amar ma’ruf bil ma’ruf  tersebut akan mengantarkan santri pada keberhasilan meyakinkan orang-orang bahwa Islam adalah rahmah, tidak hanya pada umatnya, namun bagi apa dan siapa saja yang ada di dunia.

Tugas-tugas tersebut memang tidak mudah. Pasti dibutuhkan usaha yang tidak biasa. Namun bukankah hal itu sesuai dengan apa yang didhawuhkan Romo KH. Arief Hasan (pendiri PP. Roudlotun Nasyi’in). ان الحياة عقيدة و جهاد , bahwa sesungguhnya hidup ini adalah tentang keyakinan dan perjuangan.

 

Hikmah Imroatul Afifah; yang senantiasa berharap diakui sebagai santri.

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Periksa Juga
Close
Back to top button