Ekspedisi Batin (5): Bercengkrama dengan Malam, Menjelajah Labirin Hati
Jumat (15/3/2024), di makam Kiai Hasan Sepuh Genggong. “Rasa energi” itu tak pernah berubah. Energi spiritual yang tak pernah menipis sama sekali. Tetap sama seperti belasan tahun lalu.
Dalam kesejukan paduan hujan dan angin di makam malam itu, semesta serasa berbisik pelajaran bagi jiwa yang mencari. Memang, urutan keindahan malam bulan suci ini, lebih dari sekadar urutan dalam kalender. Ini adalah perjalanan ke dalm keheningan diri, di mana setiap detik menawarkan peluang untuk menemukan kebenaran yang lebih dalam.
Karenanya, puasa di sayyidus suhur ini bukan semata pengendalian nafsu ragawi, tapi juga ekspedisi spiritual yang menantang jiwa menjelajahi labirin keberadaannya; menggali hikmah di balik ketenangan.
- Bercengkrama dengan Malam
Ketika cakrawala mulai menelan matahari, dan langit berubah menjadi kanvas hitam, di situlah narasi malam Ramadan dimulai. Setiap bintang yang bertebaran bak mutiara di langit malam, serupa dengan titik-titik cahaya dalam gelap, merefleksikan doa dan harapan yang diangkat ke atas. Malam-malam ini, diamnya tidak pernah sunyi, melainkan penuh dengan lantunan ayat suci yang mengalun, membawa pesan ketenangan dan damai.
Malam Ramadan membuka arena dialog antara manusia dan Allah Sang Pencipta. Di mana setiap kata dalam doa menjadi saksi atas keintiman yang terjalin. Ibadah bukan sekadar rutinitas, melainkan tarian hati yang mengalir dengan irama ketulusan, melukiskan harapan dan kerinduan pada kanvas keabadian.
Dalam lipatan waktu suci ini, manusia diajak untuk merenung. Mengintrospeksi diri, mencari jejak-jejak kesalahan yang tersembunyi. Lalu, memetik pelajaran dari kesalahan dan menyemai benih-benih perbaikan.
Seperti sahabat lama yang datang mengunjungi, Ramadan ini membawa kesempatan untuk menyegarkan kembali janji dan komitmen spiritual. Setiap malam menjadi kesempatan untuk mengikat kembali tali yang mungkin telah kendur, menemukan kembali esensi yang mungkin telah lupa. Ketenangan malam memberi ruang bagi jiwa untuk mendengarkan bisikan hati, menjawab pertanyaan-pertanyaan yang terpendam, menghadirkan ketenangan dalam kepastian iman.
Dalam kesendirian malam, ada kekuatan yang mendorong pemikiran ke ranah yang lebih luas. Mendorong perasaan menuju kedalaman yang lebih nyata. Saat berdoa, setiap kata yang terucap bukan hanya menggema di ruang fisik, tapi juga menembus dimensi spiritual, menciptakan resonansi yang menyentuh keabadian.
Doa dan ibadah di bulan Ramadan pun menjadi jembatan yang menghubungkan dunia fana dengan keabadian ilahi. Mengantarkan pada pemahaman bahwa kehidupan ini lebih dari sekedar kisah sementara.
Introspeksi diri dalam keremangan malam Ramadan bukanlah sekedar evaluasi diri, tetapi lebih merupakan perjalanan ke dalam. Menggali apa yg terpendam dalam kedalaman jiwa, menghadapi ketakutan dan kekurangan, serta merayakan kekuatan dan keberhasilan. Ini adalah saat untuk berdamai dengan diri sendiri, menerima kelemahan sebagai bagian dari pertumbuhan, dan melihat setiap kekurangan sebagai peluang untuk menjadi lebih baik.
Ramadan, dengan malam-malamnya yang panjang dn tenang, menawarkan keheningan yang bukan hanya dari kebisingan dunia luar, tetapi juga dari kekacauan batin. Di sinilah, dalam kesunyian, bisa terdengar suara hati yang paling jujur, memandu ke dalam pemahaman yang lebih dalam tentang siapa diri ini sebenarnya, dan bagaimana hubungan sejati dengan pencipta dan ciptaan-Nya.
Ramadan dengan segala keindahan malamnya, mengundang setiap jiwa untuk berjalan dalam lamunan dan berdoa dalam kedalaman. Menjadikan setiap malam sebagai kesempatan untuk mengeksplorasi dunia dalam diri, menemukan makna yang lebih dalam dari eksistensi, dan menghidupkan kembali koneksi dengan yang Maha Kuasa.
Dalam diam dan doa, keindahan malam Ramadan membuka jalan menuju kedewasaan spiritual, menawarkan pelajaran bahwa dalam setiap detik kesunyian terdapat kekuatan yang dapat mengubah arah jiwa.
- Menjelajah Labirin Hati
Dalam lipatan waktu yang suci, Ramadan mengajarkan kesederhanaan dan ketulusan. Berdoa di keheningan malam, hati berdialog langsung dengan Sang Pencipta. Mengungkapkan isi paling dalam tanpa perantara. Setiap kata dalam doa, setiap ayat dari kitab suci yang dilantunkan, bukan sekadar bunyi, melainkan resonansi yang berpadu dengan ritme alam semesta, menciptakan harmoni antara langit dan bumi.
Malam Ramadan memanggil jiwa untuk kembali ke esensinya, membuang jauh-jauh keinginan duniawi yang sering kali menyesatkan. Ia seperti pelabuhan bagi kapal-kapal yang telah lelah berlayar di lautan kehidupan, memberikan kesempatan untuk berlabuh, merenung, dan mengisi ulang energi sebelum kembali mengarungi perjalanan. Setiap ibadah, setiap doa, menjadi titik tolak untuk perjalanan baru menuju kesucian dan kebaikan yang lebih tinggi.
Kegelapan malam Ramadan bukanlah kegelapan yang perlu ditakuti, melainkan kegelapan yang penuh dengan cahaya batin. Di mana setiap percikan cahaya merupakan pencerahan yang ditemukan dalam introspeksi dan keheningan. Dalam setiap doa, ada cahaya yang menuntun ke jalan yang benar, menyinari hati yang gelap, membawa kedamaian dan kejernihan pikiran.
Pada akhirnya, Ramadan mengajarkan bahwa kehidupan sejati bukan tentang kebisingan dan keramaian, melainkan tentang keheningan dan kedamaian yang ditemukan dalam relasi dengan Yang Maha Kuasa. Kekayaan sejati bukan diukur dari kelimpahan materi, melainkan dari kedalaman spiritualitas yang ditemukan dalam setiap malam yang dihidupkan dengan doa dan ibadah.
Ramadan, dengan setiap malamnya, menjadi peringatan akan hakekat hidup yg sesungguhnya: sebuah perjalanan untuk menemukan cahaya dalam diri, menghidupkan jiwa dengan cinta Ilahi, dan merajut kebijaksanaan dalam tali doa. Dalam diam dan keheningan itu, afa undangan untuk setiap jiwa, menjelajahi labirin kehidupan dengan peta hati. Menemukan harta yang tak terlihat namun abadi, menggali keindahan sejati dari ibadah, doa, dan introspeksi diri. (*)
Khoirul Anwar
* Penulis adalah wakil ketua PCNU Kota Malang, pengurus LTN PBNU