AswajaHeadlineJam'iyyah

Ziarah Dan Rihlah Pulau Dewata, Santun Berdakwah Tanpa Senjata

PKPT IPNU-IPPNU UIN Malang Ziarah ke NU Pulau Dewata

 

Agenda dua tahunan Pimpinan Komisariat Perguruan Tinggi IPNU-IPPNU UIN Maulana Malik Ibrahim Malang kali ini bisa dibilang istimewa. Kemarin (09/03) baru selesai melaksanakan Rihlah dan Ziarah Wali Jatim & Bali. Tidak hanya berziarah dan rihlah namun juga silaturrahmi ke alumni dan bedah buku.

Perjalanan dimulai dari Jum’at pagi dengan tujuan makam KH. Abd. Hamid Pasuruan yang terkenal dengan kewalian pada masanya. Dilanjutkan dengan ke makam pengarang syair An-Nahdliyah KH. Hasan Abdul Wafi. Penulis juga menyempatkan bertawasul ke pendiri PP. Nurul Jadid Paiton KH. Zaini Mun’im yang berjarak kurang lebih 100 meter. Sebelum isya’ sudah sampai di komplek pemakaman pendiri Nahdlatul Ulama, KH. As’ad Samsul Arifin. Selaian ulama beliau juga terkenal sebagai pahlawan berkuda. Pada zaman penjajah beliau mengambil hati para preman daerah Situbondo, untuk mencuri senjata penjajah.

Pulau Dewata selain pulau wisata dan mayoritas beragama hindu juga tersebar waliyullah yang menyebarkan agama islam. Rombongan berziarah ke Habib Ali Bin Umar Bafaqih, Wali Seseh Mengwi yang terkenal Raden Amangkurat, Raden Ayu Pemecutan dengan ketulusan dan keikhlasan hingga tumbuh pohon yang tumbuh di pusara beliau sampai sekarang masih terawatt dengan baik. Wali Karangrupit yang berasal dari China (The Kwan Pao-Lie) dengan gelar Syekh Abdul Qodir Muhammad yang semasa muda menjadi murid Sunan Gunung Jati.

Disela-sela ziarah rombongan juga ke wisata Tanah Lot, bertepatan dengan hari terakhir Galungan. Hari dimana penyucian sebelum hari raya Nyepi tiba. Banyak umat Hindu memakai pakaian adat serba putih menjalani ritual dipandu dengan pemuka agama. Di atas pure yang berada di bibir pantai dan goa di bawah berlangsung khidmat. Pengunjung tidak boleh merapat terlalu dekat.

Malam ke dua dijadwalkan untuk membedah buku Menara Muda & Fikih Islam Bali. Bertempat di jalan Pura Demak Barat 31BR. Buangan Denpasar Bali. Merupakan kerjasama PKPT IPNU-IPPNU UIN Malang, PW IPNU-IPPNU Bali, PW LTN-NU Bali. Menghadirkan penulis Fikih Islam Bali Agus M. Taufiq Maulana,S.Sy.,M.H yang juga ketua LTN-NU Bali dan Rekan Rizky Muhammad F. selaku perwakilan penulis buku Menara Muda.

Buku Menara Muda adalah kumpulan esay dari rekan-rekanita PKPT IPNU-IPPNU UIN Malang. Menara Muda akronim dari merawat nusantara lewat Pemuda. Islam adalah agama pendatang, yang mana agama nenek moyang nusantara adalah penganut animisme dan dinamisme. Kemudian dalam kurun waktu yang singkat para wali songo penyebar agama islam di Indonesia mampu meraih hati hingga masuk islam. Lalu hal apa menjadi daya tarik untuk berpindah agama berates-ratus tahun yang lalu?

Ziarah Dan Rihlah Pulau Dewata, Santun Berdakwah Tanpa Senjata

Tak cukup dengan sembnyi-sembunyi, namun para wali mempunyai cara halus merubah tradisi yang tidak sejalan dengan sedikit polesan islami tanpa menyakiti pribumi. Seperti kita ketahui dalam persembahan roh nenek moyang dahulu banyak mengorbankan tumbal lalu diubahnya oleh para wali dengan menggunakan ingkung ayam sebagai acara selamatan.

Sedangkan penulis Fikih Islam Bali mengutarakan bahwa mustahil untuk berdakwah di bumi pertiwi tanpa tahu literasi. Tanpa mengetahui sejarah kondisi kehidupan masyarakat Indonesia dan Bali khususnya. Islam masuk di pulau Bali melalui kerajaan-kerajaan.

Orang minhum, tidak mengerti budaya, tidak faham sejarah, hingga akhir-akhir ini islam ditampakkan dengan islam keras. Di Pulau Dewata masyarakat Hindu-Islam berdampingan secara harmonis. Terlihat dari penjaga makam-makam wali yang juga masyarakat Hindu. Membangun, merawat dan menyediakan fasilitas untuk peziarah.

Penulis teringat perkataan Bli Habib, seorang tour guide “Ada orang mengatakan, kenapa berziarah di Pulau Bali? itu adalah presepsi yang harus dirubah. Karena kita selain wisata, juga berziarah ini adalah sebagai media dakwah. Dakwah sekarang tidak harus dengan mengangkat senjata, kalau bukan kita (orang jawa) lantas siapa yang berziarah.? Ini menggambarkan islam yang ramah.” (Madchan Jazuli/ADH)

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Back to top button