Bakti Santri Untuk Negeri
Literasi salah satu bentuk kemajuan yang terjadi di bumi nusantara saat ini, Bahkan dunia literasi terasa membumi di lingkungan pondok pesantren. Hal tersebut ditandai dengan adanya kegiatan menulis insya atau dalam bahasa Indonesia bermakna karangan. Dalam kegiatan itu para santri diwajibkan untuk menulis karangan bebas tersebut setiap minggu satu kali dengan menggunakan bahasa Arab maupun bahasa Inggris. Hal lainnya juga ditandai dengan adanya sebuah pondok pesantren mahasiswa di kota Malang yaitu Pondok Pesantren Darun Nun. Pondok pesantren ini memiliki visi dan misi berbahasa dan berkarya. Setiap mahasantri diwajibkan untuk mampu berbahasa asing serta mewajibkan para santrinya untuk menulis dan mempublikasikannya di media website milik pondok pesantren.
Maka sangat ironi jika masih ada anggapan yang mengatakan bahwa santri merupakan generasi yang tertinggal. Santri juga dianggap generasi yang kurang ilmu pengetahuan. Padahal sebenarnya santri tersebut memiliki keunggulan dalam segala hal serta lebih memahami peran pribadi masig-masing. Setiap kemampuannya tidak terbatas pada keilmuan dalam bidang umum saja namun juga ilmu agama. Saya yakin tidak semua orang dapat mempelajari kedua macam keilmuan tersebut.
Beberapa kegiatan yang saya sebutkan dapat memaparkan bahwa media pengembangan diri santri di pondok pesantren dinilai lebih baik dan unggul. Ini untuk menolak pendangan yang mengatakan santri dan pesantren masih terjebak kepada sistem pendidikan yang kolot. Dalam kenyataannya santri mampu bersaing dalam bidang keilmuan umum. Hal tersebut ditandai dengan adanya peran santri dari Pondok Pesantren Modern Tazkia Malang yang berhasil menjuarai lomba debat Internasional di Qatar. Hal itu menjadi kebanggan tersendiri bagi negara kita Indonesia. Dikarenakan mampu bersaing di kancah internasional dengan berpartisipasi dalam lomba yang diikuti oleh seluruh perwakilan negara di seluruh dunia.
Lalu bagaimana dengan sikap nasionalisme santri yang terkadang diragukan oleh sebagian orang? Hal tersebut perlu dipaparkan bahwa menjadi santri bukan berarti tidak mempelajari kurikulum yang bersifat kebangsaan. Santri pun mempelajari secara serius pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan dan juga diliputi dengan adanya kegiatan pramuka. Tujuan kegiatan tersebut tidak lain untuk memperkuat ruh para santri dalam mengabdi pada negara dan agama.
Selain kegiatan atau acara-acara yang bersifat kebangsaan, hal lain yang terkait dengan peningkatan ruh para santri untuk cinta pada bangsa adalah mengikuti setiap petuah-petuah oleh pimpinan pesantren serta para guru-guru. Apa yang dinasehatkan para petuah dan guru tersebut selalu membawa nilai-nilai nasionalisme yang secara tidak sadar diterapkan kepada para santri. Ini yang menjadi dasar argumentasi bahwa Mustahil santri tidak memiliki kesadaran nasionalisme terhadap bangsa Indonesia. bagaimanapun juga, para pejuang negara ada yang berasal dari kalangan santri. Tentunya semua jasa dan karya para pejuang tersebut selalu dibanggakan oleh para santri.
Poin utama tulisan ini adalah menolak anggapan sekaligus meluruskan anggapa santri adalah generasi pendidikan yang kurang berkembang di pondok pesantren. Banyaknya media pengembangan diri yang dimiliki santri terbukti telah melahirkan generasi santri luar biasa. Misalnya, para diplomat hebat yang lahir dari Pondok Pesantren Modern Darussalam Gontor. Sistem pendidikan pondok pesantren tersebut sudah dikenal dunia dengan kurikulumnya yang luar biasa. Walaupun tidak mengikuti ujian standarisasi ujian nasional, namun ijazah pesantren dapat diakui oleh seluruh dunia.
Begitu juga dengan para menteri, para ulama, ilmuan yang dikenal saat ini, terbukti ada dari sebagian mereka yang berasal dari santri, Hal itu menegaskan bahwa santri mampu mengabdi pada negeri dan agama. Semoga kita bisa menjadi santri bukan hanya sekedar nama atau julukan yang melekat saja pada diri, namun dapat berkontribusi dan menggaungkan budi pekerti.
Oleh : Neng Sumiyati (Santri Pesantren Darun Nun Malang, Mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Arab)