Opini

Agnesmo, Sandal, Netizen, dan Banser

Malang – pcnumalangkota.or.id

Oleh Gatot Arifianto

Media sosial (medsos) di negeri kita dewasa ini seolah menjadi tempat menanam dan merawat benih-benih negatif. Kegaduhan dan kebencian muncul silih berganti, lebih banyak dari yang bersifat maslahat.

Beberapa hari lalu, seorang anggota legislatif di Karawang, Jawa Barat, dihajar sejumlah massa akibat unggahan meme dua orang penting di medsos. Postingan itu menurut mereka, yang terekam dalam video, adalah bentuk pelecehan agama.

Selain itu, ada pula netizen geram, sebagaimana saat Agnes Monica (Agnesmo) tampil mengenakan kostum dengan tulisan Arab, saat Konser Raya 21 Tahun Indosiar, di Istora Senayan, Jakarta, Senin (12/1/2016).

Sejumlah netizen Indonesia, kala itu menuding Agnesmo melecehkan Islam. Kontroversi kostum Agnesmo membuat Majelis Ulama Indonesia (MUI) turut menanggapi dan menegaskan tidak ada pelecehan mengingat tulisan tersebut ialah Al-Muttahidah, kurang lebih bermakna persatuan.

Demikian juga dengan kemunculan sepasang sandal jepit dengan tulisan huruf Arab beberapa hari lalu. Ada yang marah-marah, mengeluarkan kata-kata kasar, hingga meminta pengunggah gambar dimasukan pesantren agar tak kurang ajar. Padahal, sandal berwarna putih dengan alas hijau itu bertuliskan yamin untuk sebelah kanan dan syimal di sebelah kiri.

Kegaduhan lain juga terjadi di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Pemilik akun facebook Dodi Poetra BangJou, dengan enteng menghina Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Sirodj dan Ketua Umum PP GP Ansor H Yaqut Cholil Qoumas dengan tulisan tanpa dasar.

Kemudian di Jakarta, ada seorang anak muda yang wow, mengancam dan menghina Presiden Joko Widodo melalui video tersebar di medsos.

Dari semua peristiwa itu, ada pro kontra, yang sebagian besar masih tidak produktif, hanya menyenangkan dan menguntungkan tukang goreng yang paham, konflik adalah satu dari beberapa karakteristik isi pesan dalam komunikasi massa disukai publik, sehingga meski dikemas apik, guna memantik selisih.

Penjagaan gereja oleh Barisan Ansor Serbaguna (Banser) yang memang memiliki tanggung jawab bersama dengan kekuatan bangsa yang lain untuk tetap menjaga dan menjamin keutuhan bangsa dari segala ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan dalam ikut menciptakan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), seringkali didaur ulang dalam bentuk meme menyudutkan.

Praktis, banyak pihak tak paham dengan penjagaan gereja oleh badan semi otonom GP Ansor ini, akhirnya menuding Banser salah kaprah dalam beragama.

Pertanyaannya, ada apa dengan Indonesia, negara dengan penduduk muslim terbesar ini? Apa benar banyak yang dungu seperti ujaran khas di jagat medsos?

Media Sosial dan NU

Secara harfiah, medsos adalah media untuk bersosialisasi satu sama lain dan dilakukan secara online yang memungkinkan manusia untuk saling berinteraksi tanpa dibatasi ruang dan waktu. Di dalamnya, tentu saja ada hal positif dan negatif. Tapi kenapa yang dominan ialah kabar bohong atau hoaks, konten-konten rasisme, dan konten-konten yang memicu perpecahan bangsa?

Awal 2017, Survei Masyarakat Telekomunikasi Indonesia (Mastel) dengan melibatkan 1.116 responden, menyebut 92,4 persen responden mengaku mendapatkan berita hoaks dari media sosial, 62,8 persen dari aplikasi pesan instan, dan 34,9 persen dari situs web.

Berita bohong dengan konten suku, agama, ras dan golongan (SARA) menempati posisi kedua, dengan persentase mencapai 88,6 persen, di bawah sosial politik (Pilkada/pemerintah), 91,8 persen. Peringkat ketiga ialah hoaks tentang kesehatan, dengan persentase 41,2 persen.

Berkunjung ke PBNU, pada, Rabu (2/5/2018), Grand Syeikh Al-Azhar, Ahmad Muhammad Ath-Thayeb mengimbau agar medsos digunakan tidak untuk hal negatif, bukan untuk memecah-belah dan adu domba.

Pernyataan tersebut tentu menyejukkan. Mengingatkan pendapat Imam Malik bin Anas: Jangan biarkan orang yang menyesatkan masuk ke telingamu. Kamu tidak tahu seperti apa masalah yang bisa muncul di dalam dirimu.

Kondisi negara, medsos dan perilaku netizen dewasa ini mengingatkan Keputusan Muktamar NU Ke-29 di Cipasung Tasikmalaya, 1 Rajab 1415 H/4 Desember 1994 M. Perihal Tanggung Jawab NU Terhadap Kehidupan Berbangsa di Masa Mendatang.

Umat Islam Indonesia dan NU, sejak semula memandang Indonesia sebagai kawasan amal dan dakwah. Indonesia adalah bagian dari bumi Allah, dan (karenanya) merupakan lahan dari ajaran Islam yang universal itu Kaffatan linnas dan Rahmatan Lil’alamin.

Tugas NU disepakati dalam muktamar itu antara lain: Sebagai kekuatan pembimbing spiritual dan moral umat dan bangsa ini, dalam seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara politik, ekonomi, sosial, budaya dan iptek untuk mencapai kehidupan yang maslahat, sejahtera dan bahagia, lahir dan batin, dunia dan akhirat.

Berusaha akan dan terus secara konsisten menjadi Jam’iyah diniyah/organisasi keagamaan yang bertujuan untuk ikut membangun dan mengembangkan insan dan masyarakat Indonesia yang bertakwa kepada Allah SWT, cerdas, terampil, adil, berakhlak mulia, tenteram, dan sejahtera.

Kader-kader muda NU beruntung dibekali tabayyun, yang berasal dari akar kata dalam bahasa Arab: tabayyana – yatabayyanu – tabayyunan, yang berarti mencari kejelasan hakikat suatu fakta dan informasi atau kebenaran suatu fakta dan informasi dengan teliti, seksama dan hati-hati.

Jika ada dungu, tidak mengedepankan Islam ramah, tentu sudah ada lebam di wajah Dodi saat diajak ngopi oleh kurang lebih seratus kader badan otonom NU, PC GP Ansor dan Satkorcab Banser Kabupaten Cirebon.

Dodi yang memposting ujaran yang sebenarnya bisa diseret keranah hukum, beruntung bersinggungan dengan Ansor dan Banser. Menebus kesalahannya, Dodi hanya diajak menyelami NU lebih dalam dengan mengikuti kaderisasi Ansor.

Lagi-lagi suatu fakta, yang menampik dungu dengan tidak adanya persekusi seperti saat kiai, penyair dan budayawan, Gus Mus yang pernah menjabat sebagai Rais Aam PBNU dicaci Pandu Wijaya di medsos.

Jajaran PC GP Ansor Cirebon menerima penyesalan dan permintaan maaf Dodi karena yang bersangkutan tidak paham NU dan merupakan satu korban dari banyaknya remaja yang terpapar paham takfiri. Relevan dengan pernyataan Sekretaris Jenderal PBNU, Helmy Faisal Zaini: Banyak kelas menengah yang ingin belajar Islam namun salah imam.

Pada acara bertajuk Kopi Darat Netizen Nahdlatul Ulama, di PBNU, Rabu (28/12/2016), Helmy menyebut, mereka rata-rata belajar agama dari medsos. “Kelas menengah banyak yang berimam kepada media sosial dan celakanya banyak yang keliru,” ujarnya.

Sebagai solusi, Helmy mengajak anak-anak muda NU harus bangkit dan menguasai media sosial, yang santun dan beradab sebagai sarana dakwah.

Detoksifikasi Hasut

Berkaca dari hujatan terhadap Agnesmo, sandal jepit dan beberapa ujaran kebencian hingga olahan fitnah tidak bertanggung jawab di medsos. Siapa akan menampik pernyataan Abu Hamid Al Ghazali? Filsuf dan sofis Persia, 1058-1111 itu menegaskan: Korupsi agama berasal dari mengubahnya ke kata-kata belaka dan penampilan.

Langkah negara ini masih panjang, Banser tentu akan berkomitmen melawan agitasi dan provokasi yang mengancam NKRI sesuai dengan tanggung jawabnya. Selain itu, netizen yang memiliki medsos mempunyai peran penting untuk membantu arah yang baik. Tidak membuat anak-anak muda seperti Dodi terjerumus dan dijerumuskan dengan sengaja. Sehingga terjadi seperti ditegaskan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur): Agama mengajarkan pesan-pesan damai dan ekstremis memutarbalikannya.

Afdhol meningkatkan kapasitas untuk belajar, agar tidak menjadi kagetan. Menyikapi masalah dengan kearifan, dengan solusi. Bukan dengan memproduksi hujatan bertubi hingga menyimpulkan dengan asal suatu berita, peristiwa dengan landasan ketidaksukaan, dengan hasut (dengki), yang menurut Imam Ghazali adalah cabang dari syukh, sikap batin yang bakhil berbuat baik.

Percayalah pada Rasulullah SAW: Benci dan dengki yang merupakan penyakit-penyakit umat terdahululah yang membinasakan agama. (H.R. Ahmad dan Tirmidzi).

Fitnah dan share konten negatif di medsos bukan tren, namun hal yang harus didetoksifikasi oleh 132,7 juta pengguna media sosial (survei We Are Social dan Hootsuite, Januari 2018). Bukankah gagasan, kreativitas, inovasi, dan tindakan berdampak pada kemajuan kemanusiaan dan negara lebih dibutuhkan di kawasan amal dan dakwah bernama Indonesia?.

Penulis, Founder Halal (Hijamah Sambil Beramal). Bergiat di Gerakan Pemuda Ansor.

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Back to top button